Tentang Papa dan Cerita yang Sangat Menarik

Seseorang yang begitu mengisi ruang ingat di kepala saya di setiap Ramadhan adalah papa; sosok penuh sayang yang begitu banyak mengajarkan bait-bait cinta di lembaran hidup yang saya lalui. Ramadhan yang kering di tahun 1998 adalah Ramadhan terakhir kali yang kami lewati bersama. Waktu yang terasa begitu pendek, namun menyisakan begitu banyak kenangan indah menyesaki dada.

Bagi saya, Papa adalah sosok pintar yang selalu dapat menjawab semua tanya, dengan bahasa yang mudah sekali untuk saya memahaminya. Beliau tidak pernah memaksa untuk melakukan sesuatu, biasanya hanya memberikan beberapa pandangan untuk saya pertimbangkan. Dan bila ternyata saya tetap melakukan hal yang saya inginkan tersebut dan menimbulkan akibat yang merugikan, beliau hanya akan berkata “ Kalau tidak di coba, kan kamu tidak akan pernah tahu rasanya”.
Singkat saja, namun bermakna sangat dalam. Hingga mampu membekaskan tanda dalam ingatan dan hati saya.

Ketika saya memutuskan untuk berjilbab dan menutup aurat, Papalah orang yang pertama kali memberikan pujian dan penyemangat untuk saya. Yang terlihat paling bahagia, selain mama juga tentunya. Bahkan ketika saya yang sempat ragu meminta dijahitkan lagi baju sekolah baru, karena pakaian sebelumnya layak lagi. Papa menghapus semua ragu saya dengan mengantarkan langsung ke tukang jahit, agar saya bisa segera mengenakannya. Pun ketika ternyata tukang jahit tidak menepati janjinya menyelesaikan baju yang saya pesan, sehingga harus izin sekolah satu hari untuk itu. Papa juga yang langsung menelepon wali kelas saya menjelaskan masalahnya.

“Alhamdulillah anak saya sekarang sudah menutup auratnya pak guru, saya senang betul melihatnya. Mohon maaf harus izin satu hari, karena baju sekolahnya yang panjang belum selesai di jahit”.

Bila Ramadhan tiba, saat sore hari menjelang berbuka adalah momen yang kami semua nantikan. Karena biasanya papa akan siap dengan banyak cerita untuk kami. Tentang para nabi, hingga tentang sesuatu yang beliau alami sendiri. Cerita penuh hikmah yang sungguh menarik. Kadang di selingi dengan canda-canda yang kerapkali mampu mengundang tawa dan membuat aroma keceriaan mengelilingi hati, membuat rasa lapar yang terasa di ujung tanduk menguap.

Saya paling suka cerita ‘anak dan jambu bol’. Yang mengisahkan tentang seorang anak yang ingin sekali makan jambu bol (jambu batu), tetapi ketika ia pergi ke hutan, yang di dapatinya adalah pohon jambu yang sudah tinggi sekali, itupun dengan buah yang hanya beberapa. Karena waktu itu memang bukan musim jambu. Dengan susah payah akhirnya ia mendapatkan buah yang di inginkannya. Ia lalu pulang ke rumah dengan gembira, tiga biji jambu memenuhi kantong celananya, satu biji yang masak dan ranum, satu biji yang mengkal dan yang satunya lagi masih mentah.

Anak itu sangat menyukai jambu bol yang masak, karena baunya yang harum dan rasanya yang manis. Ketika ia sudah mencuci tangan dan berdoa untuk memakan jambu yang masak dan ranum tersebut, neneknya datang. Beliau meminta jambu bol itu. Walaupun dengan sedikit berat hati ia memberikannya juga untuk neneknya tersayang. Kejadian berulang ketika ia ingin memakan jambu bol yang mengkal, ibunya datang meminta jambu di tangannya. Anak itu memberikan untuk ibunya. Bahkan ia harus merelakan jambu terakhir yang dimilikinya untuk sahabat yang sangat di sayanginya. Anak tersebut tidak mendapatkan apa-apa.

Namun ia tidak menyesal sedikitpun, karena ia telah membuat orang – orang yang di sayanginya bahagia. Ia yakin, Allah SWT akan menggantikannya dengan yang lebih baik lagi. Allah memang Maha Melihat. Keesokan harinya, ayahnya yang pulang dari luar kota, membawakan oleh-oleh sekeranjang jambu bol yang masak dan ranum. Anak itu sangat gembira menerimanya.

“Kita beragama Islam. Dan Islam mengajarkan kita untuk berusaha, untuk berbagi, untuk ikhlas, dan selalu ingat pada Allah. Banyak rezeki orang lain yang sebenarnya melewati tangan kita. Cerita ini contohnya”. Ujar papa, menutup ceritanya. Meninggalkan bait-bait indah yang sampai sekarangpun saya masih mampu mengingatnya dengan jelas.

Hingga Ramadhan terakhir itu datang untuk papa. Kedua kakinya yang mulai membengkak karena belum cuci darah, di seretnya menuju masjid untuk sholat tarawih berjamaah. Tertatih – tatih, hingga kami harus bergantian menuntunnya. “Ramadhan bulan penuh berkah. Harus di sambut dengan suka cita!. Tidak boleh malas pergi ke masjid, apalagi kamu, yang laki-laki ya” ujar papa menasehati kami, tangannya mengelus kepala si bungsu, adik saya satu-satunya yang lelaki. Hening. Kami hanya tertunduk mencerna kalimatnya sambil menyantap sahur di subuh yang dingin. Yang saya ingat setelah itu, papa harus di rawat inap di rumah sakit karena penyakit ginjalnya sudah sangat parah.

Sungguh pedih tiada tara, ketika suatu pagi saya harus melihat sosok kuat papa terbungkus kain putih. Tertidur lelap untuk selamanya sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.

Papa. Papa. Papa. Saya begitu merindukannya; Sosok, dan cerita-ceritanya yang sangat menarik.
”Rabbighfirli waliwalidayyaa warhamhuma kama rabbaya nishaghiraa..”

yunnytouresia.multiply.com