Siap Menang Tidak Siap Kalah

Lagi, untuk yang kesekian kali, dan entah akan berulang untuk yang ke berapa kalinya hal yang aku tonton itu akan terus terjadi. Pagi tadi sebuah berita mengenai pilkada kembali menjadi top news. Berita mengenai gugatan dari salah satu calon peserta pilkada yang kalah pada perhitungan akhir versi KPU.

Kalau dihitung jumlah gugatan yang terjadi dari mulai pilkada itu diselenggarakan sampai saat ini mungkin akan sama banyaknya dengan jumlah pilkada itu sendiri. Banyak alasan dan argumentasi yang dijadikan alat untuk melakukan gugatan oleh pihak yang kalah, dari mulai penggelembungan suara, tidak transparan, money politic, dsb.

Yang menjadi pertanyaan saya adalah kenapa mereka yang kalah sering ngotot mengeluarkan suara ketidakpuasan atas berlangsungnya pemilihan tersebut? Seharusnya ketika sedari awal mencalonkan setiap calon menyadari bahwa hanya akan ada satu pemenang dan yang sisanya harus menerima kekalahan. Apakah ini yang dinamakan mental siap menang tapi tidak siap kalah?

Sungguh sangat disayangkan apabila sebuah pesta demokrasi tersandung pelaksanaannya hanya karena sifat kekanak-kanakan calon peserta. Mengingat untuk mengadakan pesta demokrasi ini sudah mengeluarkan banyak biaya yang kalau ditelusuri biaya tersebut hasil dari setoran rakyat kepada pemerintah. Bok ya, jangan buang-buang duit rakyat…, rakyat sudah susah.

Yang parah seperti kasus pilkada yang terjadi di Sulawesi (pemilihan gubernur salah satu propinsi kalau tidak salah). Kedua kubu, yang menang dan yang kalah, menggunakan masanya untuk saling protes, demo, bahkan saling serang. Saya berfiikir bego banget yang jadi pendukungnya. Mau-maunya membela mati-matian untuk seorang calon pemimpin yang belu tentu akan berbuat sama untuk mereka. Sudah pilkadanya pakai uang rakyat, hasilnya di demo dan ada tuntutan untuk pengulangan pemilihan.Bayangkan kalau beneran diulang, rakyat juga yang harus merogoh kocek.

Belum lagi acara rusak merusak, sepertinya sifat anarkis sudah membudaya di negara kita (bukan hanya FPI saja, harus fair, masa parpol jauh lebih banyak). Segala macam fasilitas pemerintahan dirusak yang otomatis memerlukan perbaikan kembali, duit lagi, rakyat lagi. Pinter sedikit kenapa?

Sepertinya pemilu yang baru saja berlangsung di negara Paman Sam perlu dicontoh (bukan bermaksud membanggakan). Ketika Mc Cain dinyatakan kalah beliau tidak langsung mengajukan mosi tidak percaya dan melayangkan gugatan. Malah dia mengucapkan selamat kepada rivalnya, itu baru fair.

Sudahlah wahai calom pemimpin, kalau tidak siap kalah dalam pertarungan jangan maju nanti akan capek sia-sia. Tahu sendiri kan, yang namanya pilkada atau pemilu buth duit banyak. Nah, karena ambisi pengen tercatat namanya di deretan nama-nama pemimpin di negara ini bela-belain ngutang deh. Yang namanya hutang kan harus di bayar, bagaimana cara bayarnya? Mau tidak mau harus menang dalam pemilihan tersebut. Kalau sudah seperti ini menurut saya sudah bukan lagi perjuangan yang tulus untuk rakyat. Walhasil bukan namanya yang tercatat di deretan pemimpin bangsa malah tercatat sebagai pimpinan kerusuhan di negara ini.

Kemudian untuk yang menjadi kroco-kroco. Jangan pernah mati-matian membela manusia karena kebenaran itu orang belum terjamin dan terbukti, apalagi masih calon. Yang namanya mau berbuat untuk rakyat tidak mesti lewat kursi, beneran, tanpa jalur kursi jika orang-orang itu mau berbuat untuk rakyat masih bisa. Ingat yang namanya suster apung? Adalagi seorang warga dari Bandung yang membuat perpustakaan buat masyarakat sekitar, atau seorang bidan keliling yang membeli ambulance dari koceknya sendiri yang kemudian berkeliling di wilayah Jakarta melayani ibu-ibu hamil yang kurang mampu, free of charge lagi. Jangan jadikan kursi sebagai lahan untuk mendulang emas, Pak, Bu.

Sudahlah, buang jauh-jauh politik mercu suar, buat saja kerja rill. Orang akan menilai dengan sendirinya. Kalaupun orang tidak dapat menilai yakinlah mata Tuhan itu tidak pernah terpejam.

13 November 2008, 13.05 pm