Wanita dengan Tumpukan Kardus di Trolinya

Aku kerap menyaksikan kehadiran mereka di antara onggokan sampah dalam tong di pinggir-pinggir jalan. Mereka adalah wanita-wanita berkulit hitam dari Bangsa Somalia. Pemandangan yang sangat biasa memang di Kota Jeddah. Aku tidak tahu persis apakah kota-kota lain di Saudi juga seperti ini. Mereka mengais di antara tumpukan sampah, mencari kardus-kardus bekas untuk di jual dengan harga yang sangat tidak seberapa. Bahkan sekali waktu aku memergoki mereka mengutip roti dari tong tersebut. Kaget bercampur iba menyelusup ke dalam hati. Seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, aku bertanya pada suami.

"Untuk apa itu yah?"

"Ya untuk mereka makan!" .
Ya Allah, hatiku seperti disambar petir mendengar jawabannya. Sepahit inikah perjuangan mereka. Segera ku keluarkan beberapa lembar Real dari dompetku. dan segera mengulurkan uang yang tidak seberapa jumlahnya itu kepada wanita yang sedang berada dihadapanku. Seperti sebelum-sebelumnya, selalu saja terlihat raut kegembiaraan yang membuncah dari wajah mereka, setiap kali menerima hal yang sama.

Jangan ditanya bagaimana mereka bergumul dengan bau menyengat yang keluar dari timbunan sampah itu, Karena bau itu juga seolah sudah menjadi bagian dari hari-hari mereka. Berlapiskan abaya hitam yang menutup rapi tubuh mereka di tengah panasnya sinar matahari. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana mereka disiang hari menahankan panasnya Saudi yang suhunya selalu di atas 40 derajat Celcius. Ahh, bukankah dalam Fisika yang kupelajari diSekolah dulu, Hitam adalah warna penyerap panas. Artinya ketika kita memakai warna hitam, maka panas akan semakin terasa karena sengatannya di serap oleh warna baju yang kita pakai.

************
Malam semakin larut, Jarum jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Kalau di Indonesia jam satu malam masih berkeliaran di luar tentu suatu yang sangat tidak wajar. Aku, suami dan si kecil Faruq, baru saja pulang dari rumah teman. Ini adalah Malam Jum`at, malam libur. Berbeda dengan Indonesia yang menjadikan setiap Hari Minggu sebagai tanggal merah, Saudi lebih memilih Hari Jum`at untuk libur pekanan. Satu hal yang sangat mendukung tentunya. Karena dalam Islam, Jum`at merupakan hari yang istimewa, di dalamnya terdapat kewajiban bagi laki-laki untuk melaksanakan Sholat jum`at.

Sedan putih yang disetir oleh suamiku masih melaju dengan kecepatan sedang. Ketika akan memasuki gang yang berada di depan rumah kami, aku kembali mendapati salah seorang dari warga yang Negerinya sedang ditimpa kerusuhan itu. Seorang wanita paruh baya, berjalan dengan tumpukan kardus bekas di dalam troli yang dia dorong. Hatiku semakin perih, meski ini adalah pemandangan yang tidak jauh berbeda dari biasanya. Hari-hari sebelumnya, paling larut aku menemukan mereka dengan aktifitasnya itu sekitar pukul 12an malam.

Aku teringat bahwa di dompetku sedang tidak ada uang selembarpun.

"Ayah ada uang nggak?, dompet ummi lagi kosong".

Segera suamiku merogoh kantongnya dan mengeluarkan selembar uang yang lebih berharga dari biasanya. Aku cukup kaget, melihat ia barusan memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar untuk ukuran kami. Sementara wanita yang usianya kutaksir sebaya ibuku itu menerima dengan suka cita dan berbagai ucapan terima kasih keluar dari mulutnya. Bahkan ketika mobil sudah kembali berjalan, aku masih mendengar lirih suaranya yang tak henti mengucapkan terima kasih.

"Ayah masih ada pegang uang?". Tanyaku sesaat seteleh kami meningglkan wanita yang itu.

"Gak apa-apa, kasian jam segini dia masih di luar." Jawabnya singkat.

"Bukan itu ayah, ummi ya senang ayah ngasih segitu, bahkan kalau bisa lebih dari itupun ummi senang. Karena itu tabungan akhirat kita, harta kita yang sebenarnya. Ummi cuma nanya, di dompet ayah masih ada uang nggak?"

Aku bertanya dengan nafas agak tersengal, karena seingatku lembaran yang dia beri tadi adalah satu-satunya lembaran berharga yang ada didompetnya. Ekspresi wajahnya masih datar. Mungkin perasaan kasihan menyaksikan pemandangan yang memilukan itu, bercampur dengan rasa lega karena di saat sempit seperti ini, masih bisa memudahkan urusan orang lain yang lebih kesulitan.

"Nggak apa-apa mi. Kasihan, udah jam segini dia belum pulang." Jawaban yang sama kembali keluar dari lisannya.

"Subhanallah Yah,,,,," Aku bertahmid.

Tidak ada kata yang bisa keluar dari lidahku. Haru, aku ingat dengan kisah Fatimah cucu Rasulullah yang suatu ketika juga masih bisa bertahmid, di saat suaminya Ali Bina Abi Tholib bisa memudahkan urusan orang lain, padahal waktu itu mereka juga sedang dalam keadaan yang sangat sempit. Dan kali ini, aku juga harus memperbanyak jumlah tahmidku, karena Allah memberi kesempatan bagi kami untuk bisa merasakan seperti yang Fatimah dan Ali rasakan saat itu.

Dan terima kasih ya Allah,,, Engkau telah menganugrahiku seorang lelaki yang peka dengan kesulitan saudaranya.

Sayang,,, untuk kesekian kalinya, hari ini engkau kembali menunjukkan kepadaku bahwa engkau peduli dengan mereka.

Aku semakin bangga denganmu.