Siapa Bilang Hanya Dunia?

 Kata-kata yang sering mendengung di telinga; tentang hanya dunia saja cenderung tidak tepat. Seringkali saya juga berfikiran sama, hanya dunia. Itu dulu, sekarang tidak lagi. Hal yang biasa dibicarakan, “Rasanya selama hidup ini, hanya dunia saja yang aku kejar.” Atau, “Aku hanya sibuk mencari nafkah, tidak ada waktu yang tersisa untuk akhirat.” Dan, banyak lagi yang lainnya.

 Sungguh menarik bila kita selalu menyimak sebuah perbincangan,”Hanya dunia saja.” Jika dilihat sepintas, mereka memang benar. Kehidupan dari pagi ke malam, berirama sama. Buka mata, dunia kerja sudah menunggu dan saat pulang keluarga menanti di rumah. Memang dengan rutinitas yang dari itu ke itu saja dapat membuat seseorang merasakan sebuah “kehampaan”. Apalagi bila melihat kiri kanan yang seringkali terlhat  lebih alim atau sholeh di banding diri kita, yang hanya mengejar “dunia”.

 Tapi  sesungguhnya yang terlihat belum lah tentu sebuah kebenaran. Bukankah kita bekerja siang malam untuk menghidupi keluarga kita? Bila kita bekerja, maka saat itu lah sebenarnya, saat kita menjalankan kewajiban kita. Kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga kita. Dan, syukur-syukur bila kita punya kelebihan, untuk di sedekahkan kepada yang lain. Bukankah kerja keras kita siang malam, bertahun-tahun bukanlah sebuah, “Hanya dunia saja?”

 Bila menjalankan sebuah kewajiban, maka tentu saja itu berhubungan dengan dunia akhirat. Sebuah kewajiban bagi Islam, adalah sebuah beban atau tugas yang harus dikerjakan, yang bila ditunaikan akan mendapatkan “imbalan” dan bila di lalaikan tentu saja mendapatkan “imbalan” yang menyakitkan pula.  Jadi tentang ketakutan kita karena tidak mendapatkan tabungan di syurga, merupakan sebuah ketakutan yang tidak mendasar, karena merasa diri tidak punya waktu yang cukup untuk akhirat. Tspi tentu saja dengan catatan, tidak meninggalkan shalat, puasa bulan Ramadhan dan lainnya.

 Mungkin bisa kita bayangkan, bila kita, terutama seorang suami ketakutan bahwa akhiratnya tidak ada, membuatnya lebih fokus pada ritual ibadah saja. Tentu saja ini tidak dianjurkan. Ingatlah pada jaman Rasulullah ada seorang laki-laki yang hanya beribadah di sebuah masjid siang malam, tapi malahan Nabi menganjurkannya untuk bekerja, karena ibadah untuk memenuhi kebutuhan di dunia ini nilainya lebih besar dari pada ibadah sunnah yang dijalaninya saat itu. Jadi intinya, bahwa ibadah kepada Allah Swt. bukan hanya shalat, ngaji. Akan tetapi kita dituntut pula memenuhi hak badan kita, hak perut kita, hak pasangan kita, maupun hak-hak yang lainnya.

 Kita hidup bukan lah karena dunia itu sendiri. Kita mengisi kehidupan ini, bukanlah karena hanya dunia itu sendiri. Kehidupan di dunia sebenarnya merupakan simpanan kebajikan kita, untuk kita tuai nantinya di hari pembalasan. Bila semua yang kita lakukan di dunia, diniatkan untuk menunaikan perintah Allah Swt. dan kita ikhlas serta menginginkan ke-Ridhoan-Nya maka tentu saja semuanya tidak akan sia-sia.

 Semua usaha kita dalam memenuhi kebutuhan hidup kita, akan selalu tercatat sebagai amal shaleh di hadapan sang Pencipta kehidupan. Tidak akan sia-sia, apa pun yang kita lakukan. Baik itu dalam hal mencari nafkah maupun dalam hal kemauan untuk selalu memperbaiki amalan ibadah kita, semisal shalat. Bila kita merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup ini, semoga saja itu adalah berhubungan dengan kekurangan kita dengan ilmu. Karena dapat dimaklumi bila kita bekerja full time, siang malam, maka kesempatan untuk belajar hampir tidak ada.

 Saat kita tahu, dimana letaknya kekurangan diri, maka saat itulah sebenarnya hidayah Allah datang kepada kita. Kita ditantang untuk berusaha lebih keras, untuk memperbaiki kekurangan di mata kita pada diri kita, dan semua itu tentu tak akan bisa, bila kita tidak mempunyai landasan ilmu. Memang ilmu adalah sebuah keharusan  membantu kita untuk menjalani hari-hari kita. Karena dengan ilmu, kita akan tahu, kearah mana kita akan berjalan, Dan, dengan ilmu pula kita diharapkan tidak terperosok dalam lubang-lubang yang dibuat oleh syaitan.

 Maka Allah Swt. pun memberikan kewajiban pada kita, baik muslim maupun muslimat, untuk menuntut ilmu. Seperti hadits nabi,” Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Atau, “ Menuntut ilmu itu wajib bagi kaum muslimin maupun muslimat.” Jadi kewajiban menuntu ilmu ini, bila kita kita cari hikmahnya, sesungguhnya ilmu itu adalah sesuatu yang memang kita butuhkan. Bukan sesuatu yang membuat kita terpaksa menjalaninya. Kebutuhan sebuah ilmu, memang berbeda pada setiap orang. Ada yang merasa ilmu tentang kecantikan itu perlu, tapi bagi yang lain tidak. Ada yang bilang ilmu bercocok tanam itu perlu, tapi saya tentu saja tidak perlu, karena saya tidak mempunyai hobby menanam.

 Ilmu yang diwajibkan pada kita umat Islam, adalah ilmu mengenai tentang fardhu ‘ain. Yaitu tentang sebuah kewajiban yang mengikat kita untuk kita lakukan. Seperti shalat, puasa, zakat maupun kewajiban-kewajiban lainnya yang memang harus kita ketahui untuk diamalkan. Bila kewajiban fardhu kifayah, maka itu cukup dilakukan oleh sekelompok orang, yang bila dilakukan oleh mereka maka gugurlah kewajiban kita. Semisal mengurus jenazah atau menjadi seorang  pensiar agama, Semua kewajiban itu harus kita ketahui. Bagaimana kita mengetahuinnya? Tentu saja kita harus belajar.

 Jadi kita sebagai umat yang di Rahmati Allah, patut bersyukur, Pencipta kita tidak memberikan kita kewajiban, karena memang dalam kewajiban itu akan membuat kita bahagia, yaitu kebahagiaan abadi di syurga-Nya. Itu terjadi,  bila memang kita hanya bersandar pada niat Lillahi Ta’ala.

 Pemahaman yang benar; memang tidak ada pemisahan antara dunia maupun akhirat. Karena apa pun yang kita lakukan di dunia ini, semuanya bermuara pada kehidupan akhirat. Jangan lah takut untuk bersibuk diri, mencari nafkah menghidupi keluarga dan berinfak di jalan Allah dengan rejeki yang diterima. Karena kerja keras kita, pengorbanan kita, semuanya tidak akan sia-sia. Insya Allah.

 

Sengata, 10 Desember 2009

 Halimah Taslima

 Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

 

[email protected]