Mengenang Jasa Ibunda

Wahai Ibunda, entah kenapa tiba-tiba memoriku kembali ke masa silam. Aku teringat tatkala dulu engkau berbagi cerita bersama kami, ketika engkau menyemangati kami, ketika seringkali airmata mengalir dari pipimu yang halus, ketika shubuh engkau membangunkan kami untuk sembahyang memuja sang Al-Khalik.

Ketika di sore hari engkau senantiasa mengingatkan kami untuk pergi mengaji, ketika engkau menguraikan harapan-harapanmu pada kami anak-anakmu yang sedang engkau didik dan engkau besarkan dalam naungan cintaNya, ketika engkau mengharapakan agar dirumah kita yang hampir roboh itu bisa kita dirikan shalat berjama’ah dengan kami anakmu sebagai imamnya, ketika dengan penuh harap engkau bercita-cita agar suatu saat kita mampu membeli sepetak tanah masa depan yang akan kita tempati bersama karena tidak mungkin kita akan terus menempati pojok tanah pinjaman orang lain.

Ibunda, aku juga teringat ketika engkau tersenyum bahagia menyaksikan kami anak-anakmu menjadi juara kelas di sekolah dan TPA.

Mak, loen rindu keu droeneh!”, begitulah jeritan hatiku tatkala suatu ketika di keheningan malam yang syahdu mataku tak mampu terpejam karena hadirnya rasa kerinduan yang amat sangat kepada seorang wanita yang telah melahirkanku, kepada seorang yang telah membesarkanku dengan perjuangannya yang amat berat. Saat itu, ku ambil sebuah pena dan secarik kertas kucoba menulis secuil isi hatiku dalam sepucuk surat mengenang jasa-jasanya yang tiada tara banyaknya.

Aku masih ingat pesan dan harapanmu dulu, biarpun kondisi keluarga kita hancur-hancuran tapi engkau tetap menginginkan kami menjadi anak-anak yang alim/shalih, berpendidikan tinggi dan berhasil dunia akhirat, meski saat itu Ayah jarang pulang karena mencari rizki di belantara hutan Ilahi, meski saat itu kita jarang makan, atau kadangkala kita harus menghidupkan ’suwa’ untuk menerangi rumah kita yang tanpa listrik itu. Meski kondisi kita melarat sebagaimana kebanyakan masyarakat Aceh pedalaman lainnya.

Tapi, aku tak menyangka engkau begitu bersemangat menyekolahkan kami, meski kadang kami menangis karena dengan terpaksa harus memakai baju sekolah yang sudah lusuh atau pemberian orang, tapi engkau tak pernah putus asa dalam menyemai benih cinta dan harapan dijiwa kami.

Ibunda, masih kuingat tatkala dipagi hari selepas shubuh engkau sudah bersiap-siap untuk berbelanja keperluan jualan pecal dan kue, pekerjaan yang telah engkau geluti bertahun-tahun sampai kami menginjak remaja, aku terpana seolah engkau tidak pernah kelelahan dalam membesarkan dan mendidik kami, kadangkala engkau ajak aku untuk ikut ke pasar, disana kulihat engkau berbelanja sambil bercengkerama dengan Nyak-nyak meukat gule di pasar Panton Labu hingga pasar Matangkuli tempat engkau berbelanja saat ini setelah kita pulang dari perantauan.

Ohya ibunda, dulu ananda pernah bercerita kan tentang cita-cita yang ingin ananda raih?, disamping ingin membahagiakan dan mewujudkan harapanmu ananda juga ingin sekali menjadi penulis, karena ananda yakin banyak perubahan berawal dari sebuah karya tulis. Ananda teringat Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sanggup membius ribuan orang dengan pesan-pesan Islam, ananda juga mengagumi para penulis artikel di media cetak dengan ide-idenya yang sangat brilian dan cemerlang, sekaliber Ampuh Devayan, Muhibuddin Hanafiah, Jarjani Usman yang namanya telah ananda kenal semenjak di bangku SLTP dulu, begitu juga Rustam Effendi, Halim Mubary, Ahmad Humam Hamid, Sulaiman Tripa, Saifuddin Bantasyam, dan juga banyak yang lain yang terus memberikan sumbangsihnya untuk masyarakat kita. Ananda berhasrat kelak bisa bergabung dengan mereka untuk secara aktif memberikan ide-ide yang telah engkau semai dahulu.

Untuk itu wahai ibunda, ikhlaskan ananda pergi meninggalkanmu menuntu ilmu untuk sementara waktu, meski terus dihimpit kesulitan ekonomi tapi aku yakin dengan sabda Rasul kita Muhammad Saw yang sering engkau ingatkan dahulu, ’Barangsiapa siapa menempuh jalan untuk menuntu ilmu maka ia telah merintis salah satu jalan ke syurga’, aku juga ingat firman Allah seperti diajarkan Teungku di Dayah, ’Siapa saja yang bertakwa kepadaNya maka Dia akan memberikannya jalan keluar’.

Ibunda, saat ini ketika perjalanan hidup yang kujalani penuh dengan onak dan duri aku-pun mulai menyadari siapa dirimu sebenarnya, bagaimana besarnya jasa-jasamu. Bagiku engkau laksana wanita terbaik yang akan selalu ku kenang sepanjang masa dalam hidupku, aku tak akan pernah melupakanmu, aku akan selalu mendo’akanmu.

Insya Allah kelak aku akan mewujudkan semua harapanmu. Dan do’amu adalah senjata bagiku wahai Ibunda…..