Simbol dan Kesejatian Iman

Lima hari di pekan yang lalu, saya –bersama dengan dua orang rekan– berada di Banda Aceh dalam rangka tugas kunjungan ke salah satu cabang LSM muslim yang berkantor pusat di Jakarta dan bergerak dalam bidang kemanusiaan. Kami menginap di kantor unit LSM tersebut dan hampir setiap pagi, kami sempatkan untuk berjalan kaki, membugarkan badan dan menikmati keindahan Kota Banda Aceh di suasana pagi. Kami juga menyinggahi tempat-tempat yang lebih mengakrabkan kami dengan kota Serambi Makkah itu.

Banyak hal-hal unik yang kami temukan. Di antaranya, kami melihat wajah seorang artis di banyak papan/spanduk iklan operator selular yang berbalutkan kerudung, padahal yang sering terlihat di Jakarta, di TV atau di media cetak, artis cantik itu tidak pernah mengenakan kerudung di dalam iklannya. Saya teringat, ketika dulu pernah melakukan penerbangan Jakarta-Banda Aceh via Medan, para pramugarinya berubah mengenakan jilbab ketika melakukan penerbangan Medan-Banda Aceh. Padahal saat berada di penerbangan Jakarta-Medan, mereka tidak mengenakan jilbab.

Saya bersyukur mereka mengenakan jilbab. Selain lebih cantik, balutan jilbab mereka itu cukup memberikan kesan menentramkan bagi para penumpang. Seakan balutan jilbab mereka itu melambangkan ketundukkan kepada Rabb yang maha menundukkan penerbangan burung besi itu, apakah akan menuai keselamatan ataukah kecelakaan. Dengan ketundukkan mereka itu, boleh jadi Allah akan mempermudah perjalanan dan menyelamatkan para penumpang.

Namun begitu tahu bahwa mereka melakukannya hanya karena pertimbangan bisnis atau pariwisata belaka, saya khawatir Allah akan murka. Dalam hati saya beristighfar memohonkan ampun kepada mereka, karena sangat mungkin mereka tidak mengetahui esensi dari berjilbab itu.

Fenomena pengenaan jilbab yang temporer itu adalah sebagian fenomena yang saya jumpai berkenaan dengan pemberlakukan syariah Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cukup menggembirakan, terlebih jika penerapannya bukan sekedar simbolis, namun betul-betul diterapkan esensinya, yaitu tunduk patuh kepada nilai-nilai iman secara utuh baik hati, lisan, dan perbuatan.

***

Seorang sahabat bercerita tentang masuk Islamnya keluarga Tionghoa setelah melihat keajaiban tsunami yang melanda NAD akhir tahun 2004. Keluarga Tionghoa itu tinggal di sebuah ruko di depan Masjid Raya Baiturrahman. Ketika bencana tsunami melanda, mereka melihat dari lantai atas rukonya seakan-akan ada “tangan besar” yang menghalangi masuknya air ke masjid raya itu. Kedua “tangan besar” seakan bertemu ujung jari-jari dan ujung telapaknya –membentuk ruang kosong di tengah, dan masjid raya itu berada di antara ruang kosong tersebut. Mereka menyaksikan, air bah hasil peristiwa tsunami yang bercampur material-material padat seperti besi, kayu, dan kaca itu, hanya mengalir di samping kiri dan kanan masjid. Padahal gelombang tsunami itu mampu merusakkan dan menghancurkan bangunan ruko-ruko di belakang masjid raya itu. Sungguh ajaib, ruko-ruko itu kabarnya tenggelam oleh terjangan gelombang tsunami sementara masjid raya tidak, padahal bangunan masjid raya itu tidak lebih tinggi dari bangunan ruko-ruko di sekitarnya.

Berita tentang masuk Islamnya seseorang, seringkali menjadi berita yang menggembirakan, termasuk berita masuk Islamnya keluarga Tionghoa tadi. Namun sayang, sedikit yang memberikan perhatian dan bimbingan agar prinsip-prinsip Islam juga diamalkan oleh mereka, agar keIslaman yang dimiliki bukan sekedar simbolis, tetapi merasuk di dalam hati sanubari.

Agaknya masyarakat kita begitu terkesan dengan simbolisme, tidak hanya di Banda Aceh tetapi masyarakat Indonesia pada umumnya.

***

Iman memiliki simbol dan kesejatian. Simbol adalah perilaku yang tampak, sedangkan kesejatian adalah hakikat keimanan yang tidak nampak. Meski tidak nampak, kesejatian akan terbukti dari konsistensi amal yang tampak secara lahiriah dan pancaran simbol yang melekat secara tetap. Sebagai contoh, jika seorang muslimah benar dalam keimanannya, maka ia akan mengenakan jilbab secara konsisten karena Allah bukan karena pertimbangan yang lain.

Dalam hadits dikatakan bahwa iman itu memiliki 73 cabang, yang tertinggi adalah mengucapkan ‘Laa ilaaha illa Allah’ dan yang terendah adalah menyingkirkan duri di jalanan. Cabang atau simbol itu harus serasi, mencerminkan sebuah keimanan yang sejati di dalam hati. Oleh karenanya parameter kesejatian itu tidaklah sederhana. Ia harus terbukti secara konsisten dalam pengamalannya dan serasi dengan simbol-simbol iman lainnya.

Simbol ‘jilbab’ harus serasi dengan simbol ‘berkata yang jujur’, harus serasi dengan simbol ‘menghormati tetangga’, shalat, penuaian zakat/sedekah, puasa, dan simbol-simbol iman lainnya. Keserasian antar simbol itu mencerminkan iman yang utuh dan ketidakserasiannya mencerminkan iman yang terpecah.

Waallahua’lam bishshawaab ([email protected])