Journey to India Part II: Incredible!

Tujuh tahun lalu, ketika masih bekerja di Dubai, saya pernah sakit dan harus mondok di Rashid Hospital selama 6 hari. Kejadian yang sama terulang kembali dua tahun kemudian, empat hari lamanya. Dua kali dirawat di rumah sakit yang sama, dua kali itu pula dua orang teman saya, keduanya berwarga–negara India, yang membantu banyak kebutuhan saya selama di rumah sakit.

Jujur saja, karena salah satu orang India tersebut, sebut saja Abdul Karim namanya, rekan se-flat waktu itu, maka wajar jika dia yang lebih banyak membantu ketimbang rekan-rekan se bangsa. Sedangkan yang satu lagi, Zahoor, adalah rekan kerja di kantor, yang pula tinggal tidak jauh dari tempat saya tinggal, tidak sedikit sumbangsihnya di kala saya sangat membutuhkan bantuan, kalau terlalu berlebihan bila saya katakan hutang budi.

Tujuh tahun berlalu sudah. Kami tidak lagi tinggal di satu tempat, satu kota, Dubai, karena saya pindah ke Qatar tiga setengah tahun lalu. Apalagi satu tempat kerja. Tapi jasa baik mereka terhadap saya kala sakit waktu itu, tetap melekat dalam benak. Mereka perlakukan saya bahkan melebihi seorang saudara.
Bagaimana saya sanggup melupakan kebaikan ini?
*****

Sebulan sebelum Idul Adha bulan lalu, keduanya sakit. Keduanya, yang hingga saat ini masih memegang status residence visa Dubai, perlu dirawat di rumah sakit. Keduanya putuskan untuk pulang ke tanah air mereka, India. Karena selain biaya perawatan dan pengobatan yang lebih murah, sanak kerabat lebih dekat. Keadaan mereka beda dengan kondisi fisik saya waktu itu, lantaran benar-benar emergency dan berisiko tinggi jika harus balik ke Indonesia. Lagi pula, Alhamdulillah biaya pengobatan dan perawatan saya ter-cover oleh asuransi. Sedangkan bagi mereka, asuransi bukan pertimbangan pertama.

Berangkat dari niat menemui keduanya di India, saya putuskan untuk berkunjung (lagi) ke sana, sekaligus silaturahim. Selain itu, tentu saja saya manfaatkan melihat lebih dekat keindahan negara bagian selatan negeri yang berpenduduk lebih dari satu miliar manusia, di anak benua Asia ini. Abdul Karim di Kerala, Zahoor di Karnataka. Keduanya bertetangga, laiknya Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Artikel ini adalah bagian kedua dari tulisan pertama: Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India, yang mengupas secara umum keadaan India yang saya temui di berbagai negara bagian, termasuk Delhi dan keindahan Taj mahal. Di bagian kedua ini tentang perjalanan saya selama di Kerala dan Karnataka, dua negara bagian di selatan India yang tidak kalah cantiknya dibanding dengan Rajastan, Hyderabad atau Haryana.

Dari atas awan, sesaat sebelum mendarat di Bandara Internasional Kozhikode (Baca: Calicut), saya melongok dari kaca jendela pesawat, daratan yang membentang di kota ketiga terbesar di bagian utara Kerala ini sepertinya tidak bedanya dengan Sulawesi Utara yang kaya akan pohon kelapa. Sepanjang mata melihat, sejauh itu nyiur dedaunan pohon kelapa melambai. Bisa dimengerti, karena Kerala sendiri berarti: Tanah Kelapa. Pemandangan semacam ini sebenarnya tidak asing bagi saya, karena banyak bisa ditemui di berbagai belahan bumi di Tanah Air Indonesia. Jadi, untuk sementara,: “Tidak terlalu istimewa!” demikian kata batin ini.

Di dalam pesawat, saya ketemu seorang teman yang bekerja di perusahaan yang sama, di departemen yang berbeda. Dalam hati berharap barangkali dia akan ‘surprised’ melihat kedatangan saya di India. Pula berharap dia bakal menawarkan ‘jasa baik’, setidaknya memberikan nomer teleponnya in case saya membutuhkan bantuan, atau menawarkan saya mampir ke rumahnya, meski yang terakhir ini saya tidak terlalu berharap, karena jadwal saya sudah padat.

Ternyata, perkiraan saya meleset! Responnnya tidak seperti yang saya duga! Padahal hampir setiap hari kami ketemu di kantor! Toh, meski demikian saya tidak mau menjeneralisasikan. Seperti halnya orang kita, barangkali dia salah satu orang India yang pada hemat saya ‘lambat bereaksi’ terhadap tamu ‘asing’ seperti saya. Lagian salah saya, mengapa meski berharap? Toh, di luar sana, sedang menunggu kedatangan saya, banyak orang-orang ramah yang bersedia membantu segala urusan saya selama perjalanan nanti.

Tiba di bandara, bagian Imigrasi, orang-orang non-India, diperlakukan khusus. Artinya, kami punya barisan tersendiri. Jadi tidak perlu antri lama. Kerala yang kecil ini banyak penduduknya yang bolak-balik ke luar negeri, baik itu yang tinggal, bisnis atau bekerja. Dengan luas wilayah tidak lebih besar dari Pula Jawa, populasinya sekitar 30 juta jiwa, Kerala memiliki tiga buah bandara internasional: Trivandrum, Kochin dan Calicut. Dua yang terakhir ini saya pernah kunjungi. Tidak lebih dari 30 menit kemudian, saya keluar dari bandara, bertemu dengan Abdul Karim, mengenakan sarung warna putih khas Malayalee, demikian mereka menyebut orang asli Kerala, beserta seorang keponakannya, Taju,yang sudah saya kenal ketika dia bekerja di Abu Dhabi. Kami pun meluncur bertiga menuju Calicut, sebelum berlaju ke Kannur, sebuah kota setingkat kabupaten di bagian utara Kerala.

Hospitality

Disamping menjenguk Abdul Karim dan Zahoor, rencana kunjungan saya kali ini memang hanya dua negara bagian: Kerala dan Karnataka. Dua rekan saya tersebut memang tinggal di negara bagian yang berbeda. Untungnya masih bertetangga. Dari dua negara bagian tersebut, saya sempat tinggal di empat kota di Karnataka dan empat kota pula di Kerala. Beberapa kota terkenal Kerala yang saya kunjungi adalah Kannur, Calicut, Kochin serta Kollam. Sedangkan di Karnataka saya melihat Mangalore, Kandapura, Udupi serta Karkala.

Jika saya bandingkan dengan sejumlah kota di Jawa, barangkali secara fisik, infrastrukturnya tidak terlalu menarik. Hanya saja, sentuhan India nya yang berbeda. Demikian pula alamnya. Di daerah-daerah agak masuk, setingkat kecamatan atau desa, orang-orang India selatan ini sepertinya menekankan investasi pada rumah. Apalagi di Kerala. Di banyak tempat, rumah-rumah besar, bertingkat dan berlantai marmer bertebaran. Di sebuah kecamatan bernama Pappinisserri yang berada di distrik Kannur, di mana Abdul Karim tinggal, rata-rata rumah bertingkat. Berkamar 4-5 buah dan kualitas bangunannya cukup bagus dibanding rata-rata bangunan kita, setidaknya di Malang, tempat asal saya.

Besarnya bangunan rumah mereka dipercantik lagi dengan halaman yang rata-rata memang luas. Dinaungi oleh pohon kelapa, mangga atau sawo yang rindang. Terkadang nanas pula bertebaran. Setiap rumah punya Sumur. Terkesan subur, indah dan makmur. Bikin saya heran! Karena di Jawa, di pelosok desa atau pinggiran kota, orang kita rata-rata kurang atau tidak mampu untuk membangun rumah sekelas itu dengan halaman atau pekarangan yang cukup bahkan untuk bercocok tanam sekedar memenuhi kebutuhan dapur. Alasan yang saya temukan ternyata sederhana: orang-orang India selatan ini rata-rata tiap rumah terdapat satu orang yang bekerja di luar negeri. Hasil kerja mereja dimanfaatkan sebagai investasi untuk membangun rumahnya.

Kecantikan kedua yang saya temukan dari masyarakat India Selatan adalah keramah-tamahan mereka dalam menyambut tamu. Sebagai pendatang, sudah tentu bila banyak orang yang pingin tahu bilamana saya bertamu, dari rumah ke rumah. Kayak orang Trenggalek Selatan saja, mereka begitu bersahabat, meski dalam ekspresi bahasa yang kurang saya mengerti: Malayalam. Namun, keramah-tamahan orang-orang ini membuat saya takjub. Barangkali inilah salah satu kunci mengapa meski dari segi infrastruktur bahkan kebersihan India bisa saja kalah dengan negara kita, namun India lebih mampu menyedot banyak turis. Bukan sekedar peninggalan bersejarah, budaya, tarian serta film-filmnya semata.
Kebaikan mereka menjamu tamu bukan terbatas pada hanya masalah fasilitas kamar tamu, makanan, transport yang mereka sediakan kepada saya sebagai tamu saja. Tapi benar-benar saya alami saat di lapangan, di jalan, pertokoan, tempat wisata, pasar, masjid, sekolah dan lainnya. Bahkan sesama orang India pun, terlihat sangat membantu. Sepanjang perjalanan saya di sana dua pekan, kecuali di bandara yang dalam hitungan saya tergolong ketat, tidak sekali pun saya mengalami hambatan apalagi pengalaman yang kurang menyenangkan lantaran sikap mereka. Bisa saja penilaian ini subyektif. Tapi ini saya alami di delapan kota di dua negara bagian! Jadi, bukan sebuah kebetulan! Incredible!

Healthcare
Ada persoalan lain yang lebih penting menurut saya dari pada sekedar bangunan fisik dan hospitality orang India. Abdul Karim dan Zahoor memiliki masalah kesehatan yang boleh dikata mirip. Keduanya membutuhkan pendekatan orthopedic. Guna mengatasi problema kesehatannya, mereka bukannya memilih pendekatan dengan dunia kedokteran modern, namun tradisional.

Di India, pengobatan tradisional (Ayurvedic) tergolong umum dan memasyarakat. Ayurvedic berasal dari kata ‘Ayurveda’ yang artinya: science of life, diakui oleh pemerintah secara legal. Jumlahnya, luar biasa banyaknya. Di Pappinissery misalnya, tempat Abdul Karim tinggal, ini tidak kurang dari lima buah. Padahal setingkat kecamatan. Saya sempatkan merasakan tradional massagenya di Jeevan Hospital. Demikian pula di Karnataka. Di Udupi, sebuah kota sebelah utara Mangalore, sekitar 50 km, terdapat sebuah RS Ayurvedic terbesar kedua di India. Zahoor dirawat 4 minggu di RS tersebut.

Pengobatan ayurvedic ini diakui resmi sebagaimana RS-RS di tempat kita oleh Ministry of Health of India. Mereka memiliki lembaga pendidikan untuk teknisi, nurses juga dokter. Di Udupi saya menyempatkan diri melihat lebih dekat karena Zahoor control di sana. Pengobatan tradisional ini bukan hanya sebagai saingan pengobatan modern yang bagi banyak orang kita terhitung mahal, tetapi juga alternative. Utamanya bagi mereka yang ingin pendekatan non-surgical, atau tanpa pembedahan.

Ayurvedic memang murah sekali di India. Pendekatan alam yang ada dalam ayurvedic mampu menarik minat wisatawan luar negeri. Sebuah RS ayurvedic terkenal di Kannur yang bernama Mahathma Nature Center terdapat orang Kanada, Amerika Serikat bahkan Malaysia ini dibangun di sebuah puncak bukit nan indah. Sayangnya saya tidak sempat ngobrol dengan mereka karena terbatasnya waktu.

Pelayanan kesehatan alternative ini membuat India menjadikan daya tarik bagi turis tersendiri. Biaya untuk pijat kesehatan misalnya, yang dilengkapi steam bath dan mandi dengan lulur sebagai contoh, untuk kelas menengah, tidak lebih dari Rp 200 ribu. Sebuah jumlah yang amat murah untuk ukuran kita. Apalagi ditangani oleh professional. Bukan sembarang tukang pijat yang tanpa license apalagi kampungan.

Itu bukan berarti pelayanan kesehatan dengan dunia kedokteran modern mahal di India. Ketika di Udupi, saya diajak oleh rekan lama yang pernah kerja di Dubai, Oswold Cornellio namanya, mengunjungi salah seorang keponakannya yang menderita sakit jantung. Anak usia 7 tahun, membutuhkan operasi bedah jantung. Ibu sang anak bilang, bahwa biaya operasi ini sekitar Rs 60-70 ribu, atau sekitar Rp 12.5-15 juta, sebagian ditanggung oleh negara, sebesar 20 ribu Rupess atau sekitar Rp 5 juta. Sebuah kepedulian yang amat besar dari pemerintah terhadap rakyatnya. Memang, di India pelayanan kesehatan di RS pemerintah gratis. Makanya, di Calicut Hospital misalnya yang saya sempat mengambil gambarnya, jumlah pengunjungnya begitu berjubel kayak Pasar Besar Malang saja.

Sebenarnya bukan hanya RS pemerintah saja yang banyak pengunjung. Di RS KMC Mangalore, RS swasta, ketika mengantarkan teman menemui seorang Cardiologist, untuk masuk lift saja, antriannya bukan main. Kami berdesakan di dalamnya. Saya bilang sama rekan saya: “ It is like entering a train!” Dia ketawa! Yang membuat heran lagi, biaya konsultasi ke seorang konsultan penyakit jantung kok ya murah sekali! Masak hanya sekitar Rp 30 ribu, di sebuah kota besar kayak Mangalore!

Murahnya biaya pengobatan ini masih diimbuhi lagi dengan konsultasi gratis sesudah pasien pulang. Teman saya bisa telepon sang dokter sesudah melakukan pemeriksaan laboratorium dari rumahnya yang berjarak 60 km dari RS, tanpa dipungut biaya. Dan, yang membuat tidak kalah heran lagi adalah: petugas laboratorium di tempat asalnya sepertinya berkewajiban menelpon pula sang dokter, memberitahu hasil pemeriksaannya. Itu semua saya lihat di depan mata kepala sendiri. Apakah ini karena biaya telepon di India murah sekali? Wallahu a’lam! Incredible!

Swadeshi

Terbiasa hidup dengan dimanjakan oleh kertas tissue (klinex) membuat saya seperti ketergantungan. Saat berada di pasar Karkala, saya mencarinya. Luar biasa sulitnya, meski pada akhirnya dapat, sesudah keliling ke beberapa toko. Itupun bentuknya sudah lusuh dan berdebu. “We are not used with tissue paper!” kata teman saya.

Di Kottayam, diajak ‘keliling’ dengan perahu Getek kecil, yang mampu memuat 8 penumpang. Di sana, kami berkeliling ke dusun-dusun pelosok, menemui keseharian perempuan-perempuan India yang sedang merajut Keset, Tikar dan lain-lain. Barang-barang ini bukan hanya untuk dikunsumsi sendiri, tetapi juga dijual.

Tissue adalah salah satu contoh kecil yang orang India banyak tidak bergantung. Sebaliknya, Sapu Tangan (Handkerchief) amat popular. Orang India terbiasa menyimpan di saku mereka sapu tangan ini. Utamanya orang Kerala. Bagi kaum Muslim pria, itu nampak sekali apabila mereka mau ke masjid. Mereka gunakan sapu tangan warna putih sebagai penutup kepala, sebagai pengganti kopiah hitam jika di kita.

Demikian pula kebutuhan hidup lainnnya seperti Tikar atau karpet yang terbuat dari kulit kelapa. Orang India bangga dengan produk buatan mereka sendiri. Mereka tidak tergiur dengan produk-produk Barat atau Cina yang membanjir di negeri kita. Belum lagi soal makanan tradisional. Nyaris sulit dicari di India selatan restaurant yang menyajikan makanan alat Barat, Arab atau China. Bagaimana tidak sulit, lha wong masakan India saja sudah laris manis dijual?

Sepanjang perjalanan saya di kedua negara bagian tersebut, aneka makanan lezat saya rasakan, gratis karena banyak teman yang nawarin! Kalaupun harus ke rumah makan, harganya sangat terjangkau oleh masyarakat kelas kecil. Apalagi untuk turis. Memang saya akui, seperti dalam tulisan saya terdahulu, makanan India juga ada yang mahal di India Utara seperti di Delhi atau Bombay dan sekitarnya. Tapi sebenarnya hanya persoalan milih. Kita bisa makan nasi yang seharga Rp 500 ibu sepiring. Namun di pasar juga banyak yang tersedia Nasi Biryani (sejenis nasi Uduk) yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu. Itu pun, pengalaman saya di kota Kollam-dekat ibu kota Kerala Trivandrum- jika kurang, masih ditambah lagi oleh pelayannya-hingga kenyang dan….. tidak perlu bayar ekstra!

Kebanggaan warga India bukan hanya terbatas pada sapu tangan, karpet dari kulit kelapa atau makanan saja. Pakaian, pendidikan, teknologi informasi, mobil, motor, film, tradisi, budaya hingga satelit sejenis Palapa dan ratusan jenis professional. Semuanya bisa didapatkan tanpa harus repot-repot menginjakkan kaki ke luar dari bumi mereka. Incredible!

Tourism

Sepanjang perjalanan naik kereta api di Kerala, dari Mangalore ke Trivandrum, lebih dari 12 jam, yang tersaji di kanan dan kiri kita adalah pemandangan yang fantastic. Subhanallah! Mestinya, kita tidak perlu harus mengunjungi taman, kebon binatang atau tempat wisata lainnya, karena apa yang terhampar di hadapan kita adalah keindahan. Pantas jika Kerala disebut sebagai God’s Own Country, yang bisa saya lihat tulisan ini terpampang di kota-kota besar serta tempat-tempat wisata.

Di Kota Kollam, misalnya, sebuah kota yang artinya sebenarnya pemberian Inggris, sama dengan Bahasa Indonesia ‘Kolam’, memang kota ini terletak di antara danau-danau indah yang tersebar di sekitarnya. Sungguh indah sekali. Baru kali ini saya melihat kota yang dikelilingi danau bersih, ditambah dengan kehijauhan yang benar-benar menawan. Andai saja ini bedara di Jawa, pasti banyak dibanjiri wisawatan local, yang sudah tentu memberikan income bagi pemerintah daerah serta sumber penghasilan bagi rakyat sekitar.
Tapi tidak demikian halnya di Kerala. Saya tidak melihat banyak orang-orang lokal yang berjualan ramai disepanjang daerah-daerah wisata seperti yang saya temui di Kollam ini. Apalagi pengemis atau gelandangan. Beberapa kali saya temui pengemis, tapi jarang. Pedagang keliling juga nyaris tak terlihat. Sekalipun saya temui di Kochin, pesisir pantai, kota terbesar kedua di Kerala, pusat bisnis, jumlahnya sedikit sekali. India sepertinya ketat dalam soal pedagang asongan ini. Sepertinya tidak sembarangan. Hal ini bagi saya sungguh menarik! Dengan minimnya orang-orang yang berjualan di sekitar tempat wisata, selain memberikan kenyamanan pada wisatawan juga akan mengurangi sampah. Karena, jualan makanan dan minuman, secara otomatis akan berdampak pada penambahan jumlah sampah. Plastik utamanya. Dan ini merusak lingkungan.

Di Kochin, kami ikut rombongan, hanya lima orang satu mobil, diorganisasi oleh Kerala Tourism Board. Paket yang kami ambil adalah Black Waters tour, perjalanan naik perahu kecil di Kottayam, di sebuah canal yang menghubungkan sungai, kemudian laut. Canal-canal yang kami lalui ini melewati daerah pelosok/pedesaan, yang sangat rindang dengan pepohonan layiknya di pedalaman.

Sesekali kami mampir ke rumah penduduk dan minum Teh, seharga sekitar Rp 2500. Kami juga dikenalkan dengan sejumlah penduduk yang bekerja secara tradisional, seperti bikin batu bata, membikin tali dari kulit kelapa hingga menganyam tikar. Sebuah pemandangan yang bagi saya sepertinya mengajak kembali ke jaman 60-an di banyak desa di negeri kita. Sebuah pemandangan yang di negeri kita kini sudah langka.

Sepanjang canal saya juga melihat beberapa ibu-ibu (jumlahnya memang satu dua saja), mencuci pakaian di sana, mereka menggunakan sabun cuci tradisional merek Chandrika. Meski demikian, canal yang demikian panjang yang diapit oleh beberapa rumah penduduk yang jaraknya rata-rata cukup jauh dari rumah satu ke lainnya, tetapi tidak nampak air kanal ini terpolusi oleh sampah atau industri kimia lainnya. Kesannya benar-benar asri!

Itu di canal Kottayam. Belum lagi pemandangan indah di curam Waynad, diketinggian sekitar 3000 meter di atas permukaan laut, timur Calicut. Atau air terjun serta sungai yang luas di daerah Athirapilly di Angamaly, Madakara dan sekitarnya. Atau Botanical Garden Pilikula, sekitar 30 Km dari Mangalore. Atau rentetan jembatan di antara sungai-sungai besar sepanjang Mangalore-Goa. Atau, jalan di pesisir pantai Edava-Trivandrum yang diapit oleh danau dan lautan India. Ah! Terlalu panjang untuk ditulis daftarnya! Semuanya begitu indah. Yang mengherankan adalah, semua ini tidak harus dibayar mahal karcisnya. Yang termahal hanya sebesar Rp 10 ribu. Bahkan tidak sedikit yang gratis. Kerala dan Karnataka membuat saya hanya bisa berucap: subhanallah! Incredible!

Religious Education

Pendidikan umum di India, hingga tingkat SMA, kecuali swasta, gratis. Kalaupun bayar, bukan sebagai uang sekolah. Besarnya juga tidak lebih dari Rp 200 ribu per tahun! Di swasta pun, biaya pendidikan relative amat murah. Selama perjalanan saya di Mangalore, saya melihat sekelompok pemuda-pemudi Malaysia yang sedang belajar di sana. Saya yakin dua alasan utama yang menjadikan India sebagai tujuan belajar mereka. Pertama biaya dan kedua kualitas!

Demikian pula dengan harga buku. Banyak buku-buku dalam Bahasa Inggris edisi India yang amat murah. Bagasi saya sewaktu berkunjung pertama kali ke India berisi buku seberat 18 Kg. Kali ini hanya beli 6 buku. Oxford Dictionary misalnya, edisi lux yang berisi 2000 halaman, hanya sekitar Rp 200 ribu. Biaya pendidikan bagi orang-orang Karnataka dan Kerala rata-rata amat terjangkau.

Saya mengamati pendidikan agama Islam di madarasah. Saya sempat mengunjungi sebuah lembaga pendidikan agama Islam terbesar kedua di India yang berada di Calicut yang bernama Markaz Saquafathi Sunniya, di mana para murid-muridnya tidak dipungut biaya sama sekali termasuk makan dan penginapan mereka. Jumlahnya mencapai angka lebih dari 12000 orang. Mereka memiliki kampus yang luas, mulai dari tingkat ibtidaiyah hingga perguruan tinggi dengan jurusan Bahasa Arab, Hukum serta Islamic Studies. Mereka mengikuti kurikulum Al Azhar-Cairo. Jika lembaga pendidikan semacam Markaz saja gratis, apalagi yang namanya madarasah-madarasah.

Dalam perjalanan lepas maghrib di Kannapuram-Kannur, mengunjungi seorang rekan yang sedang ditimpa musibah, saya sempat solat di sebuah masjid indah yang disampingnya berdiri sebuah gedung indah besar bertingkat tiga. Ketika saya tanya siapa yang sedang belajar di sana, rekan saya menjawab anak-anak Islam yang pagi belajar di sekolah umum dan sore di madarasah. Ketika saya tanya lagi apa mereka membayar, dia jawab: “No! It is free of charge!”

Pendidikan agama di madarasah baik di Kerala maupun Karnataka, kemungkinan besar juga di bagian lain di India, sangat umum bagi orang Islam dan gratis. Kecuali kursus individu yang mendatangkan ustadz ke rumah-rumah. Biayanya pun juga murah sekali. Dari penuturan rekan-rekan saya juga pengamatan selama di sana, anak-anak Islam ini amat disiplin belajar agama. Pagi jam 6 atau 7 hingga jam 8 atau 9 ke madarasah. Jam 10 pagi hingga jam 4 sore di sekolah umum. Sore jam 6-8 malam ke madarasah lagi.

Makanya tidak heran, orang-orang Islam India rata-rata memiliki pengetahuan agama Islam serta kemampuan membaca Al Quran yang baik, lantaran basik pendidikan agama yang tertata dan membudaya. Subhanallah, hingga sedemikian cara mereka menempatkan ilmu, dunia dan akherat terhadap anak-anaknya. Tidak seperti cara berpikir orangtua ‘modern’ yang hanya mengedepankan ilmu-ilmu dunia, melebihi bahkan menempatkan ilmu agama di urutan ke-sekian! Incredble!

Bagi sementara orang, India tidak menawarkan apa-apa. Apalagi bagi yang punya pengalaman pahit dengan orang-orang India! Orang-orang India, seperti halnya orang-orang Indonesia serta dari belahan bumi lainnya, barangkali sama saja. Ada yang bijak, baik, sopan, murah senyum atau penolong. Tetapi ada pula yang seperti yang kita lihat dalam film-film Bollywood, yang menawarkan kekerasan dan aneka kebejatan moral lainnya.

Alhamdulillah, yang pahit tidak pernah saya rasakan, bahkan satu kali kesempatan pun tidak saya alami. Bisa saja subyektif penilaian saya terhadap perjalanan saya yang kedua kali ini ke sana. Tetapi demikian lah yang saya alami.

Duit memang harus saya keluarkan dari saku sebelum, sepanjang perjalanan serta dalam perjalanan pulang. Tetapi ‘imbalan’ yang saya peroleh dari India, tidak bisa saya ukur, betapa tidak ternilainya!

Terlepas dari kekurangan yang dimilikinya sebagai sebuah negara, di mata saya sebagai hamba Allah yang insyaallah ingin selalu mensyukuri nikmat hidup serta keindahan alamNya ini, India memang luar biasa!

Doha,5 December 2010.
[email protected]