The Magic Power of Attitude

Di depan mata pagi itu, hanya beberapa meter dari tempat pemberhentian bus, saya melihat dua orang sedang tawar menawar dengan sopir taksi. Saya tahu, bahwa taksi legal seperti itu mestinya tidak memberlakukan tawar menawar dalam manajemennnya. Kan sudah ada taksi meter?

Entahlah, apakah karena peraturan tarif taksi baru yang menetapkan tarif minimum, sehingga tidak ada lagi harapan bagi para sopir taksi untuk memeroleh upah lebih. Ataukah, lantaran sudah kebiasaan para sopir taksi yang memang diupah rendah oleh perusahaan? Yang ini pun di luar pengetahuan saya.

Yang saya mengerti satu, bahwa mestinya hak-hak penumpang tidak sepantasnya dipangkas. Begitu penumpang masuk mobil, sang sopir mestinya tahu, bahwa dia tidak boleh memasukkan penumpang lain. Tidak ada istilah sharing dalam taksi yang begini. Kecuali taksi gelap. Barangkali peraturan yang demikian ini sifatnya universal.

Begitu masuk mobil, saya melihat si sopir tetap melakukan transaksi dengan dua penumpang. Padahal dia pasti tahu, harusnya tidak boleh melakukannya. Dua calon penumpang bermaksud pergi ke sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Nampaknya keduanya bekerja sebagai buruh bangunan. Mereka berdua diturunkan di depan rumah sakit. Masing-masing memberikan sejumlah Riyal kepadanya, sebelum giliran saya turun dengan membayar penuh tarif taksi yang tertulis dalam taksi meter.

Ada tiga hal yang membuat saya sebagai penumpang pertama yang mengizinkan mengapa saya biarkan sopir taksi membolehkan dua penumpang lainnya masuk ke mobil. Padahal mobilnya juga punya saya kan?

Yang pertama, kata sapa. Sang sopir taksi, menyapa dengan baik ketika saya masuk ke dalam mobilnya. Saya merasa bahwa kata sapa ini memberikan arti yang besar sekali bagi saya sebagai penumpang. Saya merasakan bahwa sang sopir tidak mengedepankan uang, meski itu yang dia cari. Sebaliknya, kualitas pelayanan. Memanusiakan manusia. Siapa saja, ketika disapa dengan senyuman, akan merasa lega. Ada pula perasaan ‘diterima’ menyelinap.

Yang kedua, kata maaf. Begitu saya duduk, saya sebelumnya sudah menangkap inti pembicaraan antara sopir dan dua orang berteman tersebut yang tidak menyapai kata sepakat. Karena itu sang sopir memrioritaskan saya. Saya cukup maklum, karena dua orang calon penumpang tersebut sepertinya bekerja sebagai pekerja rendahan, sehingga untuk membayar ongkos taksi yang jaraknya tidak kurang dari 25 km, mereka harus sesuaikan dengan isi kantong. Sang sopir yang asli Bangladesh menanyakan kepada saya dengan kata ‘maaf’, jika mengganggu.

Yang ketiga, kata izin. Kata maaf sang sopir dilanjutkan dengan ‘permohonan izin’ sekiranya diperbolehkan mengangkut serta kedua orang tadi, yang kemudian saya iyakan.

Pembaca…

Perjalanan hidup seorang sopir taksi di atas adalah sebuah contoh konkrit yang sering kitatemui dalam hidup. Di tengah-tengah peraturan yang mengikat kita untuk tidak mampu berbuat apa-apa, ternyata masih ada jalan ke luar yang justru menguntungkan. Yang namanya rejeki memang kadangkala harus dijemput. Sopir taksi di atas bukan bermaksud melanggar aturan yang ada. Sebaliknya, memanfaatkan kesempatan yang ada, melalui pendekatan manusia. Pendekatan sosial. Bukan korupsi!

Bukankah dengan mengizinkan dua orang buruh tadi masuk ke taksi, secara tidak langsung saya juga membantu mereka, juga sang sopir? Bagi saya, perbuatan tersebut merupakan amalan.

Yang dia lakukan sebenarnya amat sederhana. Membuka pembicaraan, menyapa, meminta maaf kemudian meminta izin. Hanya ada empat langkah simpel. Duan buahnya, subhanallah, amat menakjubkan. Dia mendapatkan apa yang dia harapkan.

Saya melihat di lapangan, seringkali kita mengedepankan ilmu pengetahuan dari pada sikap dalam mencari pekerjaan. Orang senantiasa berlomba-lomba mencari gelar dan beragam training yang kemudian mereka kemas dalam curriculum vitae yang menarik. Orang jarang yang mengedepankan sikap dalam persiapan mencari kerja bahkan selama bekerja.

Betapa banyak orang yang sombong ataupun angkuh hanya karena gelar yang berderet atau posisi tinggi dalam pekerjaan. Mereka tidak sadar, bahwa dibalik kesombongan dan keangkuhannya, sebenarnya sudaj bertumpuk kedengkian ataupun kebencian yang menggunung. Sayangnya, semua ini tidak disadari atau bahkan cuek saja. Karena prinsip mereka dalam bekerja hanya mendapatkan posisi dan uang saja!

Ketrampilan dalam bersikap ini jarang mendapatkan perhatian yang proporsional. Masalah sikap sering dipandang dengan sebelah mata, seolah-olah akan ikut dan berjalan dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan polesan, apalagi pengetahuan yang tepat.

Ambillah contoh sikap dalam menghadapi interview. Jarang sekali dipelajari bagaimana mestinya bersikap. Yang diutamakan justru bagaimana menjawab kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang bakal ditanyakan selama interview. Fokusnya, sekali lagi adalah identifikasi kemungkinan pertanyaan. Bukan bagaimana sikap kita menghadapinya. Kita tidak sadar, justru banyak kandidat yang mendapatkan pekerjaan karena sikapnya, bukan jawaban dari pertanyaan sepanjang interview sebelum melamar pekerjaan.

Demikian pula selama bekerja. Jika kita hanya mengedepankan pengetahuan serta ketrampilan saja, seringkali kekecewaan yang kita dapatkan. Memang, sikap yang baik saja belum cukup tanpa didukung pengetahuan dan ketrampilan yang optimal. Bukankah pengetahuan dan ketrampilan dalam setiap pekerjaan bisa dipelajari sejalan dengan berlangsungnya pekerjaan kita?

Menjalin hubungan antara manusia, sesama karyawan, dengan bawahan, atasan, relasi atau kontak lain antar departemen atau perusahaan lain, sangatlah penting. Mereka pasti tidak bakalan menilai kita dari sudut pengetahuan serta ketrampilan sebagai prioritas utama guna mendapatkan kesan bahwa kita orang baik-baik. Justru sikap kita yang mendapatkan tempat teratas.

Saya tidak memiliki statistik tentang seberapa besar pengaruh sikap ini dalam kepuasan dan atau kelanggengan bekerja. Namun, anda pasti tidak menolak akan kenyataan, orang yang betah di tempat kerja, menyukai pekerjaan, banyak kawan dan meningkat karier atau usahanya, lantaran sikap ini.

Dan apa yang dipraktikkan oleh sang sopir taksi di atas sangat membantu. Tidak peduli, apakah kita bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh kasar, pegawai pasar, satpam, salesman, karyawan kantor, manager hingga direktur, bahkan seorang presiden. Manakala tidak mengedepankan sikap ini, maka kita dianggap orang yang tidak tahu aturan. Tidak punya sopan santun, bahkan tidak mengenal etika jika kita adalah professional.

Jika sudah demikian posisi kita, maka apa artinya ilmu dan ketrampilan yang kita miliki? Semua orang bakal mencap kita sebagai orang yang tidak supel. Gilirannya, kita tidak dapat dengan mudah memperoleh support. Dengan sendirinya, jumlah saudara, kawan atau relasi juga nggak bakal bertambah, reputasi atau nama baik kita bisa juga jadi taruhannya.

Sebaliknya, kehidupan kerja menjadi lebih menyenangkan, manakala kita mengedepankan peran sikap ini. Jika menghadapi kesulitan, kita akan dengan mudah mendapatkan bantuan teman, bahkan orang lain yang tidak kita kenal sekalipun.

Hanya dengan berbekal: mau membuka pembicaraan, sampaikan kata sapa, mintalah maaf jika perlu dan mohon izinnnya meski terkadang menyangkut masalah yang sangat sepele sekalipun.

Jika anda lakukan semua ini, tengoklah hasilnya! Kalaupun tidak dalam waktu dekat, percayalah, akan datang masanya nanti. Bahwa kehidupan kerja anda akan lebih mudah dan amat menyenangkan! Wallahu a’lam!

Doha, 05 June 2011

[email protected]