Syukur Yang Tersingkap

"Yuk, aku jalan dulu. Masih ada si Akew yang belum aku bawa keluar. Panas nih, pengen cepet-cepet selesai."  Aku cuma melambaikan tangan dan mengangguk sebagai jawabannya. Nia pun berlalu menuntun Dombie, anjing kecil yang lucu, imut dan menggemaskan.

Nia melangkan mengiringi Dombie yang sengaja dibawa ke taman untuk menghirup udara segar, sekaligus bermain dan membiarkannya mengeluarkan kotoran. Nia pun selalu terlihat membawa peralatan untuk membersihkannya. Koran lama, beberapa lembar tisyu, air yang sudah dikemas dalam botol, dan sarung tangan plastik. Semua dia susun rapih dalam tas tangan kecil yang cantik dan modis. Semakin lama Nia memang  semakin terlihat lebih profesional. Jauh dengan apa yang ku lihat dulu-dulu saat minggu-minggu pertama bertemu.

Aku memng lebih dulu bekerja daripada dia. Saat aku menginjak tahun yang pertama itulah pertama kali aku melihat Nia di taman. Rambutnya masih pendek, pakaian yang dikenakannya pun tampak kontras dengan keadaannya. Saat itu masih musim dingin, Nia memakai rompi dan jaket yang biasa dikenakan kaum orang tua (Ama/Nenek). Mungkin Bos nya Nia yang memberikan baju-baju itu, agar Nia tidak kedinginan.

Yang Dia jinjing adalah kresek berlogo Family Mart, konfinience store 24 jam yang tersebar di negeri Formosa ini. Isinya ya peralatan untuk membersihkan hewan piaraannya bila mengeluarkan kotoran. Nia tampak kaku dan sedih, baru terlihat ceria saat bertemu dengan pekerja dari Indonesia yang sama-sama tengah bermain di Taman.

"Aku belum bisa bahasa, belum bisa masak. Aku baru datang dua minggu." Katanya waktu itu. Aku dan teman-teman lain yang ada disitu hanya bisa memberi saran dan semangat untuk bertahan. Toh aku pun sempat merasakan seperti yang Nia rasakan, dulu-dulu saat pertama kali datang.

Sekian minggu tidak bertemu Nia, karena aku tidak keluar. Saat itu sedang ramai-ramainya wabah Cang Ping Tu (Sejenis penyakit yang menyerang anak-anak di Taiwan). Maka Bos ku tidak mengijinkan aku membawa anak-anaknya bermain keluar di taman.

Baru musim panas saat liburan sekolah aku bertemu kembali dengan Nia di taman. Kali ini aku sempat tidak mengenalinya bila saja Nia tidak menyapaku terlebih dulu.

Masyaallah, Nia telah berubah menjadi siau cie! (Nona Taiwan). Seperti yang ku lihat musim panas kali ini, setahun kemudian. Nia sudah lain dari yang pertama aku lihat. Rambutnya yang sudah panjang berubah berwarna pirang kemerah-merahan. Kuku jari tangan dan kakinya mengkilap dipoles kutexs. Pakaiannya pun sudah mirip dengan pakaian yang dikenakan remaja Taiwan. Sangat cocok memang dengan kulit Nia yang putih dan mulus.

Setiap sore ku membawa anak asuhku ke taman, setiap itu juga aku bertemu Nia di taman. Nia yang jobnya merawat tiga ekor anjing memang sudah menjadi rutinitasnya membawa jalan-jalan piaraan Bos nya itu. Maka tidak heran, Nia bisa bebas keluar masuk, baik dengan anjing-anjingnya itu, maupun Nia sendiri.

Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan keadaan pekerja di Taiwan pada umumnya. Mayoritas pekerja lain sangat sulit  untuk keluar kecuali beserta Bos atau keluarganya. Bahkan untuk bercakap-cakap dengan sesama pekerja saja banyak para majikan yang melarang!

Tidak heran banyak pekerja yang merasa "terkurung" dalam lingkungan rumah majikan. Waktu demi waktu hanya dihabiskannya untuk kerja, kerja, dan bekerja. Sungguh beruntung Nia yang bisa bebas keluar masuk seperti dalam lingkungan rumah sendiri.

Sungguh enak memiliki job seperti Nia. Banyak pekerja-pekerja lain merasakan bahwa pekerjaan Nia lebih baik dari pekerjaannya sendiri. Berpikir kalau nasib Nia lebih baik dari nasib sendiri. Banyak pekerja lain yang iri akan kebebasan Nia. Ya, banyak. Termasuk diriku!

Aku memang iri dengan Nia. Kenapa Nia bisa bebas untuk berdandan, bebas berbelanja ke pasar maupun Mall, bebas bergaul dengan banyak teman di taman, dan sebagainya. Kenapa Nia bisa, sementara aku, hari-hari hanya di rumah.

Ada pekerjaan atau tidak, Bos ku tidak suka bila pekerjanya sering keluar. Jangankan untuk berdandan, keluar rumah saja aku sulit bila bukan dengan anak-anak atau Bos. Jangankan membeli keperluanku, untuk mengirim uang ke keluargaku saja harus menunggu hari cuti dimana gajiku akan dipotong!

Tidak jarang HP ku mati karena tidak ada pulsa dan aku belum ada kesempatan untuk keluar membelinya. Ini terkadang membuatku tertekan dan meradang. Tidak sadar aku jadi sering membanding-bandingkan pekerjaan Nia dan pekerjaanku. Andai aku bisa memilih tentu aku akan memilih mendapat job seperti Nia. Bisa bebas…

Kenapa ya Allah Kau malah memberikan pekerjaan ini kepadaku?

Beberapa bulan aku tidak bertemu Nia. Liburan sekolah sudah habis, otomatis aku tidak ke taman, karena anak-anak masuk sekolah dari pagi sampai sore. Ketika Ramadhan hampir tiba, keluargaku minta kiriman uang.

Karena aku tidak bisa keluar sementara waktunya sudah sangat mepet, maka aku ada ide mau minta tolong kepada Nia. Dia yang bisa pulang pergi kapan saja akan kumintai tolong untuk mengirimkan uangku.

Ku SMS Nia dan sepakat sore nanti disaat aku akan menjemput anak dari sekolah bisa bertemu di bawah flat rumah. "Kamu enak ya, bisa kirim uang disaat keluargamu membutuhkan." Ujar Nia sambil menerima amplop berisi uang yang akan dikirimkannya.

Dahiku berkerut, "Lho, memang kamu gak bisa kirim? Kita kan tiap bulan dapat gaji."  Kataku penasaran. Nia terkekeh sambil memasukkan amplop kedalam tas kecilnya yang tampak baru.

"Aku tidak bisa nyimpen uang! Tahu sendirilah setiap hari kalau ke pasar atau toko Indonesia ada saja yang mau dibeli. Paling tidak aku habis 100 NT, itu hanya untuk beli minum dan cemilan saja. Belum untuk beli pulsa, beli keperluan alat-alat kecantikan, baju dan sandal, ya habislah!"

"Kadang aku pinjam uang lho sama mbak-mbak teman kita di taman itu, dan uang gajiku langsung amblas untuk membayarkan utang bulan-bulan sebelumnya." Jelas Nia. Aku manggut-manggut saja. Setelah Nia berlalu, aku memikirkan kembali semua perkataan Nia.

Ya Allah! Aku baru tersadar, ternyata dugaanku selama ini benar-benar keliru!

Astagfirullah, aku telah berprasangka jelek atas kehendak dan nikmat Nya. Ternyata aku lebih beruntung daripada Nia. Walau aku tidak bisa bebas keluar masuk, tapi itu justru adalah kelebihanku!

Alhamdulillah, karena aku tidak sering keluar masuk, maka aku tidak sering berbelanja yang tidak begitu penting. Maka aku bisa menyimpan uang.

Alhamdulillah, walau aku tidak bisa berdandan, tapi  justru itu nilai lebihku. Bos ku masih memenuhi kebutuhan hidupku hingga aku tidak perlu mencari sendiri keluar. Bos masih menyediakan pakaian yang layak pakai dan ini ku terhindar dari pemborosan sekedar membeli baju-baju yang aku yakin pada saatnya pulang ke Indonesia nanti belum tentu baju-baju itu cocok dikenakan disana.

Alhamdulillah ya Allah…Kau berikan semua ini kepadaku. Dalam perjalanan menjemput anak dari sekolah yang terbayang dalam benakku adalah wajah-wajah bahagia keluargaku yang dapat menerima kiriman uang tepat pada waktunya.

www.hidupuntukberkarya.multiply.com