“Wong Kang Sholeh Kumpulono”

Aku gagal ikut pesawat yang lebih sore. Tiketku memang sudah kupesan jauh hari dan mendapatkan Lion Air jam 19.55 dari Jakarta. Tetapi, justru karena itulah aku bertemu dengan seorang yang ramah ini. Pak Daniel M. Rosyid. Seorang tokoh dunia pendidikan dari Surabaya, yang dulu ketika masih kuliah di ITS, beliau kukira non muslim sekadar dari namanya. Tetapi, begitu mendengar beliau menyampaikan khutbah Jum’at di Masjid Manarul ‘Ilmi ITS, kesanku berubah 180 derajat.

Sebenarnya aku sebatas kenal nama saja dan tak pernah diajar beliau di dalam ruang kuliah. Tetapi kuberanikan diri untuk menyapanya, karena kulihat senasib dengan diriku di bandara ini.

“Assalaamu’alaikum, Pak Daniel,” salamku menyapanya.

Beliau pun menjawab salam dan menjabat erat tanganku.

“Bahtiar, Pak,” sepertinya beliau ingin menanyakan namaku. “Tidak bisa ikut pesawat yang jam enam ini, Pak?”

Ia mengangguk. “Ya. Padahal sudah antri dari tadi.”

Aku menyatakan hal yang senasib.

“Sekarang sedang mengerjakan apa di Jakarta ini?”

Aku pun menceritakan pekerjaanku di Jakarta. Beliau kemudian mengajak berbincang di Warung Pasundan di dekat gate masuk waiting room penumpang. Kami memesan minuman dan penganan kecil. Beliau yang membayar di kasir.

Kami pun berbincang banyak hal. Keluarga. Pekerjaan. Masa depan pendidikan anak-anak. Sekolah kreatif. Juga batuk beliau yang belum juga sembuh.

“Jangan kerokan pakai uang logam lagi, Pak,” saranku pada beliau. “Justru memperlebar pori-pori kita, kata orang.”

Beliau mengangguk-angguk. “Terus pakai apa?”

“Kenapa Bapak tidak mencoba bekam saja?”

“Bekam?”

“Ya, Pak. Bekam atau cupping atau al-Hijamah,” jelasku. “Ini metode yang dipakai Rasulullah SAW dulu. Bekam di kepala bagian belakang bawah bisa menyembuhkan 72 penyakit lho, Pak.”

Aku pun bercerita tentang metode pengobatan Nabi di samping madu dan kay itu. Juga tentang pengobatan herbal menggunakan tanam-tanaman. Beliau kulihat menyimak dengan seksama. Padahal, Pak Daniel adalah seorang profesor terkemuka ITS. Pakar pendidikan. Pembantu Rektor. Ahli perkapalan dan kelautan. Bagaimanapun, beliau adalah dosenku, meski tak pernah mengajarku di kelas. Sedang aku ini apa?

Kekagumanku tidak berhenti di situ. Ketika beliau mengajak shalat Maghrib dan mengantri wudhu di mushala gate A7, beliau mempersilakan aku wudhu lebih dulu. Dan tiba-tiba ….

“Mana tasnya saya bawakan,” katanya sambil meraih tas pakaianku di tangan.

Aku tak sempat menolak. Sambil berwudhu, rasanya aku tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Sehabis wudhu, Pak Daniel menyapa seseorang yang baru saja muncul sehabis shalat dari dalam mushala.

“Assalaamu’alaikum, Ustadz,” sapanya pada orang itu.

“Wa’alaikum salaam, Pak Daniel,” sambut orang itu ramah. Kemudian keduanya berjabat erat seperti dua orang sahabat.

Lalu Pak Daniel memandangku dan mengenalkanku pada orang itu. “Ini Pak Bahtiar, Ustadz,” kenalnya. Tak cukup, beliau menambahkan keterangan yang membuat dadaku sesak. “Pak Bahtiar ini ahli informatika.”

Orang yang dipanggil Ustadz itu pun menyalamiku erat. “Abdurrahman,” katanya singkat. Aku pun menyebut namaku lirih.

Ustadz Abdurrahman itu pun kemudian mempersilakan kami shalat.

“Beliau Ustadz Abdurrahman. Pemimpin Pondok Pesantren Hidayatullah itu,” jelas Pak Daniel padaku. Aku baru paham dengan siapa berkenalan. Ustadz Abdurrahman yang terkenal ramah itu! Aku hanya kenal di majalahnya saja.

Ketika kami naik ke ruang tunggu sehabis shalat, Ustadz Abdurrahman mendekati tempat kami duduk. Dan yang membuatku surprised adalah beliau menghadap padaku, mengatupkan kedua tangannya di depan dada, mengulurkannya padaku, mata teduhnya menatap mataku, dan bertanya, “Maaf, panjenengan tadi namanya siapa?”

Ya, ampun! Aku yang tak terdefinisikan ini masih diperhatikannya sama beliau. Pakai panjenengan lagi, bahasa halus paling tinggi di kasta Bahasa Jawa untuk menyebut “kamu”. Aku pun mengulurkan tangan menyambut tangan beliau. “Bahtiar, Ustadz.”

Aku pun kemudian mengulurkan kartu namaku.

“Maaf, saya tidak membawa kartu nama,” katanya.

“Pak Bahtiar ini sedang mengerjakan proyek pemantauan Selat Malaka bersama perusahaan Amerika, Ustadz.” Lagi-lagi Pak Daniel mengenalkanku. Kali ini apa yang aku kerjakan. Bajuku serasa tak muat karena dada yang sesak, padahal proyek itu biasa-biasa saja.

Aku pun menjelaskan sedikit lebih detil. Dan ustadz itu mengangguk-angguk.

Perbincangan kami pun mengalir bersahutan. Kami berbincang tentang pendidikan anak-anak, home schooling, televisi, hiburan untuk anak-anak. Bagaimana lulusan sekolah berbasis “science” kita saat ini yang – istilahku yang kemudian diamini kedua beliau – “kehilangan ruh”. Kehilangan spiritualitas, kelebihan sisi kognitif-nya saja. Tak seimbang. Karena itu, ITS melalui Pak Nuh — demikian beliau lebih sering dipanggil — Rektor ITS saat ini, bekerjasama dengan PP. Hidayatullah membangun sebuah lembaga Darul Arqam di sebelah Kampus Lukmanul Hakim Hidayatullah Surabaya untuk menjembati kesenjangan ini. Mahasiswa muslim berprestasi dari ITS setelah dijaring ketat akan dibina di “pondok” ini. Diharapkan dari kampus ini lahir kader-kader pemimpin masa depan yang secara intelektual mumpuni, secara spiritualitas mencukupi.

Ustadz Abdurrahman pun melontarkan gagasan tentang Pondok Pesantren IT (information technology) dan menggagas jaringan IT dari lulusan pondok ini yang tersebar di seantero nusantara. Ini sebuah kekuatan umat, katanya berapi. Bagiku, ini adalah sebuah gagasan brilian dari orang berbasis pesantren seperti beliau. Sebuah gagasan lintas disiplin dan bervisi jauh ke depan.

Pak Daniel sendiri mencermati pelaksanaan Unas yang cukup dilematis dan kontroversial selama ini. Ada banyak alternatif bisa dilakukan untuk mengatasi problem ini. Tetapi bagaimanapun, Unas ujung-ujungnya adalah sebuah "proyek"; sebuah bisnis yang melibatkan milyaran rupiah dana. Tidak gampang mengutak-atiknya dalam waktu sesaat. Padahal, taruhannya sangat dilematis: dunia pendidikan anak-anak bangsa ini!

Amboi! Sungguh, sebuah pembicaraan yang begitu produktif, bersemangat, meski dengan santai. Semuanya bermuara pada satu simpul: bagaimana umat ini harus diberdayakan dan apa yang bisa kita lakukan. Saking asyiknya, ketika petugas Lion Air menyatakan bahwa pesawat mengalami delay 45 menit dan para penumpang lain merasa kecewa bersahutan, kami tetap asyik meneruskan topik pembicaraan. Hampir 3 jam! Tanpa terasa.

***

Satu hal yang kurasakan selama berbincang ini: aku tidak merasa seperti orang asing. Aku di-uwongke, kata orang Jawa. Di-orang-kan. Padahal kedua beliau adalah seorang “tokoh” di bidang masing-masing. Keduanya terlihat sudah sering berjumpa dan berinteraksi. Sedangkan aku? Seorang yang nyaris tidak terdefinisikan. Tetapi, dalam perbincangan ini, seringkali aku dimintai pendapat tentang suatu hal. Mereka benar-benar menganggapku “teman bicara” yang sejajar.

Sungguh pengalaman yang tak terlupakan, berjumpa dan berkumpul dengan orang-orang seperti mereka. Perbincangan pun terasa tak ada yang sia-sia. Selalu berpikir tentang bagaimana umat ini. Bagaimana orang lain, dan bukan diri sendiri.

Barangkali inilah yang dimaksud para ulama dulu, ketika mereka paring pitutur*:

Tombo ati, iku limo ing wernane
Moco Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindho sholat wengi lakono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono

(Obat hati itu ada 5 macamnya
Pertama, baca Qur’an sambil menangkap maknanya
Kedua, dirikan sholat malam Ketiga, berkumpullah bersama orang-orang yang shalih
… )

***

Ket.
* paring pitutur (jw) = memberikan nasihat

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com