Manis dan Romantis

Beginilah kondisinya sekarang, kata kebanyakan orang dia sedang jatuh hati, hatinya sedang terjatuh, dan selalu berharap terjatuh pada tangkapan si bunga pemekar hati. Apapun yang dilihatnya dan apapun yang didengarnya, semuanya selalu mengingatkannya pada bunga itu. Segalanya terasa manis dan romantis, bahkan kini semangat merah saga pun telah menjadi merah jambu.

Kembali dia bersandar pada tiang itu, kembali senyumnya merekah tak karuan. Dia rogoh kantong celananya untuk menggenggam dan mengambil sebuah produk teknologi, handphone. Hatinya mulai berdegup kencang, untuk kelima kalinya dalam jangka waktu 10 menit ia buka inbox handphone-nya, tertuju pada sebuah pesan, singkat isinya, hanya 3 karakter, ‘jzk’. Ah.. Luar biasa rasanya membaca pesan itu, hampir saja angan lepas dari akalnya. Memang, bukan isinya yang singkat yang membuat hatinya berdegup tak karuan, tapi lihatlah siapa yang mengirimkan pesan itu, dia..

Masih terpaku pada lamunan dan senyumnya. Tiga huruf itu seolah membius dan mengisnpirasi senyumnya. Hilanglah beban yang sedari pagi terus bergantung di pundaknya, semuanya terasa begitu ringan. Pesan singkat itu hadir bak fajar yang menyibak langit malam, kini lebih indah dan terang, manis dan romantis..

Mengalir lembut, sebuah kibasan angin baru saja menyadarkannya dari sebuah lamunan angan, sejenak mengembalikan akalnya. Benar saja, hanya sejenak akalnya kembali, menolehlah kepalanya pada sumber angin itu. Ahh.. berdesir-desir hatinya, kain panjang nan cantik itu sumbernya, secantik perempuan yang mengenakannya. Penutup kepala itu ternyata sumbernya, dan dia si pengirim pesanlah pengenanya. Larian kecil si pengirim pesan itu menciptakan angin yang mendesirkan hatinya.

Semakin panjang saja lamunannya dan semakin tak karuan saja senyumnya hingga sebuah tepukan dari seorang saudara menyadarkannya. “Gak tilawah Bro? Lumayan sambil nunggu Ashar..

Oh iya, lumayan sambil nunggu Ashar..”, tergugup ia menyikapi tepukan saudaranya.

Dia ambil mushaf dari tasnya, teringat targetnya hari ini belum terpenuhi. Baru saja semalam ia selesai pada surat an-Naas dan khatam. Kini dia buka lagi mushafnya dari awal, surat al-Faatihah terlewati dengan mudah, maklum sudah hafal semenjak balita. Berlanjut pada surat berikutnya, “Alif Laam Miim..”, ayat pertama ini pun terlewati dengan mudah, bahkan sangat mudah, dan benar-benar terlalu mudah hingga ia pun terhenti pada ayat itu.

Tiba-tiba bibirnya kelu, tak ingin ia melanjutkan bacaannya, hatinya seperti teriris, seperti sedang terjadi persilatan di sana. Al-Faatihah dan 3 huruf pertama surat berikutnya sangat fasih dia baca hingga semuanya menjadi terlewatkan begitu saja. Bacaannya terasa biasa saja, tak ada yang spesial, lebih biasa dari ketika ia membaca berita pengabulan judicial review UU BHP di sebuah surat kabar, tak ada getaran sama sekali di hatinya. Teringat kembali pesan istimewa pada inbox handphone-nya, pesan singkat yang hanya terdiri dari 3 huruf, begitu menggetarkan hatinya, tapi mengapa tidak dengan pesan 3 huruf pada surat terpanjang dalam mushafnya?

Dia mencoba mengulang bacaannya, “Alif Laam Miim..”, tak bergetar. Sekali lagi dia mengulanginya, masih tak bergetar. Sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi, tak ada yang berubah, masih tak bergetar. Melembab matanya dan membesar hidungnya, ingin rasanya menangis, ingin saja ia carikan sebuah alat tremor untuk ditempelkan di dadanya, agar bergetarlah hatinya, tapi itu sungguh terasa bodoh.

Keras ia genggam tangannya sendiri, berharap hatinya bergetar, berharap tangisnya tak keluar. Ia pandangi dalam-dalam mushafnya, mencari inspirasi di sana, berharap menemukan sebuah tremor. Getaran itu tak kunjung datang, dan tangis itu pun masih coba ia tahan hingga adzan pun berkumandang. Tertunduk kepalanya, pandangannya terarah ke mushafnya, tapi kosong, pandangannya kosong.

Tak tertahan, tangisnya pun lahir melalui dua matanya, butir-butir itu jatuh membasahi mushafnya, memburamkan huruf-huruf di dalamnya. Sesenggukkan nafas dan tangisnya di antara adzan yang masih terus menggema. Semakin keras adzan berkumandang dan semakin keras genggaman tangannya..

Sebuah tepukan kedua dari saudaranya, “Subhanallah akhi, ana belum pernah melihat antum tilawah se-khusyuk ini..”, tangisnya pun semakin dalam..

Batinnya hanya satu, tapi kemelut itu benar-benar terjadi, seolah ada yang sedang saling membunuh. Tak ingin rasa ini dimenangkan oleh seorang makhluk, tapi bukankah rasa ini adalah sebuah fitrah? Tapi beginikah sebuah fitrah? Mengapa fitrah ini hampir membunuh fitrah yang lain? Sebuah fitrah cinta yang seharusnya lebih suci dan mulia..

*cerita ini hanya fiktif belaka