Tiga Jurus Bahagia

Apa itu bahagia? Setiap orang memiliki persepsi masing-masing mengenai arti kebahagiaan sesuai dengan pandangan hidupnya. Banyak pendapat saling berlainan dalam mendefinisikan makna kebahagiaan. Masing-masing memiliki pemahamannya tersendiri sesuai dengan keyakinan dan pandangannya terhadap kehidupan. Kebanyakan menyandarkannya kepada materi. Pendapat mereka mengenai kebahagiaan berkisar seputar kekayaan, harta yang melimpah, kenikmatan dan kesenangan, kemasyhuran, kecantikan dan wanita, kebebasan, kemenangan, kesuksesan, serta tuntutan-tuntutan hidup lainnya.

Berbeda dengan orang-orang mu’min. Sedangkan orang mu’min dan beramal shalih adalah sebaik-baik makhluk. Neraca timbangan mereka dalam mengukur kebahagiaan adalah syariat yang suci. Hujjah mereka adalah pedoman hidup sepanjang masa Al-Qur’an Karim. Dalil mereka adalah risalah rabbaniyah yang diemban oleh para Rasul dan dibawa para Nabi. Kebahagiaan menurut mereka, adalah tauhid yang murni, yang tak tercampur noda syirik.[1]

Kebagiaan mereka adalah iman. Tiga jurus bahagia adalah SABAR, SYUKUR dan AMPUNAN. Apabila memperoleh nikmat mereka bersyukur; apabila memperoleh musibah mereka bersabar; apabila berbuat dosa mereka memohon ampun.

Alangkah beruntungnya orang-orang mu’min, yang dapat merasakan kebagaiaan dalam setiap keadaan; suka maupun duka. Itulah barakah, kebaikan yang bertambah-tambah. Kebahagiaan mereka adalah kebaikan. Kesempitan dan kesusahan mereka pun kebaikan. Tatkala berbuat dosa pun menjadi kebaikan jika tertaubati dan menjadikannya insan yang lebih bertaqwa.

Alangkah bahagianya orang mu’min. Karena iman, tak ada kesedihan dan ketakutan. Sebab mereka ridha terhadap Rabbnya dan Rabbnya ridha terhadap mereka. Tiada kekhawatiran kehidupan mereka di dunia, sebab jika mereka menjadi orang yang dekat kepada-Nya, pasti akan ditolong, dilindungi, diayomi, diselamatkan oleh-Nya. Tiada kebahagiaan yang melebihi orang-orang yang dekat kepada Rabb-nya.

Sedangkan kebahagiaan puncak mereka ada di akhirat; ketika bertemu dengan-Nya, mendapatkan sambutan salam dari-Nya; mendapatkan ridha dan surga-Nya. Sedangkan kebahagiaan mereka di dunia merupakan ‘surga’ yang dicicipkan sebelum surga yang sebenarnya. Dengan rasa iman di dalam dada; mencakup syukur, sabar dan ampunan.

Alangkah bahagianya orang yang bersyukur, setiap kenikmatannya pasti akan ditambah. Ditambah dan ditambah. Sedangkan rasa syukur itu merupakan ni’mat tersendiri. Karena rasa syukur pula ia menjadi qanaah, merasa cukup. Sehingga lapanglah dadanya. Luaslah pandangannya.

Alangkah bahagianya orang yang bersabar; pasti mendapatkan rahmat-Nya, dosa-dosanya diampuni, diganjari kebaikan yang tak terbatas, dinaikkan derajat keimanannya. Serta kebahagiaan bagi orang-orang yang bertaubat; dosa-dosanya terampuni, kesalahannya diganti dengan kebaikan. Alangkah bahagianya… Alangkah beruntungnya…

Orangtua kita kerap mengajari kita untuk tidak merasa rugi dalam segala sesuatu; bahkan agar senantiasa merasa beruntung. Ketika brakk terjatuh dari kursi, “untung nggak patah tangannya, nduk.” Senantiasa ucapan ‘beruntung’ yang dilontarkan agar kita tidak merasa rugi dalam keadaan terburuk sekali pun. Agar kita bisa tetap bersyukur meski mendapat musibah sekali pun.

Sedangkan kesengsaraa bagi orang yang tak mampu bersyukur; sempit hatinya membuatnya selalu kurang; tak membuatnya nyaman meski dalam keadaan yang baik sekalipun. Orang yang sempit hati, tak akan merasakan kebahagiaan meski pun tinggal di dalam istana yang megah dan di tengah harta kekayaan yang melimpah. Serta kesengsaraan pun bagi orang-orang yang tak mampu bersabar. Kesempitan dan kesusahan mereka bertambah-tambah dengan kesengsaraan di dalam dada. Dan puncak kesengsaraan mereka adalah di akhirat; ketika mendapati adzab dan laknat-Nya. Na’udzubillah min dzalik…

Termasuk orang yang bahagiakah kita?

Wallahu a’lam bish shiwab…

-Muhammad Amin-

 

 

 

 

 



[1] A’idh al-Qarni dalam Al-Hayatu At-Thayyibah