Wanita Kecil Bertubuh Kurus Itu

Suara gemericik air whudu itu kembali terdengar ditelinga saya. Masih seperti kemarin-kemarin, jam 5 shubuh wamita kecil bertubuh kurus itu, memulai hari dengan memperdengarkan suara denyit tali timba yang mengantarkan seember  air untuk menghadap Tuhan

 “ Yan, embernya di tarok di atas wae, biar percikan air  whudunya ndak masuk lagi ke dalalam embernya”, tegur wanita itu ketika saya mengambil air whudu dari ember timbaan yang saya letakkan di bawah lantai ketika hendak sholat shubuh.

 Tak ada yang istimewa dari wanita itu, selain batuk-batuknya yang sering terdengar  sampai di rumah saya, karena ia tinggal tepat di sebelah sewaan sementara rumah orang tua saya. Dan  saya akan hapal dengan kebiasaannya setiap hari.

 Ibu dengan orang lima anak yang yang jaraknya cukup berdekatan. Aktifitas rutin yang berirama dan monoton menurut saya. Bangun bagi, memasak untuk orang-orang dirumahnya, memandikan anak bungsunya yang kadang membuat seisi rumah basah Karena kucuran air mandi yang belum dikeringkan, teriakan – teriakan kecil, yang hampir setiap  hari menemani hari-harinya. Jarang saya lihat wanita itu beristirahat barang satu haru. Cuti dari semua katifitas rutinnya yang menurut saya sangat menjemukan.

Saat itu saya masih duduk dikelas tiga SMP. Yang saya lihat hanyalah keikhlasan dari wanita bertubuh kecil dan kurus itu. Keikhalasan dan bentuk tanggung jawab terhadap enam orang anaka-anaknya. Jarang saya lihat ia marah atau sekedar memukul anak-anaknya karena kenakanlan – kenakalan mereka. Jarang juga saya melihat ia bergabung dengan ibu-ibu di kompleks tempat tinggal saya untuk sekedar ngombrol ringan, Hanya tawanya dan senyum kecil yang menghiasi bibirnya ketika di waktu malam hari selepas isya, beristirahat sejenak untuk datang kerumah saya menonton acara TV.

Banyak saya pikir wanita dengan aktifitas monoton seperti yang dialami  oleh wanita yang menjadi tetangga saya kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Ketika ia pindah dan terus berpindah dari satu tempat ketempat  yang lain, dengan alasan untuk mencari rumah kontrakan yang lebih murah. Dan semenjak itu sudah jarang saya lihat wajah lelahnya setiap ia mengunjungi rumah saya. Hingga beberapa bulan yang lalu saya mendengar khabar bahwa suami yang menjadi tulang punggungnya meninggal dunia karena penyakit kanker yang diderita.  Keterbatasan ekonomilah yang membuat penyakit itu tidak cepat untuk di operasi.

Kini bila saya hendak mengambil air whudu dari ember timbaan  yang saya kerek, saya teringat kembali dengan-kata-katanya di waktu shubuh sepuluh tahun yang lalu. Ucapan dari seorang wanita yang telah mengabdikan hidupnya untuk keluarganya. Seorang wanita yang ikhlas menurut saya dengan segala rutinitasnya yang monoton. Untuk semua yang suaminya berikan.

Banyak jutaan mungkin wanita di dunia ini yang memilih menjadi  pelayan bagi keluarganya. Semakin dihitung, maka semakin kecilah saya dengan segala idealisme yang begitu saya bangga-banggakan. Dengan segala kekerdilan diri saya yang begitu sombong dengan segala cita –cita tinggi saya.

Ketika saya  bertemu kembali dengan wanita kecil kurus itu. Saya melihat jutaan wanita yang melakukan atifitas yang sama seperti yang ia lakukan. Pekerjaan mulia tanpa ngaji besar dengan lembaran  rupiah, hanya keingginan untuk menjadi ratu ditengah keluarganya. Ditengah orang –orang yang akan didiknya menjadi orang yang akan menghiasai bibir indahnya dengan sejuta  harapan. Tiba-tiba saja saya begitu ingin mengikuti jejaknya.

                                                                        Spesial for mamak Yuyun, apa khabar