Hari Jum'at, Hari Istimewa

Sudah hari Jum’at. Hari yang selalu kutunggu. Ya, Jum’at adalah waktunya “sekolah” untukku, datang ke pengajian untuk menimba ilmu sekaligus bersilaturahim. Hari yang cerah, ditambah sejuknya bulan Februari di kota Bangkok makin menambah semangatku . Bila tak datang mengaji kadang kurasakan rohani ini seperti ‘kering”. Ibaratnya tanaman, iman memang butuh disiram, juga diberi pupuk, sehingga iman tak menjadi “kering” melainkan tumbuh dengan indahnya di hati seorang mukmin.

Setelah mempersiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak sulungku, aku segera bersiap diri. Alhamdulillah si kecil Ziya (20 bulan) ikut bangun pagi. Ziya memang selalu kujak kemanapun aku pergi, maklum tak ada pengasuh di rumah. Agak repot memang, kadang anak kecil susah diajak kompromi. Di pengajian anakku kadang rewel, menangis, minta ini itu, membuatku sulit berkonsentrasi pada tausiyah yang disampaikan ustazah. Tapi disitulah seninya mengaji membawa anak. Aku berikan pengertian kalau Bunda lagi mengaji, dan adek boleh main dekat Bunda, tapi jangan berisik yaa.. Akhirnya Ziyapun menjadi terbiasa, kadang dengan lucunya ia ikut-ikutan membuka Al-Qur’an, ingin mengaji seperti Bunda.

Sebelum pengajian dimulai saya sempat berbincang dengan seorang muslimah, mba Nurul namanya. Baru dua kali saya berjumpa dengannya di pengajian. Berbincang dengan mba Nurul, walaupun sejenak, membuat hati ini terasa teduh. Ada aura indah di dirinya, tatapan mata, suara, dan tutur katanya sungguh mencerminkan pribadi yang shalihat. Subhanallah… Semoga saya bisa menjalin persahabatan dengan mba Nurul. Pengajian kali ini terasa istimewa, kerena tausiyah akan diisi oleh ustazah Indah. Jarang mba Indah bisa mengisi pengajian Jum’at pagi, dikarenakan ia seorang wanita bekerja. Mba Indah, satu lagi sosok muslimah yang menjadi teladan buatku. Ia cerdas, mandiri, dan shalihat tentunya. Dua gelar akademik ia raih di negeri Jerman, kini mba Indah bekerja di sebuah perusahaan besar di kota Bangkok. Di tengah kesibukannya mba Indah tak melupakan dakwah, salah satunya dengan mengajar di pengajian kami. Semua muridnya ingin memperoleh transfer ilmu darinya, termasuk diriku. Tema yang diangkat hari ini adalah Mendidik Anak. Tema yang pas, mengingat peserta pengajian adalah ibu-ibu yang sebagian besar memiliki anak. Kusimak baik-baik tausiyah yang disampaikan oleh mba Indah. “Dalam mendidik anak, orang tua harus mempunyai tekad. Tekad apakah yang harus kita miliki? Yaitu tekad menjadikan anak kita ahlul jannah, ahli surga.” Deg, tersentak perasaanku. Aku belum memiliki tekad itu. Dari buku-buku parenting yang kubaca selama ini, tak ada satupun yang berbicara tentang tekad menjadikan anaknya ahli surga. Mba indah kemudian memberi contoh kisah Siti Hajar, ibunda Ismail.

Siti Hajar hanyalah seorang hamba sahaya yang tidak berpendidikan tapi ia berhasil mendidik putranya, nabi Ismail. Siti Hajar dinikahi nabi Ibrahim karena Sarah, istri pertamanya tak kunjung memberikan keturunan. Siti Hajar seorang perempuan cerdas, sabar, pantang menyerah. Ketika nabi Ibrahim meninggalkannya bersama Ismail yang masih bayi di lembah yang gersang dan tandus, Siti Hajar yakin ini adalah perintah Allah, dia kemudian pergi mencari sumber mata air, mendaki bukit Shafa’, kemudian mendaki bukit Mawah, berusaha terus mencari air diantara kedua bukit itu. Ia mengulangi mencari air hingga pada putaran ketujuh terdengarlah suara air, yang ternyata adalah mata air zam-zam yang sampai detik ini masih terus mengalir. Lembah yang dulunya gersang dan tandus kemudian berkembang mejadi kota besar, kota Mekkah, kota yang kini dikunjungi jutaan ummat manusia dari segala penjuru dunia. Buah kesabaran, kecerdasan, dan keimanan Siti Hajar sungguh luar biasa. Begitu pula dalam mendidik anak. Ismail putranya tumbuh menjadi pemuda dengan kepribadian tangguh, santun dan shalih, karena didikan sang Ibunda. Kita semua mengetahui kisah Ismail yang akan disembelih ayahnya nabi Ibrahim. Peristiwa itu dikisahkan dalam Al-Qur’an “Maka tatakala anak itu sampai pada umur yang sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk oramg yang sabar.” (QS. Ash-Shafaat:102). Subhanallah, Jawaban yang diberikan Ismail menunjukkan betapa ia seorang anak yang beriman dan takwa kepada Allah…

Aku merasa malu dengan diriku, selama ini yang kubaca adalah buku mendidik anak karangan penulis–penulis barat, padahal ada contoh teladan di dunia Islam yang begitu dekat. Tekad orangtua dalam mendidik anak serta kisah Siti Hajar meninggalkan kesan yang mendalam buatku. Segala puji kepada Allah… Jum’at ini aku mendapat ibrah yang luar biasa. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kupeluk buah hatiku , tolong dengar janji Bunda Nak, mulai sekarang Bunda janji, Bunda bertekad menjadikan anak-anak Bunda ahli surga, itu cita-citaku. Tak mudah tentu mencapainya, jalan terjal dan penuh liku pasti menanti, tapi aku yakin, dengan kesabaran, pantang menyerah, dan iman di hati, Allah pasti menolong hamba-Nya.