Bangga dan Bahagia Menjadi Ibu Rumah Tangga

“Ibu kerja dimana?” Tanya seorang perempuan muda di sampingku ketika kami berdua sama-sama duduk di boardingroom, menanti pesawat yang akan terbang membawaku menuju kota Bangkok. “Engga kerja mbak, saya ibu rumah tangga.” Jawabku. “Oohh…cuma ibu rumah tangga”. Terdengar ada nada merendahkan pada suara ibu muda tadi, apalagi ada tambahan kata ‘cuma’ di kalimatnya… Aku jadi teringat kembali satu peristiwa saat aku masih duduk di bangku kuliah semester terakhir. Aku dan teman-teman duduk-duduk di kampus sambil mengobrol merancang masa depan. Bergantian kami bercerita mengenai rencana kami setelah lulus nanti. Temanku si A ingin bekerja di sebuah perusahaan asing ternama. Si B ternyata berkeinginan melanjutkan sekolah ke luar negeri dan bercita-cita menjadi dosen. Dan tiba giliranku, saat itu aku berkata kalau aku ingin menjadi ibu rumah tangga. Kontan semua riuh rendah menertawaiku. “Ya ampuun, ngapain kuliah capek-capek kalo cuma mau jadi ibu rumah tangga”. Komentar seorang teman menanggapi cita-citaku. Ada juga komentar lain “kecentilan kali tuh, mau buru-buru married… “Tawa merekapun semakin menjadi-jadi… Ahh profesi ibu rumah tangga ternyata dianggap remeh, tidak berguna, dipandang dengan sebelah mata.

Aku ditertawakan, disudutkan… tapi itu tidak membuatku berubah pikiran, aku tetap mantap pada pilihanku, ingin menjadi ibu rumah tangga. Aku tak mau berkarier di luar rumah, aku ingin selalu ada di rumah, selalu dekat dengan anak-anakku. Ya, anak-anaklah yang menjadi alasan aku memilih profesi ibu rumah tangga. Aku ingin menjadi yang pertama kali dilihat mereka saat mereka bangun dari tidurnya, menjadi teman bermain mereka, serta mengantar mereka tidur di malam hari dengan bercerita sejuta kisah yang aku punya. Tak bisa kubayangkan betapa pedihnya hati seorang ibu, tatkala ia harus kembali bekerja di luar rumah setelah habis masa cuti melahirkan. Si ibu harus meninggalkan buah hati tercinta yang selama 3 bulan ada dalam buaiannya, disusuinya, dirawatnya sepenuh jiwa dan raga, kemudian menyerahkan bayi mungilnya kepada orang lain, orang asing baginya, seorang pengasuh yang baru dikenalnya. Kalau aku sendiri yang harus mengalami hal ini sungguh aku tak sanggup…

Sungguh aku merasa beruntung, sebagai ibu rumah tangga aku tak perlu menyerahkan anak-anakku kepada seorang pengasuh, karena aku, ibunya, selalu ada untuk mereka. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata saat aku menyaksikan sendiri pertumbuhan buah hatiku. Saat gigi pertamanya tumbuh, saat ia mulai berdiri, kemudian berjalan, melangkahkan kaki mungilnya menapaki dunia… Terlebih saat ia mengucapkan kata pertamanya, sebuah panggilan untuk sang bunda… Subhanallah, Maha suci Engkau yaa Allah…

Hati ini makin bersyukur saat mendengar curhat seorang teman “ Duhh bagaimana ini, anakku 3 tahun hafal sekali dengan lirik lagu keong racun, lagu di ring tone pengasuhnya. “ Atau curhat teman lain “ Kesel deh, anakku kalau nangis yang dipanggil-dipanggil nama susternya, bukan mamanya… “ Jangan ibu, jangan salahkan pengasuh atau baby sitter kalau anak kita berguru dan merasa dekat dengan mereka. Semuanya karena anak kita menghabiskan sebagian besar waktunya bersama mereka… Belum lama ini aku terharu melihat tugas sekolah anakku . Gurunya meminta anak-anak untuk menggambarkan Thermometer feeling, apa yang membuat mereka paling senang. Mereka diberikan banyak pilihan statement. Kulihat banyak statement disana, diantaranya When I play with my friends; When I win a game; When I finish my work. Ternyata pilihan anakku jatuh pada statement “When I am at home. Ia menggambarkan senyum terlebarnya untuk pilihan ini! ia memilih ada di rumah bersama aku ibunya, sebagi momen yang paling membahagiakan untuknya…

“Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq”. Demikian bunyi syair Arab yang bermakna “Seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik, maka sungguh engkau telah mempersiapkan generasi yang unggul.” Ya, ibu adalah sekolah untuk anak-anaknya. Siapa yang pertama kali mengajarkan tauhid kepada anak? Siapa yang mengajarkan akhlaq dan aqidah kepada anak? Siapa yang mengajarkan dan mengingatkan anak sholat? deretan pertanyaan yang jawabannya cuma satu, yaitu ibu. Bila ibu sibuk bekerja di luar rumah, berangkat pagi dan pulang menjelang malam dalam keadaan lelah, lalu siapa yang akan mengajarkan itu semua? Kapan ibu mendidik anaknya? Atau kemudian kita membiarkan anak kita tumbuh seadanya? Pengasuh yang tidah paham islam,televisi, games yang penuh kekerasan, dan internet yang sarat pornografi jadi ”ibu” buat anak-anak kita?

Duhai Ibu… mendidik anak adalah investasi kita, kitalah yang akan menuai hasilnya kemudian… Anak adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada kita, kitapun akan dimintai pertanggungjwabannya kelak… Anak-anak kita membutuhkan seorang ibu yang senantiasa membimbingnya, memberikan bekal untuk masa depan mereka, dan juga bekal untuk kehidupan akhirat mereka kelak.. Dan ini bukanlah tugas yang ringan, bukanperkara remeh, dan tidak bisa dipandang dengan sebelah mata, melainkan tugas yang amat berat , dan sungguh mulia. Pantaslah jika dalam islam kedudukan ibu tiga kali lebih tinggi dari ayah. Ibumu, ibumu, ibumu, baru kemudian ayahmu, jawab Rasulullah SAW ketika ditanya siapakah yang harus kita hormati pertamakali.

Ya Allah… jadikanlah aku selalu istiqomah menjalankan tugas beratku sebagai seorang ibu. Duhai Para ibu rumah tangga, bangga dan berbahagialah menjadi ibu rumah tangga, karena dari tanganmulah lahir para pemimpin, pejuang, mujahid yang akan membela agama islam.

Wallohu ‘alam bishshowaab