Telepon Kematian

Satu minggu yang lalu, saya punya rencana mengunjungi seorang saudara yang berada di luar kota. Saudara sepupu saya itu adalah seorang laki-laki, yang kaya lagi berbudi-pekerti yang luhur. Semua keluarga besar kami menghormati dan menyanjung akhlaknya yang mulia, kaya tapi berkesan sederhana.

Beberapa angan telah saya simpan di relung hati. Saya akan banyak berbincang masalah seputar agama. Karena beliau adalah seorang yang alim lagi bijaksana. Seorang yang membuat saya betah duduk lama di hadapannya, karena beliau tahu betul bagaimana merespon pembicaraan. Saya pun merindukannya.

Hari ini, semua kerinduan dan angan tersebut, ternyata harus saya pendam dengan terpaksa. Adikku dari saluran telepon rumah mengabarkan kepulangannya. Ternyata belum sempat saya datang, dia telah pergi. Pergi menemui Tuhannya yang selalu di rindukannya. Beliau memang seorang yang shaleh lagi penyantun pada si miskin.

Kabar kematian melalui telepon menghentak jantung ini. Membuahkan sebuah perasaan kosong. Sebuah ruang di hatiku ternyata tak akan terisi lagi oleh sapa lembutnya. Karena beliau selalu memulai sebuah pembicaraan dengan sebuah senyum. Senyum keramahan dan kehati-hatian untuk tidak melukai lawan bicaranya.

Telepon kematian itu tak hanya sampai di situ dampaknya. Seorang saudara yang tinggal jauh dari kota ini, menelponku pula. Dia telah menerima telepon kematian pula. Dia, saudaraku itu tersentak kaget, seakan dia melihat sosok yang sangat di kenalnya itu adalah dirinya sendiri.

Dia saksi hidup bagaimana beliau yang telah berpulang itu, berjuang akan kehidupannya dengan sangat gigih, walaupun harus jatuh bangun dalam meniti hari-harinya. Kesuksesannya dalam berdagang tidak di dapatkannya hanya dalam hitungan bulan. Beliau bahkan sering jauh berlayar dengan barang dagangannya untuk beberapa bulan, meninggalkan orang-orang yang dicintainya.

Telepon kematian yang diterima saudaraku itu, membuatnya sadar akan apa yang telah di jalaninya selama ini. Dia pun seperti beliau dalam mengejar kesuksesan yang sekarang telah diraihnya. Hatinya dingin, mengingat betapa dia membanting tulang hingga larut malam, karena tak ingin kembali menjadi seorang yang papa. Saat dia merasa semua materi yang dibutuhkan ada digenggamannya, ternyata dia tak merasakan itu sebuah kebanggaan. Malah saudaraku itu merasa, semuanya seperti hanya sebuah fatamorgana dalam memenuhi kesuksesan yang lama telah di perjuangkannya. Semua usaha yang telah dilakukannya, dalam pandangannya saat ini, adalah membuang waktu yang berharga hanya untuk diisi dengan mengejar sebuah keinginan yang tak bermakna di ujung kehidupannya. Sebuah desah kecemasan, keraguan dan ketakutan akan maut yang akan menjemputnya pula.

Seorang saudara yang kebetulan datang ke kotaku pun tersentak, dia seorang wanita. Walaupun wanita ini tidak seakrab diri ini dengan beliau, tapi wanita ini mengingat dengan baik, betapa shaleh dan berakhlakul karimahnya beliau itu. Wanita ini memang tidak menangisi kematian beliau, tapi malah mengungkit-ungkit kebaikannya. Kami pun akhirnya berbincang tentang sejarah lampau dan mengenang kembali yang telah lama kami ketahui bersama. Seperti orang yang memutar kembali film yang lama tersimpan di sebuah kotak yang berdebu. Tapi, itulah memang sebuah kebaikan, tak akan mungkin terhapuskan dalam benak ini.

Telepon kematian yang biasanya akan di disambut dengan deraian air-mata, ternyata tidak pada beliau ini. Seakan-akan semua yang mendapatkan berita itu, malah memberikan sebuah pujian pada beliau, yaitu berupa kesaksian atas betapa mulianya beliau semasa hidupnya.

Sebuah saksi yang tercatat di setiap insan yang mengenalnya. Saksi yang akan memberatkan timbangan kebaikannya. Kesaksian yang memang telah beliau pahatkan pada setiap hati orang yang pernah bersapa padanya. Betapa beruntungnya beliau, yang selama hidupnya telah mengisi sisi dunia dan akhiratnya sama porsinya. Beruntung di dunia dengan kekayaan yang melimpah dan keuntungan di akhirat karena memang beliau adalah pribadi yang mengagumkan bagi yang mengenalnya.

Telepon kematian beliau, ternyata tidak dapat membuat saya menghadiri pemakamannya, karena jauhnya jarak dan kondisi anak-anak yang tak mungkin bepergian jauh untuk saat ini. Tapi, saya hanya bisa berdo’a :”Ya Rabb, tempatkanlah beliau di sisi yang terbaik, karena saya telah menerima dan menyaksikan kemuliaan pribadinya. Amin.”

22 Juni 2009

[email protected]