Tidak Menyiakan Waktu Orang Lain

"Nanti kita ketemu jam 12:00 di sekitar bundaran itu, ya…" kata teman saya. Tetapi hampir mendekati jam satu, batang hidungnya pun tak terlihat.

Di lain waktu, ada pula yang berkata, "Acaranya jam 11:00. Jangan datang terlambat, ya." Acaranya saja mulai jam 11:00, katanya. Tentunya beberapa menit sebelum jam 11:00 orang-orang sudah ada di tempat.
Tetapi sampai jarum panjang jam melewati angka tiga pun, masih belum terdengar suara detak sepatu mendekat.

Begitu pula pada suatu acara, penanggungjawab acara meminta kepada peserta agar jangan datang terlambat tetapi panitianya sendiri datang terlambat. Sampai seorang anak berkata, "Nan da, dare mo inai jan…" ("Apaan, ngga ada siapa-siapa lho, ya…").

Benar sekali, rasa kecewa tentu dirasakannya. Seorang anak belajar dari orang dewasa dan lingkungan. Sekali dua kali dia hanya melihat dan mengemukakan kekecewaannya.

Lain waktu dia akan berkata, "Ngga usah cepat-cepat pergi, deh. Paling-paling nanti juga nunggu lagi. Molor lagi…" Dia akan beradaptasi dengan keadaan dan lingkungan seperti itu.

***

Suatu hari saya mengatakan kepada teman bahwa saya akan sampai di stasiun dekat rumahnya jam 10:14. Untuk sampai tepat waktu, maka saya harus naik kereta listrik yang berangkat jam 09:55. Di tengah jalan, saya baru ingat kalau saya meninggalkan catatan kecil jam berangkat dan ganti kereta.

Dan ternyata saya juga lupa menaruh botol minuman ke dalam tas.
"Ah, coba seandainya tadi kembali ke rumah buat ngambil catatan kecil, mungkin botol minuman pun akan teringat. Toh, bisa naik kereta berikutnya yang jam 10:05. Ngga apa-apalah terlambat 10 menit,"
gumam saya sambil menunggu kereta tiba.

Seandainya saya memutuskan kembali ke rumah dan terlambat dari janji bertemu teman, mungkin teman saya akan bisa maklum dan memaafkan keterlambatan saya. Untaian kata-kata pembelaan diri pun siap terucap. "Maaf ya, terlambat. Saya ketinggalan ini itu."
"Maaf, saya terlambat. Kereta listriknya cepat sekali menutupkan pintunya sebelum saya masuk."

Atau kalimat lainnya. Tetapi dengan begitu saya akan membuatnya menunggu. Saya akan menyiakan waktunya.

***

Saya selalu datang tepat waktu? Tidak. Saya pun kadang datang terlambat. Apalagi kalau pergi dengan anak-anak yang belum terbiasa mengejar kereta, gesit menuruni anak tangga, atau memutar tubuh saat tikungan. Mereka pun belum terbiasa melarikan kaki secepat mungkin bila terdengar tanda kereta akan tiba. Maka siasat mempercepat waktu berangkat, menunda pekerjaan rumah ataupun mengorbankan belanja keperluan dapur yang sedang dijual murah adalah langkah yang saya pilih agar tidak terlambat.

Saya tak ingin membuat orang lain menunggu. Meragukan ucapan saya di lain waktu terlebih lagi saya tidak mau menyiakan waktu orang lain. Karena saya tak ingin orang lain menyiakan waktu saya. Bukankah kita kadang bergumam saat waktu yang ditentukan sudah lewat?
"Hah.mendingan tadi beres-beres rumah dulu."
"Coba tadi cuciannya dijemur dulu, entar pulang sudah kering…"
"Lebih baik tadi belanja dulu, hari ini harga telur dan susu pas lagi murah. Haaahhh…"

Kecewa. Resah. Kesal. Bahkan perasaan marah pun mungkin sekali dirasakan orang yang menunggu lebih dari waktu kesepakatan.

***

Kebiasaan membuat orang lain menunggu tidaklah pantas disuburkan.
Bukankah menyiakan waktu orang lain sama dengan kita berbuat zalim kepadanya? Waktu berharga bagi kita, begitu juga bagi orang lain.
"Manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sibuk, hidupmu sebelum mati." (HR. Al-Hakim)

Wallahu’alam bisshowab.

Nagoya, Juli 2006 [email protected] (flp-Jepang)