Decision-Making Risks

Pergantian tahun Hijriah baru saja berlalu. Ada sementara manusia yang mengoreksi diri, tidak sedikit pula yang tidak mau tahu. Ada yang menghitung keuntungan finansial, ada pula yang mengalkulasi seberapa peningkatan mutu kehidupan spiritual. Ada yang mengidentifikasi performa individual, juga tidak sedikit yang melihat penampilan official di tempat kerja, di antaranya adalah saya.

Beberapa bulan terakhir ini, saya merasakan ada konflik di kantor. Bukan dengan siapa-siapa, namun dengan diri sendiri. Hal ini lantaran sejumlah dokumen kerja yang semakin numpuk dan sepertinya tidak ada yang mengambil keputusan. Sementara, dokumen-dokumen tersebut ada di meja kerja saya. Secara otomatis saya turut bertanggung-jawab terhadap keterlambatan urusannya. Inilah sebuah beban mental dalam kerja.

Dua pekan lalu, saya sudah berusaha untuk mendekati beberapa orang rekan kerja yang terkait dengan penyelesaian dokumen itu. Tetapi saya tidak mendapatkan jawaban memuaskan sebagai sebuah keputusan. Hal itu terjadi hingga Kamis pekan lalu. Waktu itu, manajer departement sedang cuti. Pada saat yang sama, supervisor divisi kami juga sedang cuti emergency. Saya sendiri melihat ada risiko dalam kacamata perusahaan jika dikumen yang menggantung ini tidak segera diselesaikan.

Akhirnya saya mencoba membicarakan hal ini dengan sejawat sebagai delegasi supervisor, meminta pendapatnya tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini. Meski demikian usulan ini didukung olehnya, saya membutuhkan barang bukti. Karena itu, pengiriman lewat email merupakan cara yang terbaik. Saya berpikir bahwa pengiriman dokumen ini tidak bakal efektif apabila boss tidak diberikan tembusan. Apalagi tidak ada komentar. Karena itu, saya-CC kan pula sebagai tembusan ke delegasi manajer.

Ternyata benar dugaan saya. Pejabat yang mewakili bos besar memberikan respon yang mendapatkan reaksi ‘positif’ dalam pandangan saya. Dari 16 dokumen yang nggantung tersebut, 4 di antaranya segera diselesaikan. Saya berpikir ini sebuah tindakan yang ‘positif’.

Pada hari yang sama, tanpa saya ketahui, sang supervisor departemen ternyata datang dari cuti emergency-nya. Mengetahui email yang saya kirim, dia ‘mencak-mencak’. Saya dipanggil dan dimarahi. Melihat sikap yang kurang kondusif seperti ini, saya dengarkan dengan tenang segala komentarnya yang pada hemat saya tidak fokus. Artinya, komentar-komentarnya cenderung menyalahkan tindakan yang saya lakukan, bukannya menganalisa sebab, akibat dari sudut pandang manajemen.

Sebagai seorang supervisor, harusnya mengerti dan memahami bahwa segala persoalan yang sedang terjadi, apalagi tentang dokumen-dokumen yang butuh penyelesaiaan yang sudah berbulan-bulan, bukan lagi issue individu. Dokumen yang tidak dirampungkan akan berakibat pada reputasi departemen. Habis-habisan dia memarahi saya lantaran email yang saya kirim itu di-CC-kan kepada delegasi manajer departemen yang nota bene, kata dia adalah an outsider. Sebuah alasan yang menurut saya kurang bisa diterima.

Kemarahan dia yang berkepanjangan menurut saya tidak perlu harus ditanggapi. Saya bilang kepadanya, “What I have done was nothing personal. I just want to improve the system!” Lagi pula, dia juga bukan supervisor saya langsung. Beberapa komentar dari seorang rekan kerja terhadap tindakan yang saya ambil adalah “ini pelajaran yang baik. Kalau bukan kamu yang mengambil sikap, meski risikonya bakal dimarahi seperti ini, tapi buahnya positif: mereka tidak akan memolor-molor proses penyelesaian dokumen yang akibatnya bisa numpuki!” Anehnya, si supervisor yang marah-marah tadi langsung mengambil seluruh dokumen yang ada di saya dan katanya akan segera diselesaikan!

Sakit hatikah saya atas kemarahan yang dia arahkan kepada saya?

***

Hidup ini hakekatnya adalah pelajaran. Dari setiap pelajaran yang kita rengkuh di dalamnya pasti mengandung hikmah, terlepas apakah hikmah itu bakal kita petik atau tidak buahnya.

Begitu juga dengan setiap keputusan yang kita ambil sebagai bagian pelajaran dalam kehidupan kita. Setiap langkah kita, selalu dihadapkan kepada pengambilan keputusan, apakah itu persoalan individu, sosial, politik, budaya, keamanan hingga persoalan spiritual atau agama. Kita yang tidak mau naik pesawat dengan alasan bahwa takut jatuh, maka risikonya jika perjalanan jauh, pasti akan makan waktu yang lama. Dilain itu bukankah lewat darat, baik itu naik mobil, kereta api, atau laut, juga penuh risiko yang bahkan angka kecelakaannya lebih tinggi dibanding pesawat?

Kita yang tidak berani mengambil keputusan dalam setiap langkah hanya karena risiko ini dan itu, otomatis tidak pernah merasakan buah dari segala bentuk pelajaran dalam hidup, apakah itu baik atau buruk. Ini sekalgus tidak melatih potensi yang ada dalam diri sendiri untuk bersikap tegas.

Hikmah yang bisa dipetik dalam pengalaman ini, sebagaimana terurai dalam paragraph di atas, adalah bahwa tidak ada yang namanya tindakan dalam kehidupan yang bebas dari risiko. Semakin banyak kita terlibat konflik pengambilan keputusan, semakin dibuat kita matang dan berani menghadapi persoalan hidup.

Yang menjadi masalah adalah, apa saja faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam setiap pengambilan keputusan ini? Hemat saya, yang pertama adalah, pertimbangkan bobot hasil pengambilan keputusan anda. Mana yang lebih berat, positif atau negatif? Hal ini penting, jangan sampai reputasi anda, keluarga, profesi, terutama agama, misalnya menjadi taruhan yang amat berat lantaran keputusan yang kurang matang. Kalau perlu identifikasi serta buat daftarnya. Sehingga, hitam di atas putih clear!

Yang kedua, libatkan orang lain sebelum keputusan diambil. Hal ini lantaran anda butuh dukungan, setidaknya psikologis, sebelum anda melangkah. Pula tidak menimbulkan kesan bahwa keputusan ini diambil atas dasar kepentingan pribadi atau personal gain. Melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan juga mengurangi risiko, di samping menunjukkan keefektivitasan kita dalam team-work.

Ketiga, dokumentasikan setiap hal yang terkait dengan segala keputusan anda, utamanya jika melibatkan orang lain. Ini penting, utamanya jika anda berada di sebuah organisasi dan anda terlibat dalam satu team. Dokumentasi yang baik membantu jastifikasi yang kuat terhadap pengambilan keputusan anda yang tidak bisa dibantah. Dalam persoalan di atas, saya bilang kepada supervisor, “Please reply my email officially if anything wrong with my action!”

Yang keempat, review lagi langkah-langkah pengambilan keputusan anda. Tahap ini akan membuat membuat anda lebih mantap dan siap. Tahap ini juga akan mengurangi stress terhadap berbagai risiko yang muncul nantinya.

***

Kita bukanlah sosok seperti Rasulullah SAW yang suci, bebas dari dosa dan salah serta yang dijamin surga oleh Allah SWT. Kedudukan serta jabatan beliau SAW sebagai Nabi dan Rasul dalam kesehariannya senantiasa dan sarat dengan persoalan-persoalan besar yang selalu menanti dan mengharapkan sebuah keputusan dari beliau SAW. Rasulullah SAW dibekali dengan bukan hanya keberanian dalam pengambilan keputusan, akan tetapi juga siap dengan alasan yang memang tidak bisa ditentang apalagi dibantah.

Belajar dari perjalanan kehidupan beliau SAW dengan permasalahan-permasalahan yang jauh lebih pelik dan kompleks dibanding kita-kita ini, apalah artinya konflik di kantor sebagaimana yang saya ungkap di atas?

Jadi, mengapa harus sakit hati atau dendam yang tidak berkesudahan hanya karena orang lain, meski itu seorang supervisor, bila kita dalam posisi yang benar?

Intinya, sepanjang keputusan yang kita ambil itu menguntungkan banyak pihak, procedural, melibatkan orang lain, murni dari hati nurani sebagai sebuah kebaikan bukannya kebatilan, sudah dipertimbangkan masak-masak serta kita siap dengan risiko, mengapa meski kita tunda? Take the decision and be ready with the risks!

Doha 10 December 2010
[email protected]