Give Him a Chance

Saya masih ingat dalam suatu riwayat, disebutkan salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, yang rumahnya sedang diintip maling. Namun gagal dijarahnya. Sang maling yang semalaman menunggu pemilik rumah tertidur lelap, perhitungannya salah. Sang pemilih rumah, di luar dugaan, mengetahui, bahwa dia tidak sendirian. Ada orang ‘asing’ bersamanya.

Bagaimana jika kejadian di atas menimpa kita? Pada saya apalagi! Kontan nggak bisa bayangkan bagaimana harus mengontrol diri. Barangkali mulai dari, teriak: “Maliiingggg…..!!!!” hingga mencari pentungannya Cricket. Akan tetapi tidak demikian yang beliau lakukan. Sahabat Rasulullah SAW ini. Beliau tetap menjalankan salat malam.

Melihat sikap tuan rumah yang demikian, si maling tentu saja tidak sabar dan geregetan. Maling yang satu ini memang cukup kuat menahan niat, untuk menjarah barang-barang yang ada di dalam rumah secara gegabah.

Saya tidak mau berpanjang lebar tentang cerita di atas yang pada akhirnya, sang Maling bercerita pada rekan-rekannya, bahwa dia mendapatkan hasil ‘jarahan’ melebihi yang dia harapkan.

Pesan Islam yang diterima dari si empunya rumah kepadanya, yang membuat dia bahagia. Nasihat sang pemilik rumah membuat dia sadar akan yang diperbuatnya selama ini saja. Dia kembali ke jalan yang benar!

Subhanallah…..

***

Saat rumah saya sedang dalam tahap bangunan. Pimpinan ‘proyek’, sebut saja begitu, biar tampak seperti keren, ‘Real Estate’, saya serahkan kepada seorang keponakan. Dia selama ini banyak mengerti tentang seluk-beluk bangunan. Terutama perumahan. Dia pernah menangani sejumlah kontrak pembangunan. Tanpa berpikir panjang, bagi saya pikir, dia lah ahlinya.

Dalam perjalanannya, saya tidak pernah menanyakan berapa barang-barang/material bangunan yang telah dihabiskan. Juga tidak pernah bertanya mengapa ini ada yang kurang, kenapa itu ada yang lebih, dan lain sebagainya. Prinsip percaya manjadi modal. Demikian pula yang dia perlakukan terhadap para tukang bangunan.

Kepercayaan merupakan landasan yang amat penting dalam bekerja. Bekerja butuh ketenangan. Tanpa didasari unsur kepercayaan ini, bagaimana kita bisa bekerja dengan tenang? Apapun bentuk dan macam pekerjaan serta jabatan kita. Apakah manajer atau buruh paling bawah, semuanya membutuhkan kepercayaan. Saya bisa bayangkan, betapa menderitanya orang yang dalam setiap langkahnya selama kerja tidak/kurang dipercaya oleh supervisornya.

Saya melihat, keponakan saya, sebut saja Ahmad, bisa memegang amanah. Karena itulah saya percaya. Hal yang sama dia terapkan kepada para tukang yang bekerja dibawah supervisinya. Saya pun puas terhadap hasil kerjanya.

***

Malam itu, dia melapor kepada saya. Memberikan evaluasi, sejauh mana garapan ‘proyek’ ini telah berlangsung. Saya biasanya tidak terlalu serius menanggapi, kecuali menekankan bahwa saya mendukung serta menghargai pola kerjanya selama ini.

Yang membuat saya lebih bangga lagi adalah, ketika dia cerita bahwa siang tadi. Dia ddidatangi oleh salah seorang buruh bangunanya. Orangnya kecil dan namapak kumuh. Dia bilang: “Pak, ada yang perlu saya sampaikan. Boleh minta waktu?” Pintanya. Yang tentu saja di jawab ‘ya’, oleh Ahmad.

“Saya mau mengembalikan sejumlah duit yang saya dapat dari hasil mencuri sejumlah barang material bangunan ini. Tanpa sepengetahuan Bapak.” Katanya tersendat, memohon.

“Ini duitnya sebesar Rp 300 ribu. Masih kurang Rp 200 ribu lagi. Sisanya tolong dipotong dari gaji mingguan saya.” Lanjut sang tukang. “Saya lakukan semua ini karena memang desakan kebutuhan keluarga, yang saya tidak tahu harus dari mana mendapatkannya. Oleh sebab itu, saya curi barang-barang Bapak.”

Mendengar pengakuan jujur si tukang, Ahmad tersentuh. Di jaman seperti ini, pikirnya, masih ada juga orang-orang yang berbuat jahat, kemudian mengaku, serta mengembalikan sesuatu yang bukan hak nya, dengan ikhlas. Subhanallah…..

***

Hikmah yang bisa dipetik dari kejadian di atas adalah: hidup pada dasarnya adalah proses pembelajaran. Selama belajar itulah, manusia dalam perjalan hidupnya bisa berubah. Kesalahan yang telah diperbuat dan diikuti dengan pengakuan yang tulus sudah semestinya mendapatkan ‘penghargaan’ dengan kata maaf serta diberinya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka akan menjadi lebih baik. Sebagaimana guru yang memberikan kesempatan mengulang kepada anak didiknya yang banyak kesalahan dalam mengerjakan soal-soalnya.

Memaafkan, merupakan perbuatan yang amat mulia di sisi Allah SWT. Memaafkan kesalahan orang yang telah menyakiti hati kita atau mencuri barang-barang kita, bukanlah hal mudah. Namun yang lebih sulit lagi adalah mengungkapkan kesalahan kita, kepada mereka yang kita sakiti, yang sangat berisiko.

Memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjadi lebih baik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar. Dan memberikan maaf akan menumbuhkan kelegahan bagi si pemberi serta mampu melahirkan semangat baru kepada mereka yang dimaafkan.

Dan guna melakukan itu semua, kita tidak harus kembali ke abad ke 14, di jaman Rasulullah SAW… Sebaliknya, cukup meneladani perbuatan mulia beliau-beliaunya….

Wallahu a’lam.

Doha, 23 March 2011
[email protected]