Tak Ada Nasi Hari Ini

nasi bukhoriTiap akhir pekan, di beberapa sudut trotoar di jalan protokol Surabaya dipenuhi oleh kerumunan remaja. Ada pula kelompok pemuda yang mungkin seusia dengan saya. Mereka rata-rata berkendaraan motor atau mobil. Mereka semacam komunitas motor atau mobil. Pemandangan tersebut sering saya lihat saat pulang kerja Minggu dini hari sehabis deadline.

Anak-anak muda tersebut tampak sangat menikmati malam di atas trotoar dan bercanda ngalor-ngidul bersama sesama temannya. Dinginnya udara dan angin malam yang kurang baik untuk kesehatan seakan terbenam oleh keceriaan mereka. Nongkrong di pinggir jalan, begadang hingga subuh, itulah aktivitas komunitas motor tersebut.

Mereka tidak hanya berasal dari Surabaya, tapi ada pula dari luar kota seperti Malang, Mojokerto, Gresik, bahkan Kediri. Ciri khas mereka biasanya memakai atribut tertentu seperti jaket, stiker, motor dengan merek sama antaranggota, ataupun motor yang telah dimodifikasi.

Suatu ketika, sepulang kerja saya mampir di warung kopi dekat tempat saya tinggal. Warung kopi itu agaknya panen bila akhir pekan tiba. Pasalnya, selain tempatnya strategis di salah satu jalan pusat kota, banyak anak-anak komunitas motor yang nongkrong di situ. Tak heran jika omset pedagang warkop tersebut bisa mencapai dua atau tiga kali lipat daripada hari biasanya.

Sambil menikmati segelas wedang jahe, fokus saya sejenak tertuju kepada para anak muda yang kebetulan juga lesehan yang disediakan warung kopi pinggir jalan tersebut. Dilihat dari tampang dan atributnya, mereka rata-rata masih duduk di bangku SMA. Yang memprihatinkan, ada pula remaja putri di antara kelompok remaja tersebut.

”Ngapain dia melu-melu koyo ngono (Kenapa dia ikut-ikutan seperti mereka)?” tanya saya dalam hati. Bukan apa-apa, kalau dipikir-pikir, aktivitas para remaja itu tak banyak membawa manfaat buat mereka. Nongkrong di pinggir jalan, begadang hingga lepas subuh, dan menggeber suara knalpot motor mereka untuk menyapa komunitas motor lainnya. Apa manfaatnya coba?

Saya menilai, itu hanya luapan ekspresi kebebasan dan pencarian jati diri yang kurang positif. Mereka mungkin lepas dari perhatian orang tuanya. Atau, mungkin belum terpikirkan oleh mereka betapa susahnya mencari uang karena masih meminta kepada orang tuanya.

Tidakkah terbayang di benak mereka bahwa banyak anak putus sekolah karena tak punya biaya. Tidakkah terlintas di benak mereka bahwa banyak remaja seusia mereka membanting tulang demi bisa melanjutkan pendidikan. Ataukah sense of crisis di kalangan masyarakat kita sudah amat kronis? Sehingga, sebagian remaja di negeri ini pun seolah kurang peka dengan keadaan sekitar.

***

Hati saya tersentuh ketika mengunjungi salah seorang kawan di Kediri. Dia dan isterinya tampak sangat terkejut melihat kedatangan saya. Cukup senang setelah sekian lama tidak bertemu, kami mengobrol gayeng (akrab) di rumahnya. Dia berwiraswasta dengan beternak ayam. Dia mengisahkan bahwa dirinya baru saja mengalami pailit karena banyak ayam ternaknya yang mati.

Beberapa saat kemudian, isteri kawan saya itu menyuguhkan sepiring singkong rebus dan segelas kopi untuk saya. ”Maaf Mas, kami ndak punya nasi hari ini. Cuma ini (singkong rebus) yang bisa saya suguhkan buat sampeyan. Maaf ya Mas, ” ujarnya dalam bahasa Jawa yang kental.

Hal tersebut membuat saya simpatik kepadanya. ”Iki ae wis istimewa kok Mas. Uenak tenan, ” jawab saya menghibur dia. Saya berpikir, berapa banyak hari ini keluarga yang tak bisa menanak nasi seperti kawan saya tersebut. Tentunya sangat banyak.

Malu saya makan di restoran fast food kalau mengingat ada orang lain yang makan singkong rebus. Betapa miskin hati kita jika tak bisa merasakan penderitaan dan kesusahan orang lain. Di tengah krisis multidimensi di negara ini, jangan pula rasa kemanusiaan dan sosial kita ikut hilang tertelan oleh sikap individual. Karena itu, saya sedih dan prihatin melihat banyak anak muda yang nongkrong di pinggir jalan dan bersenang-senang sampai pagi.

Kita orang Timur yang menjunjung tinggi budaya saling menghormati dan solidaritas terhadap sesama. Jangan mudah kita terpengaruh budaya Barat yang tak pantas diadopsi.

”Maka, berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebaikan. Sebab, di mana saja kamu berada, Allah tetap akan membawa kamu semua (berhimpun pada hari kiamat untuk menerima balasan). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (al-Baqarah 2:148) Surabaya, Juli 2008 [email protected]