Trauma Membawa Hikmah

Trauma Membawa Berkah

Dari mana harus mulai menceritakan? Terlalu banyak hikmah dan terlalu lama tidak menulis hikmah.
Kecelakaan sepeda motor itu berlansung sangat cepat, hitungan detik.
Motor berbelok di arah Isuzu Motor street, ke arah belokan SDIT Permata Bunda Darul Hikmah, Gedong Meneng Bandar lampung.

Dan Dasssshhhhhhh!!!

Adu jotos dua sepeda motor terjadi tanpa terelakkan.

Dan satu dari pengendara itu adalah aku, si pemilik tubuh tiga drum yang kaget banget nyaris tidak sadarkan diri.

”Bu…Bu…. sadar Bu… istighfar ya Bu…” seorang ibu memberikan pundaknya untuk aku pegangi dengan erat.

Kamis, saat puasa sunnah, terik matahari menyengat, sebesar sengatan pada seluruh tubuhku yang seperti dialiri listrik 5000 watt atau lebih?Emang pernah apa?Seperti dialiri, jadi benar-benar mirip begitu.

Aksi sigap, segera bangun, dan segera sadar. Tugas berbelok di gang itu adalah menjemput buah hati, Ade-chan.

Motor dijalankan.
Sampailah di sekolah Ade-chan.
”Ade-chan, tolong peluk Mama… tadi di depan Mama kecelakaan motor…” hiba suara bass Mbakyu Ge yang biasa bergedebam keras, nyaris lirih tak berkekuatan tenaga.
Pelukan Ade-chan menenangkan hati seorang ibu, yang sangat membutuhkan dukungan kekuatan, untuk membawa motor itu sampai ke rumah.

Pelukan itu menguatkan, sampai akhirnya mereka berdua, ya hanya berdua saja. Karena Mas Amung Sakti Mandra Guna masih di Tokyo.
Mereka berdua tetap naik sepeda motor itu, sampai ke rumah yang berjarak kurang lebih limabelas menit.
Sampai di rumah, motor diparkirkan. Segera badan direbahkan, sakit dan ngilu semua.

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Semua badan tak bisa digerakkan sama sekali. Tidak ada lecet, tidak ada luka di bagian luar tubuh. Allah membungkus semua tubuh tiga drum itu dengan mulus? Apa yang terjadi? Tubuh itu tergeletak tak berdaya.
Sungguh berat, tetangga kanan dan kiri berdatangan ke rumah.
”Mbak Ge kecelakaan, Mamanya Ade-chan kecelakaan!!!” seru beberapa ibu lalu bergegas datang.
Kamar ukuran tiga kali tujuh meter itu penuh sesak penjenguk. Hanya mata tersenyum saja yang mampu diisyaratkan aku kala itu, sebagai ucapan berterima kasih. Sungguh andai mereka bisa tahu isi hatiku kala itu, aku sangat berterima kasih atas semua perhatian mereka, atas semua kiriman makanan yang terus mengalir sejak hari itu buatku dan buat Ade-chan. Atas semua doa yang terlontar dari setiap para penjenguk, para peng sms ke hpku, para penelpon dari seluruh penjuru negeri.

Ya, Papa-kun masih di Tokyo.
Kamu harus kuat, harus kuat,harus kuat!!!
Tetapi badan itu tetap lemah tergeletak tanpa berdaya untuk digerakkan.

Bala bantuan datang lagi.Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Kendaraan Tante Wi dan Om Andi, segera membopong badan lemahku ke rumah sakit terdekat.
Vonisnya, ngeriiiiiiiii…..
”Opname ya Bu…!!!”
”Ogggaaaaahhhhhhhhhh Dok!!!” jawab spontan lirih dari mata dan gelengan lemah.
Obat diberikan dan jam dua belas malam sampai kami ke rumah.

Ah, kecelakaan itu berbuah manis. Aku bisa mengetahui siapa-siapa saja tetangga rumahku yang begitu sangat perhatian padaku dengan keikhlasannya. Aku bisa tahu, bahwa walau tidak memasak apapun, bisa setiap hari memakan menu sehat dari tetanggaku.
Aku juga bisa merasakan kasih sayang yang besar dari famili yang datang sehari setelah kecelakaan itu dan semua memaksa aku untuk OPNAME.
Kata yang paling aku takut. Karena Opname di kepalaku identik dengan kematian.
Opname yang telah terjadi berkali-kali pada Emak, membuat trauma panjang dalam hatiku. Bertekad untuk tidak opname seumur hidupku bila mampu dan mungkin.
Tekad yang salah, tetapi sangat aku yakini kebenarannya.
Atau tepatnya sangat aku yakini ketidak benarannya.

Kecelakaan itu sudah dua minggu setengah lalu. Buahnya, kepalaku belum bisa untuk nengok ke kanan dan ke kiri, pinggang dan pundaknya bisa digerakkan tetapi meyerupai robot. Sungguh, Allah SWT telah menegurku denga teguran halus untuk bertaubat dan berhati-hati setiap saat.

Saat aku mengkhatamkan Al Quran di seminggu pertama ramadhan 2009 atau 1430 H ini, taubat itu mengalir deras dalam sujudku. Ramadhan pertama di Indonesia, setelah pulang dari tugas belajar empat tahun tet di negeri gempa. Aku berusaha mengganti kata Opname itu tidak identik lagi dengan kematian. Karena sesungguhnya tanpa Opname –pun aku bisa saja mati setiap saat. Kapan saja dan di mana saja.
”Ya Allah matikan aku pada hari jumat ya Allah, sehingga menjadi khusnul khotimah kelak, sebagai mana janji-Mu”.

15 Agustus 2009
Kemiling berduka.
Ibu Guru Ngajinya sakit kepala belakangnya, pinggang dan punggungnya.
Jalannya seperti robot sekarang, duh kasian…
Ada robot saingan nggak?

Penulis adalah Sekretaris Forum Lingkar Pena Jepang
Dan anggota IASA Jepang