Sore yang Indah Bersama Amar

Salah satu guru terbaik untuk belajar itu anak-anak, terutama kalau mau belajar peka terhadap rasa dan kejujuran. Anak-anak tidak memoles dirinya kecuali dengan hal yang kongkrit-kongkrit saja, sementara orang dewasa bahkan sejak remajapun sudah menata dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kadang menuntutnya untuk bermanipulasi.

Cobalah dekati anak-anak yang belum kita kenal dengan keikhlasan separuh, niscaya dia akan menolak kita. Lumayan kalau dia berani berkata, ‘emoh, enggak mau’ atau sekedar menggeleng kepala. Bagaimana kalau dia langsung menangis dan berteriak? Duh, jadi ribet urusannya.

Saya tidak mengatakan pengalaman saya layak untuk ditiru, barangkali harus diuji lagi validitasnya. Tapi bolehlah kita merujuk pada tulisan Muhammad Rasyid Dimas dalam Al-Inshat al-In’ikasi (25 Kiat Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak) bahwa anak-anak itu senang dipuji, bahkan Rasulullah SAW pun senantiasa menerapkan pujian pada anak, tentunya pada waktu-waktu yang sesuai dan layak, sebab pujian bagi anak mempunyai pengaruh yang besar pada jiwanya, karena akan menyentuh perasaannya. Pujian dapat membuat anak mengoreksi perbuatannya dengan lega dan tanpa merasa dipaksa.

Nah, salah satu waktu yang saya manfaatkan untuk menerapkan pujian adalah ketika bertemu pertama kali dengan anak-anak yang belum saya kenal. Efektifitasnya terbukti pada beberapa anak. Oh ya, pujian yang kita sampaikan hendaklah kata-kata yang mengandung do’a dan harapan kebaikan kepada anak yang kita puji, dan yang terpenting sampaikan pujian itu dengan tulus, karena yang akan kita ikat adalah hati dan perasaan anak-anak yang sangat peka.

Saya ingat betul tahun lalu saya merasa sangat tertohok ketika bertemu seorang anak kecil dan menyapanya, ia malah menangis dan menjerit. Lantas seseorang yang berjalan di belakang saya berkata, “Bukan begitu caranya mendekati anak kecil.” Sejak saat itu saya jadi faham, tidak semua anak kecil mudah diajak bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang yang belum dikenal. Jadilah saya berpusing-pusing memikirkan bagaimana caranya agar bisa dekat dengan anak-anak, bahkan pada kali pertama bertemu dengannya. Karena tidak lucu rasanya saya berkata bahwa saya suka anak kecil, tetapi anak kecil tidak bisa dekat dengan saya.

Salah satu anak yang membuat saya belajar adalah Amar. Saya bertemu dengannya di Masjid Kampus UGM pada suatu sore. Ia sedang duduk bersama ibunya, menunggu Abahnya datang dari suatu tempat. Dia langsung mundur ke belakang dan meraih pelukan ibunya begitu saya menyapa. Jangankan mau menyebut namanya, sekedar salimpun ia enggan.

Seperti biasa, saya mulai mencari-cari hal apa yang bisa mengikat hati dan perhatiannya. Pada saat itu di lutut kiri dan bagian atas telapak kaki kanannya ditutup dengan plester, sedang lutut kanannya pun ada bekas luka. Kata ibunya Amar berkali-kali jatuh dari tangga. Jadilah saya memujinya sebagai anak yang sholih dan jagoan, tentu saja lengkap dengan ekspresi kagum pada keberaniannya yang berjuang begitu sungguh walau harus jatuh dari tangga. Hasilnya? Amar mau salim dengan saya.

Selanjutnya dengan trik-trik yang lain saya berhasil menghabiskan waktu satu jam bersama Amar. Kami melihat ikan-ikan kecil di kolam Masjid Kampus yang baru dikuras, melambai-lambai pada pesawat yang sedang melintas, lomba lari di kanopi dekat tangga, belajar mengenal indra, juga main petak umpet. Ya, Amar sangat jago menjadi penjaga petak umpet, walau hitungannya hanya sampai tiga. Tapi jangan suruh Amar yang sembunyi, karena dia akan menjadi bingung dan hanya bengong kalau diminta sembunyi.

Waktu sesingkat itu, Subhanallah… bisa membuat Amar begitu lekat dengan saya. Saya hampir menangis ketika saatnya saya pergi Amar tak hendak lepas dari pelukan saya. Ia kalungkan tangannya ke leher saya dan ia genggam tangannya erat-erat. Ketika ingin saya lepas, ketika itu pula pelukannya semakin kuat. Yang bisa menandinginya tiada lain hanyalah sang ibu dan sebotol susu, itupun setelah ia lebih berkonsentrasi pada susunya dan dibawa ibunya ke taman masjid. Akhirnya saya tidak jadi pamit dengan Amar, khawatir dia tidak mau ditinggal saya lagi.

Amar… Ammah do’akan semoga menjadi anak yang sholih dan pemberani ya sayang, sebagaimana janji kita di kolam ikan.

Yogyakarta, 23 Agustus 2006

Untuk ibunda Amar, jazakillah ya Mbak Dyah. Saya belajar banyak dari Amar:)