Ukhuwah

Pernahkah anda merasakan manisnya ukhuwah? Saya yakin sebagian besar aktivis dakwah pernah merasakannya. Walaupun, akhir-akhir ini kadang terdengar gumaman “ukhuwah sekarang ini hambar, tidak seperti dulu awal-awal kita hijrah”. Gumaman yang dideteksi sebagai salah satu penyebab banyaknya penyakit dakwah saat ini. Ungkapan yang sangat melankolis.

Siapa pun orangnya, pasti merindukan suasana ukhuwah yang kental. Begitu pentingnya ukhuwah sampai-sampai Allah SWT dan Rasul-Nya SAW menyebut-nyebut ukhuwah dalam Al-Qur’an dan Hadits. Orang mu’min itu bersaudara, laksana satu tubuh, seperti bangunan yang kokoh, berkasih sayang sesamanya dan saling mengucapkan “Saudaraku, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”. Hasan Al-Banna, seorang mujaddid dan muharrik dakwah, pun meletakkan ‘ukhuwah’ mendampingi ‘iman’ sebagai bekal kekuatan dakwah.
Meskipun rata-rata orang mendambakan ukhuwwah, tapi tak sedikit yang tidak memahami hakekat ukhuwah.

Contoh sederhana, saya mengajak kita semua menguji tingkat ukhuwah kita. Caranya mudah. Pilih satu atau dua orang nama sahabat terdekat kita. Kemudian, buat list apa yang kita sukai darinya yang menyebabkan kita menyayanginya. Banyak bukan? Mungkin dia sangat perhatian pada kita, sering membantu kita, sering men-taushiyahi kita dengan cara yang kita sukai, penyabar, hobby kita mirip, enak untuk kerja sama dan sebagainya. Benarkah begitu?

Kalau benar begitu, maka sesungguhnya ukhuwah kita rapuh, sebab cinta kita ada pamrihnya. Mestinya cinta tak berpamrih. “Cinta itu buta”, kata para pujangga cinta. Maka ketika seseorang benar-benar jatuh cinta, dia takkan mampu mendefenisikan apa yang membuatnya jatuh cinta.

Seperti cintanya seorang ibu. Apa yang menyebabkan seorang ibu mencitai anaknya, selain dari karena anak itu adalah anaknya? Apakah karena anaknya cantik, baik, penurut, berbakti, berprestasi? Bukan! Cinta seorang ibu tumbuh secara ikhlas bersamaan tumbuhnya janin di dalam rahimnya. Tak peduli, seperti apa rupa anaknya nanti, tak peduli seperti apa budi anaknya kelak. Bahkan, pintu maaf pun selalu terbuka untuk setiap tetes peluh dan air mata menyaksikan laku sang anak.

Lebih jauh, semestinya kita memahami bagaimana cintanya Allah SWT pada kita. Adakah sebabnya Allah mencintai hamba-Nya? Adakah seluruh nikmat yang diberikan sebagai tanda cinta-Nya memiliki sebab? Allah SWT tidak menginginkan apapun dari kita, sebab memang Dia tak butuh. Beribadah atau tidaknya kita, tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya. Bukan hanya tanpa pamrih, cinta juga selalu bermakna pengorbanan, kasih sayang dan memberi. Inilah filosofi cinta yang sebenarnya.

Cinta seperti inilah yang mestinya kita bangun dalam berukhuwah. Karena dia mukimin, itu saja. Tentunya dalam hal ini defenisi mukmin adalah ‘mukmin yang sebenarnya’, yang shaleh serta berkomitmen dengan dakwah. Siapa pun orangnya yang kita temui, ketika dia beriman, maka perlakukanlah dia laksana bagian tubuh kita, kasih sayang lah kepadanya dan ucapkanlah “saudara, sesungguhnya aku mencitaimu karena Allah”.

Tak peduli apakah dia menyenangkan atau tidak bagi kita. Tak peduli apakah kerap kali dia membuat kita sedih karena kurang mampunya dia merangkai kata dan memilih cara dalam mentaushiyahi kita. Tak peduli seberapa sering kita berbeda pendapat atau beradu argument dengannya dalam amanah-amanah kita. Tak peduli, betapa sering dia membutuhkan bantuan kita, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Tak peduli betapa jauh perbedaan sifat dan hobby kita. Sebab semuanya itu manusiawi sekali. Cukuplah karena dia beriman; shaleh dan mendedikasikan diri untuk dakwah.

Kalau ini yang kita bangun dalam barisan dakwah ini, alangkah indahnya. Maka tak akan dijumpai lagi adanya friksi-friksi. Tak ada lagi ‘pilih-pilih’ teman satu tim. Tak ada lagi sakit hati karena tersinggung, yang kadang sampai menghindari bertemu. Tak ada lagi ‘hitung-hitungan’ amal. Sehingga hati tenang jiwa pun tentram, bersama mengukir kepahlawanan.

Saya punya seorang sahabat dalam dakwah ini. Dulu sekali, saya bertanya padanya kenapa dia begitu menyayangi saya dengan segala keegoisan dan kekanak-kanakan saya. “Karena kamu mendedikasikan diri untuk dakwah”, jawabnya.

Bulan lalu ketika dia berulang tahun, saya pun lupa mengucapkan selamat yang disertai kado dan selembar taushiyah, seperti yang biasa kami lakukan. “Kalau sekedar perhatian hari ulang tahun yang saya harapkan dari anti, sudah sejak lama saya tak bersahabat dengan anti. Bukannya anti sering terlambat mengingat hari ulang tahun saya dan nunggak dulu kasi kadonya?”, selorohnya dengan senyum sambil menepuk saya. Saya jadi malu.

Teriring salam cinta buat saudariku, ummu Asma.
Jazakillah untuk ukhuwwah selama ini, uhibbuki fillah.