Andai Gaza di Depan Rumahmu

gaza tonightApa yang biasanya kautemui di depan rumahmu ketika bangun dari tidurmu? Apa yang biasa kau lihat? Apa yang biasa kau hirup? Apa yang biasa kaurasakan? Tepat setelah kau bangun dari tidurmu dan kau buka pintu rumahmu?

Pernahkah kau bayangkan, ketika kau buka matamu, yang biasa kau temui di pagi harimu, segalanya menjadi jauh berbeda?

Ketika kau membuka mata. Ada pemandangan yang tak pernah kau kira. Ketika kau membuka mata. Ada Gaza.

***

Andai Gaza di depan rumahmu. Apa yang akan kaulakukan Saudaraku?

Tak perlu kau tanyakan bagaimana bisa. Meskipun cuma seandainya, tak ada hal yang tak mungkin bagi-Nya. Cukup bayangkan saja…

Ketika pagi, kau buka matamu. Kau heran, kenapa tak ada suara azan terdengar? Alih-alih, justru suara-suara menggelegar?

Lalu kau bergegas menuju pintu rumahmu. Kau buka, lalu seketika tak percaya.

***

Kegelapan yang biasa kau lihat, kini telah diterangi cahaya ledakan yang berkilat-kilat. Silau! Seolah retinamu tertusuk! karena masih terbawa kantuk.

Segarnya udara pagi yang murni dan belum tercemari, kini berganti dengan tajamnya mesiu yang menusuk paru-paru. Tak ada lagi udara yang menyegarkan seluruh tubuhmu. Melainkan mesiu panas dalam setiap hirupanmu.

Hawa dingin yang biasa menyengat hingga memaksamu mengenakan jaket rangkap, kini dipanasi oleh puluhan ledakan yang berasap.

Ketika kau mulai terheran, ketika itu pula kau bertanya-tanya “Apa yang harus kulakukan? Ini asli! Bukan berita yang setiap hari kulihat di TV!” ujarmu.

***

Kemarin, beberapa hari sebelum hari ini…

Kabar dan berita, tiap hari kausaksikan dan kau baca. Hampir tiap hari pula, disampaikan kepadamu oleh mereka, berita tentang Palestina serta konfliknya di Jalur Gaza. Lalu, setelah mendengar dan atau melihatnya dengan mata kepala (melalui layar kaca), kau diam serta tak berbuat apa-apa selain doa.

“Masih banyak urusanku yang lain” jawabmu.

Pendidikan katamu. Jika kau seorang pelajar. “Aku harus menuntut ilmu, menggali kemudian mengkaryakannya agar berguna bagi negaraku”. Begitu jawabmu.

Mencari nafkah katamu. Jika kau seorang kepala rumah tangga. “Aku harus menghidupi keluargaku dengan cucuran keringatku. Aku memiliki nyawa-nyawa lain yang bergantung dan menjadi tanggung jawabku”. Begitu jawabmu yang lain.

Serta berbagai jawaban lain yang senada. Jawaban dari orang-orang yang termasuk dalam golongan realistis yang tak suka taking a risk.

***

Itu kemarin. Kini segalanya telah lain. Kau tak bisa berkata “maaf, tidak” kepada seruan dan ajakan yang mengulurkan tangannya, memintamu menyambutnya dan menyerahkan diri secara sukarela dengan niat tulus dan lurus, menjadi mujahid Allah Ta’ala.

Tak perlu lagi dalam-dalam merogoh kocekmu untuk transportasi. Kini segalanya ada di depan matamu. Lapangan jihad melawan Zonis terlaknat.

Di depan matamu, kau saksikan mortir berjatuhan. Di sekelilingmu, kaudengar ledakan granat, serta suara rentetan senapan yang memekikkan.

Ini bukan layar kaca! Segalanya nyata! Mayat yang tak lengkap lagi organ di tubuhnya berserakan di mana-mana. Tua-muda, kecil-dewasa, pria-wanita, semua menjadi korbannya.

Lautan darah di sepanjang kau memandang. “Kenapa tak anyir? Kenapa tak amis? Sebaliknya, harum… Inikah syahid?” begitu pikirmu.

Tiba-tiba sebuah bom dijatuhkan di dekatmu. Suaranya memecahkan lamunanmu. Ledakannya mementalkan tubuhmu. Kau bangun, tubuh dan seluruh persendianmu terasa ngilu. Kau melihat rumahmu, kini telah menjadi abu. Lalu kau sadari, tak ada waktu untuk termangu. Keputusan harus dibuat secepat kilat. Jihad. Atau habis riwayat.

***

Andai Gaza di depan rumahmu… Akankah kau terlalu sayang akan nyawamu? Bersembunyi di sudut redup, karena percaya kata logika, jika berontak, tak ada harapan hidup.

Andai Gaza di depan rumahmu… Atau akankah kau pungut senapan di dekatmu. Berdiri. Mengumpulkan keberanian, berlari ke depan. Bergabung bersama para mujahid yang telah siap bahkan mencari Syahid.

Bukan mengantarkan nyawamu. Tapi memberikan perlawanan. Karena itu kewajiban.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar.” (Q.S. al-Hajj : 39-40)

Bukan pula karena panggilan. Tapi kebutuhan. Karena Gaza tak pernah membutuhkanmu. Tapi kaulah yang membutuhkan Tuhanmu.

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. at-Taubah : 111)

***

Maka, ketika dihadapkan dalam kondisi demikian, apakah kau akan bersyukur? Bergembira karena dapat menjadi Mujahid-Nya.

Ataukah justru kau bersyukur karena sekarang kau tak berada dalam keadaan dimana nyawa menjadi taruhan?

“Hai manusia sekalian! Janganlah kamu mengharapkan pertemuan dengan musuh dan mohonlah kesehatan kepada Allah. Namun apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bersabarlah” (H.R. Muslim)

Jika kau adalah golongan yang pertama, jika rumahmu bukanlah di Gaza atau Palestina. Kau ingin, tapi karena hambatan beberapa hal ‘teknikal’, hingga tak memungkinkanmu pergi kesana. Janganlah berduka.

Ketahuilah… Hampir semua ayat berjihad, selalu diikuti kata “… dengan harta, dan jiwa mereka…”

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. at-Taubah :20)

Karena ‘Gaza’ yang lain, ada di depan matamu. Di dalam dirimu. Ia berbentuk ‘Nafsu’.

Wallahua’lam bisshowab… (/dhi)

widhisatya.blogspot.com