Cinta Seorang Ibu

Suatu ketika dahulu, ada seorang kawan yang berucap, jika seorang lelaki syahwatnya adalah kepada wanita maka syahwat seorang perempuan adalah kepada anak-anaknya. Itulah sebabnya dalam hati kecil setiap wanita senantiasa tersimpan cinta agung Ibu kepada anak-anaknya. Cinta yang tak berbalas. Tanpa imbalan. Tanpa kompensasi.

Saat itu, saya tidak langsung mengiyakan atau membuang jauh-jauh pendapat tersebut. Karena bagi saya soal cinta adalah soal perasaan. Tidak bisa mendadak langsung ada. Tapi ternyata saya salah. Cinta itu tiba-tiba saja muncul dan mekar dalam hati saya begitu tubuh saya menunjukkan tanda-tanda kehadiran sang buah hati. Sewaktu gadis saya memang tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Bagi saya, anak-anak memiliki energi yang tak habis-habis. Dan itu membuat saya kewalahan. Kagak ade matinye!

Betul. Cinta itu mendadak saja ada. Cinta akan anak yang menjadi belahan jiwa, harapan di masa depan dan cita-cita seluas samudera. Cinta pula yang membuat saya berhati-hati dalam berpikir dan bertindak agar kelak anak dalam kandungan saya bangga memiliki saya sebagai ibunya. Saya sungguh sangat ingin menjadi ibu terbaik bagi anak-anak saya. Cinta inilah yang membuat saya berat hati menaiki bis yang mengantar saya ke tempat kerja. Cinta yang membuat saya enggan berjauhan dari anak-anak saya. Cinta yang membuat saya ikhlas menjadi ibu rumah tangga sepenuh waktu agar anak-anak tak pernah kehilangan ibunya.

Itulah pula yang dirasakan kawan-kawan saya yang karena tugas harus berjauhan dari anak-anak yang dikasihinya. Air mata meleleh tak habis-habis menangisi kekerdilan jiwa yang lebih menuruti perintah atasan daripada memenuhi hak anak. Kawan-kawan saya yang harus menunaikan tugas negara menuntut ilmu yang lebih tinggi di luar negeri dan harus berjauhan dengan anak-anak yang dikasihi. Inginnya hati membawa serta anak-anak bersama tapi karena kecilnya beasiswa, pertimbangan studi dan suami yang tak dapat mendampingi, menjadi alasan kuat untuk berjauhan.

Ibu-ibu istimewa ini bergelut dengan tugas-tugas kuliah dengan tetap melaksanakan tugasnya sebagai pengayom anak-anaknya. Ada yang tiap malam menjelang tidur menelpon satu persatu anaknya. Menanyakan aktivitas harian, tugas-tugas sekolah bahkan setoran hafalan! Ada pula yang setiap bulan atau dua bulannya mengharuskan diri pulang ke tanah air agar bisa langsung menyaksikan perkembangan anak-anaknya. Jarak Johor-Jakarta atau Johor-Surabaya seolah-olah hanyalah perjalanan antar propinsi. Duit yang terpaksa keluar pun seolah tak dihiraukan dan harus diganti dengan penghematan yang luar biasa di sektor lain.

Sayapun teringat dengan diri sendiri. Saya pernah menitipkan anak-anak di pusat penjagaan kanak-kanak dan sore harinya seorang kawan melaporkan bahwa seharian kedua balita saya menangis sepanjang hari sejak saya tinggalkan. Keesokan harinya saya tidak mampu melawan suara hati untuk menjaga anak saya sendiri. Risetpun jadi nomor dua. Pernah pula saya menitipkan anak-anak ke rumah kawan. Itupun cuma sebentar. Keaktifan anak-anak saya membuat kawan saya tersebut angkat tangan. Sayapun akhirnya memilih jalan tengah: pergi ke lab ketika kedua anak saya tengah tertidur! Saya kunci rumah dan memastikan semua keadaan dalam kontrol saya lalu dengan setengah berlari saya bergegas ke lab yang jaraknya sepuluh menit jalan kaki dari rumah yang saya tempati.

Beresiko memang. Nekat.Tapi saya tidak menemukan alternatif lain agar anak-anak saya nyaman tinggal di negeri jiran bersama saya. Ada kalanya saya bawa mereka ke lab dengan tatapan tidak suka pegawai lab tempat saya belajar.

Sungguh!Saya tidak mampu berjauhan dari anak-anak saya. Saya tidak akan sanggup hidup tanpa mereka. Itu pula yang dirasakan kawan saya yang kesepian di Jerman nun jauh disana. Semester pertama yang ia tempuh selalunya banjir air mata karena ketiadaan daya membawa anak-anak bersama. Hampir saja ia menyerah dan kembali ke tanah air tanpa keberhasilan karena tidak sanggup berpisah dengan buah hati. Detik demi detik dalam hidup senantiasa diliputi rasa bersalah karena menomorsekiankan anak dan lebih mengutamakan tugas. Khawatir jika di kemudian hari, permata-permata kecil ini menggugat ibunya kenapa dulu mereka ditelantarkan….

Itulah yang paling saya takutkan. Apa yang akan saya sampaikan kepada anak-anak saya kelak jika mereka bertanya dimana saya ketika mereka membutuhkan kehadiran saya. Apa yang akan menjadi pembelaan saya apabila mereka menggugat kenapa mereka ditinggalkan suatu ketika masa dahulu. Dan terlebih-lebih di hadapan Allah. Apa yang bisa saya jadikan alasan di hadapanNya?

Saya hanya mampu beristighfar dan memohon ampun kepada anak-anak saya. Meskipun mereka masih kecil, saya yakin mereka dapat memahami ketulusan jiwa saya. Saya tidak akan pernah menggantikan cinta saya untuk mereka. Sampai kapanpun mereka adalah belahan jiwa dan tumpuan hidup saya. Sayapun yakin, banyak barisan ibu yang akan mengiyakan bahwa selamanya anak-anak bersemayam dalam hati ibu mereka. Takkan pernah hilang walau sedetikpun….

3 Juli 2010