Tetaplah Berazam Adikku

Pagi itu tampak cerah. Tak lagi kelabu seperti sebelum-sebelumnya. pohon-pohon disekitar apartemenku pun sudah tampak mulai menghijau. Udara luar terasa segar dan asri. Mesir kembali memasuki  musim semi. Setelah tiga bulan lebih terselimut dingin-menggigil.

Membuat sepasang gigi saling beradu dahsyat! Baju-baju jaket tebal pun beransur-beransur dicuci dan kemudian disimpan rapi. Orang-orang seakan berucap, "ma’assalamah ya faslassyita wa marhaban ya rabi’”, selamat tinggal musim dingin dan selamat datang musim semi…

Tak ada yang lain kurasakan. Hanya saja aku sedikit risau. Karena sudah beberapa kali aku ingin kontak kerumah tapi tak ada yang jadi. Entah apa gerangan pagi ini. Aku tiba-tiba saja iseng ke warnet. Tujuannya sih untuk buka-buka berita aja.

Setelah di warnet plening tadi berubah haluan. Aku jadi ingin call kerumah. Sepertinya itu yang membuatku bisa tenang dan bisa fokus mengikuti ujian akhir smester tahun akhir aku di Kairo yang sebentar lagi akan digelar. Hari itu sekitar jam 08.00 pagi Waktu Kairo (WIK). Di Indo sekitar pukul dua belas siang.

“assalamu alaikum..” Ucapku. “waalaikum salam” terdengar suara kecil itu menyahut dari seberang sana. Tak seperti biasa. Tak ada suara ramai. Biasanya kalau aku telpon pada jam seperti ini akan terdengar suara hiruk disekeliling.

Seperti biasa. Setiap kali menelpon kerumah. Terutama kalau yang kebetulan menerima disana adalah salah seorang dari dua adikku, Harmis dan Mukti atau salah seorang dari dua kaponakanku, Tomi dan Yuryeni. Hal pertama yang aku tanyakan setelah menanyakan kabar keluarga semua adalah tentang belajar.

Kali ini aku dapatkan Mukti lagi sendirian dirumah. Mukti memberitahuku bahwa Ibu sedang di sungai mencuci;Kakak di Bedeng (tempat seorang penyadap karet biasa berdiam, biasanya agak jauh dari desa) dengan ayuk Khoiriyah. Harmis lagi motong karet dibelakang rumah, Tomi lagi di sekolah, Yuryeni kaponakanku nomor dua itu sedang mengaji di madrasah ibtidaiyah; sedangkan Syahrul kaponakanku paling kecil, sedang asyik bermain dengan teman-temannya di sepanjang laman.

“Bagaimana dengan belajar Mukti?” soalku singkat meneruskan pembicaraan. Pasalnya, dulu, Mukti setelah menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Aliah (MA) Tanjung, 2008 yang lalu pernah saya singgung tentang kelanjutan studinya. Dia bilang akan tetap mau meneruskannya ke bangku kuliah. Tapi, dia bilang lihat kondisi ekonomi dulu. Jika memang memungkinkan berarti dilanjutkan, kalau sebaliknya berarti nganggur dulu.

Sudah lebih kurang setengah tahun aku tidak mendengar suara Mukti. Aku hanya mendapat berita dari Harmis atau Tomi kaponakanku tentang dia. Apalagi akhir-akhir ini, aku jarang menelpon. Karena kondisi keuangan yang sedang menipis. Jadi, aku sama sekali tak tahu kabar dia yang katanya mau nerusin ke kuliah.

Adapun Harmis, kakaknya Mukti alhamdulillah sudah masuk kuliah, meski hanya masuk Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dekat kampungku. Tapi, aku sangat senang, karena dia kelihatan benar-benar ingin mewujudkan apa yang dulu pernah ia azamkan. “aku harus jadi orang sukses!!” begitu dia bilang dengan nada semangat empat limanya.

“Belum, Kabir” begitu Mukti dan Harmis serta Tomi memanggilku. Bahkan, adik-adik para santri semenjak di pesantren dulu juga memanggilku begitu, sampailah hari ini.

Panggilan itu melekat padaku berawal dari waktu aku dipercayakan untuk menjadi qismu al-lughah (bagian bahasa) saat di pesantren. Kebijakan pengurus ketika itu diantaranya ialah mewajibkan santri untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab. Termasuk diantara kebijakan itu mengharuskan mereka menghapal kosakata-kosakata penting – yang lazim digunakan – disetiap harinya, diantaranya tentang sapaan atau panggilan. Karenanya jadilah “al-akh al-kabir” sebagai panggilan untuk seorang yang lebih tua, yang berarti abang atau kakak. Kemudian panggilan itu lama-kelamaan disingkat menjadi ‘kabir’.

“ya Allah, ternyata sampai hari ini adikku yang satu ini belum juga bisa masuk kuliah” Aku membatin. Jawaban Mukti tadi membuatku terhenyak, terdiam, kaget! “bukankah sekarang sudah tahun 2009, sedang dia bilang mau kuliah tahun ini?” aku masih membatin.

Memang, aku sangat khawatir dengan kondisi kampungku. Dengan pergaulan anak-anak mudanya. Ditambah lagi di zaman yang serba modern ini. Akhlak dan tingkah-polah kaum muda terkadang juga ikut-ikutan dimodernkan. Anak yang terpelajar saja terkadang bertindak tak senonoh, bagaimana sebaliknya? Kalau tak bisa memfilter, bisa-bisa darah-darah muda itu kehilangan masa depannya.

Seperti yang kita lihat di media-media. Tindakan-tindakan amoral, asusila itu justru diantara para pelakunya adalah dari kalangan kaum muda. Terkadang kaum terpelajar lagi. Inilah yang mewarnai langit-langit negeri yang katanya muslim terbesar ini.

“Biaya belum cukup, Kabir” Mukti meneruskan kalam. “Harmis saja berhenti kuliah sekarang, kini kami semua berkerja membantu Emak menyadap karet” Suara itu semakin lantang kudengar. Aku hanya tinggal diam mendengar laporan Mukti. Dadaku mulai gemetar. Ada sedu-sedan dihati. Bulir-bulir bening itu tak tersadar ikut melinangi pipi.

Bagaimana tidak, yang terbayang olehku sekarang adik-adikku yang selama ini kudambakan semuanya untuk duduk di bangku belajar, sekarang malah sebaliknya, mereka berdua jadi kembali kekampung, hilir-mudik.

Aku cuman mengiakan apa yang Mukti sampaikan. Aku benar-benar hanyut dalam sendu. Tak tahu harus berbuat apa untuk mereka berdua. Aku disini, di Mesir hanya menghandelkan beasiswa Al-Azhar, yang alhamdulillah cukup untuk keperluan kuliah dan makan.

Mau berkerja sambil kuliah disini kecil kemungkinan. Selain berkerja juga sebenarnya tidak diperboleh. Karena visa yang dipakai memang untuk belajar, bukan pekerja. Meskipun, aku juga pernah merasai bekerja buat menambah uang kuliah. Seperti teman-teman yang lain juga. Alhamdulillah, dari hasil usaha kecil-kecilan, seperti berjual kartu telpon, bekerja di restoran dan pernah juga di pabrik membuatku bisa bertahan. Bahkan, hari ini dengan izin Allah berkat usaha sendiri aku bisa duduk ditahun akhir kuliah.

Sebagian besar ekhwah mahasiswa Indonesia di ‘negeri seribu menara ini’ hidup mandiri. Terutama yang tidak mendapat kiriman dari ortu. Mereka begitu kreatif. Disamping itu perkuliahan mereka juga tak terabaikan.

Meskipun sesekali ada juga yang tidak lulus ujian smester karena sibuk kerja mencari bekal kuliah, tapi, itu tidak menyebabkan mereka langsung pisimis untuk terus mengejar cita-cita. Mereka beragam;ada yang membuka jasa potong rambu, membuat dan menjual tempe, menjual kerupuk, bahkan membuka restoran selera Asia.

Ketika para ekhwah sibuk mengajukan proposal, aku pun tak ketinggalan. Dengan harapan pihak PEMDA daerah Kabupaten-ku bisa mengucurkan dana pendidikannya buatku yang juga putera daerahnya, yang berhak mendapatkan dana pendidikan di bangku kuliah. Namun, hingga detik ini aku dan rekan-rekan lainnya tak kunjung juga mendapat tunjangan itu.

Begitu juga untuk sebuah Rumah Daerah yang oleh sebagian besar kekeluargaan di Kairo telah memilikinya, sementara kami (putera-putera Jambi) hingga hari ini masih menunggu gubuk tua. Semacam pondok kecil ditengah ladang/sawah. Terkadang kedinginan dan dilain waktu kepanasan. Alhamdulillah, masih bisa bertahan tegak.

Semoga pada suatu hari nanti ada hati yang terketuk dan menyadari, bahwa kami juga punya hak mendapatkan pengayoman pendidikan. Agar dapat membantu prestasi akademis kami.

Menjadi tangan diatas tentunya lebih baik daripada sebaliknya, hanya saja setiap sesuatu itu ada tempatnya. Contohnya seoarang pelajar. Kalau dia juga dituntut mengaih biaya sendiri akan berefek kepada prestasi belajarnya. Lain halnya dengan mereka yang bisa mengendalikannya. Kalau tidak, bekerja akan menjadi penyebab ia putus belajar.

Karenanya Imam Abu Hanifah berpesan kepada muridnya Abu Yusuf dalam salah satu butir wasiatnya: "tuntutlah ilmu terlebih dahulu setelah itu carilah harta kemudian menikah" kemudian beliau meneruskan: "karena mencari harta menyebabkan kamu disibukkan olehnya"

Belajar di Al-Azhar memang gratis. Selain diktat kuliah dan transportasi serta sewa apartemen yang bayar. Tapi, hari-hari ini krisis melintasi alam. Al-azmah al-‘alamiah itu mengundang harga-harga melambung tinggi. Diktat kuliah pun ikut-ikutan naik. Harga tho’miyah bil baidh (makanan khas Mesir) yang dulunya hanya 1 pound, kini sudah 2 pound bahkan ada yang menjual 3 pound Egypt.

“Mukti, maafkan Kabir, ya, karena belum bisa membuat kalian berdua kembali belajar. Harapan Kabir, tetaplah miliki tekad yang kuat untuk belajar. Hilangkan segala pisimis. Karena dengan tekad yang membatu itu lah kita bisa bangkit, meski dibawah reruntuhan dan himpitan ekonomi. Mukti harus tetap punya azam yang kuat untuk belajar dan kemudian sukses” begitu kusampaikan pesan hatiku ditengah deru sedih hari itu. Saya dapat menangkap suara kecil yang terdengar ikut sedih mendengar rintihan abangnya disini, dirantau orang. Mukti hanya mengiyakan apa yang kusampaikan.

Sudah 14 belas menit berlalu aku di Warnet sebelah apartemenku. Artinya, sudah 14 menit pula aku ngobrol, melepas rindu serta mendengar keluh-kesah dari Mukti melalui telpon lewat saluran internet itu. Saatnya aku meletakkan gagang telpon. Karena kalau diteruskan bisa bayar sangat mahal, apalagi biaya menelpon ke Indo hari-hari ini tiba melonjak menjadi satu Pound Egypt per-menitnya, dari sebelumnya yang hanya 0,50 atau 0,75 piester saja.

Sebelum ditutup kuselipkan kata terkahir buat Mukti; “Adik, ingat lah selalu apa yang tadi Kabir sampaikan”

“Dan satu hal yang perlu Mukti ingat;kalau orang lain yang ekonominya juga pas-pasan bisa terus belajar dan bahkan banyak yang sukses, kenapa kita tidak?”

[email protected]

(Kairo, Bu’us 4/4/09)