Suatu Hari di Bulan Ramadhan

Oase Iman

oleh : ummu itqon Sehabis sahur segera kubenahi meja makan, dan alat-alat yang berserak di atas kompor.Kulihat masih ada sedikit sisa makanan yang ada. Sedikit sayur dan lauk. Satu hal yang paling tak kusukai adalah ketika melihat sisa-sisa makanan di meja.Tidak banyak memang, tapi terkadang ada bermacam-macam. Kalau kuhangatkan terkadang sayur-sayur itu sudah tak terasa enak lagi. Apalagi kalau puasa begini, rasanya lebih berselera kalau berbuka puasa dengan makanan yang masih hangat dan baru. Tapi kalau dibuang juga teramat sayang.

Sambil mencuci bekas piring-piring yang menumpuk ,dan masih kepikiran sisa-sisa makanan di meja, tiba-tiba pikiranku melayang ke masa kecilku.

Dulu hampir setiap hari ibu juga memiliki sisa makanan. Tapi seingatku beliau tidak pernah membuang makanan itu. Selalu beliau sisihkan makanan-makanan yang masih enak untuk dimakan. Dan pagi hari saat ada peminta-minta datang ,ibu mengundangnya masuk dan menawarkannya. Terkadang juga ditambah dengan lauk yang ibu masak hari itu. Dan aku ingat betul,meski dengan hanya berlauk ala kadarnya, subhanallah… raut muka mereka selalu cerah dan lahap menyantap “hidangaan” itu. Dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Saat itu seringkali aku berpikir, mengapa hanya dengan makanan masakkan kemaren itu mereka begitu gembira, dan lahap sekali memakannya. Padahal kalau aku sendiri yang makan, susah sekali untuk menelannya. Jangankan makanan kemaren, sementara makanan yang masih hangat baru selesai dimasakpun susah untuk menggoda seleraku. Sampai terkadang ibu harus menasehatiku panjang-panjang,baru karena tak tahan mendengar “long story” ibu, aku jadi menyentuh makanan itu dengan malas-malas. Ah…jadi ingat betapa bandhelnya aku waktu itu.

Alhamdullillah kebandelan itu tak melekat lama setelah aku sering memperhatikan pelajaran hidup dari tetanggaku. Mereka orang-orang yang bagiku sangat tabah dan sabar menghadapi cobaan hidup ini. Tetanggaku itu berada tepat di timur agak ke belakang rumahku. Rumah yang boleh dibilang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang ala kadarnya. Dengan ditempati 4 orang anggota keluarga. Seorang nenek buta, dengan anaknya perempuan yang buta pula, seorang anak laki-lakinya yang tuna rungu, dan seorang anak kecil setahun di bawah usiaku, anak dari anak yang lain si nenek, yang memang sejak kecil telah dipelihara oleh Mbah Ran. Begitu orang memanggilnya. Meski kondisi mereka seperti itu, tapi mereka dapat hidup wajar layaknya manusia normal.Mencari nafkah sendiri, menyiapkan makanan sendiri, dan semua layaknya pekerjaan manusia normal yang lainnya.

Dengan kondisi yang seperti itu tak pernah sekalipun aku mendengar mereka berkeluh kesah. Setiap hari Mbah Ran mencari rezeki dengan berdagang lonthong dan bubuk kopi. Anak perempuannya menerima panggilan pijat bagi ibu-ibu yang membutuhkannya. Dan Anak laki-lakinya menawarkan tenaganya sebagai kuli angkut di pasar.

Subhanallah, begitulah kehendak Allah meski dengan keadaan panca indra yang tak lengkap,namun mereka bisa hidup dan menghidupi diri dengan tetap menjaga harga diri mereka.Bahkan aku ingat ketika ibu menawari untuk membelikan obat saat Mbah Ran sakit, anak perempuannya langsung berkata, “Saya butuh pekerjaan bu, kalau ibu menerima saya menyapu halaman, insha Allah Mbah Ran bisa membeli obat.” Dia tak menerima begitu saja pemberian ibu. Malahan meminta pekerjaan sebagai ganti uang obat buat Mbah Ran. Meski sebenarnya tak perlu orang lain menyapu halaman, karena jatah pekerjaan kakakku yang nomor dua, tapi karena mereka tak mau menerima begitu saja uang itu, akhirnya ibu mengizinkan setiap pagi Lek Jam (begitu aku memanggilnya) menyapu halaman.

Peristiwa yang sering juga kuingat,setiap kali ibu menyuruhku membeli lonthong di rumah mbah Ran, sambil menerima uangku, beliau akan dengan fasih mengucapkan syukur dan mendo’akan kemurahan rezeki bagi keluarga kami. “Alhamdullillah, Gusti Allah andum rezeki nduk. Mugo-mugo rezekinya ibu lan bapak ditambah-tambah, dadi mbah Ran kecipratan.” (Alhamdullillah Gusti Allah membagi rezeki.Semoga ibu dan bapak rezekinya bertambah-tambah, sehingga mbah Ran juga kebagian).

Kata-katanya sangat sederhana, tapi selalu membikin hatiku terenyuh. Dan begitulah setiap saat ada orang datang membeli lonthong atau kopinya, lisannya tulus mengucapkan syukur dan doa buat mereka. Subhanallah..

Mengingat itu tiba-tiba mataku berlinang. Betapa Allah menghadiahkan ucapan yang selalu indah bagi mereka yang sebenarnya mendapatkan ujian yang menurutku sangat berat. Ucapan syukur yang tulus, ucapan do’a yang ikhlas, yang seakan-akan mereka berada pada posisi yang sangat bahagia. Atau mereka memang orang-orang yang bahagia? Yang memang selalu merasa cukup atas apa yang Allah berikan pada mereka.Aku jadi ingat ucapan seorang ustad yang pernah aku dengar, kebahagiaan itu bila kita merasa ikhlas dan ridho dengan apa yang didapat dari Allah. Selama kita merasa cukup, maka akan selalu terasa bahagia. Tetapi bila kita tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah, dengan apa yang ada pada kita, sebanyak apapun kekayaan atau keahlian kita, maka kita pasti tidak akan pernah merasa puas dan pasti tak akan pernah merasa bahagia.

Astagfirullah ya Allah, bagaimana dengan aku? Apakah aku masih terlalu sering mengeluh merasa kurang cukup juga atas pemberianmu?Ya Allah, betapa malunya aku. Kalau saja mereka yang berpenghidupan seperti mereka-mereka itu selalu cukup atas pemberianmu, kenapa aku tidak? Astagfirullah…

Kuringkas makanan yang ada di meja, kupanaskan sebentar dan kusimpan di kulkas. Insya Allah, nanti tinggal membuat sedikit tambahan buat buka puasa.

[email protected]