Terbaik Berbakti pada Ibu

Kiat Latih Anak Punya Rasa Tanggung Jawab - kumparan.com

Eramuslim.com –  Ada berjuta kisah khidmat yang agung para salafus shalih terhadap sosok ibu. Gemintang terbaik generasi Islam memberikan sebuah contoh terbaik bagaimana cara berbakti kepada ibu.

Muhammad bin Sirin pernah berkisah. Pada pemerintahan Utsman bin Affan, harga pokok kurma mencapai harga yang amat tinggi. Saat itu harganya sebanding dengan seribu dirham. Maka Usamah bin Zaid, panglima perang yang baru berumur 17 tahun, bergegas menebang sebatang pohon kurma. Ia kemudian mencabut bagian pangkal kurma yang berwarna putih, berlemak dan biasa dimakan dengan madu.

Lalu ia memberikan bagian tersebut kepada ibunya. Orang-orang lantas bertanya keheranan. “Usamah apa yang engkau lakukan? padahal engkau tahu pokok kurma kini harganya menjadi seribu dirham.” Usamah dengan amat ringan menjawab, “Ibuku menghendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.”

Ibu Usamah adalah Ummu Aiman. Seorang yang merawat Rasulullah SAW saat kecilnya. Sementara ayahnya adalah Zaid bin Haritsah, seseorang yang setia membantu Nabi SAW. Usamah adalah sahabat yang tumbuh dan besar dalam didikan orang terbaik, berada di lingkungan terbaik dan bertemu dengan orang paling baik.

Meski harga pokok kurma amat mahal, ia enteng saja menebangnya. Jelas keinginan ibunya jauh melebihi angka seribu dirham. Jauh lebih mahal. Kita patut bercermin dari bakti Usamah. Tentu saja secara naluri kita mencintai ibu kita melebihi diri kita sendiri mungkin. Ibu menjadi magnet yang amat dahsyat untuk membuat seorang anak merenung. Bahkan tergugu.

Berapa seminar yang kita ikuti, lalu sampai pada sesi muhasabah dan ibu menjadi bagian dari perenungan sesaat tersebut? Kita paham apa reaksi diri saat ibu kita disebut-sebut. Hari kita bergetar. Bergetar amat hebat hingga menumpahkan air mata.

Jika kita jujur, kecintaan nurani kita terhadap ibu amatlah besar. Tapi patut kita catat, apakah kecintaan tersebut sudah tercermin dalam amal-amal nyata? Jangan-jangan ibu hanya begitu berharga dalam tangis-tangis seminar. Sementara tak pernah kita tanyakan apa kebutuhan beliau? Jika kita merantau, pernahkah kita menyapanya dalam sambungan telepon hanya sekadar menyapa? Atau kita terlalu sibuk dalam urusan-urusan dunia hingga hanya menyisakan waktu saat Idul Fitri untuk menengoknya?

Kita semua sendiri yang bisa menjawabnya. Ibu adalah alasan kita bisa berdiri di bumi ini. Semua kebaikan yang lahir dari seluruh indra kita, ada andil ibu di dalamnya.  Seorang anak akan selalu menjadi anak ibunya. Entah bagaimana keadaannya saat itu. Ibu juga menjadi alasan seseorang untuk memprioritaskan amal.

[REPUBLIKA]