Yang Penting Niatnya

Tinggal di sebuah flat dengan penghuni yang berasal dari bermacam negara, membuat kita disuguhi berbagai pengalaman unik. Seperti yang terjadi pada kami, dua bulan ke belakang.
***

Perkenalan saya dengan tetangga saya, orang Pakistan, terjadi di parkir depan flat. Saat itu, saya baru saja pulang dari tugas rutin, mengambil wadah kue, di kedai tempat saya menitipkan barang dagangan. Tiba-tiba, perempuan cantik dengan pakaian khas Pakistan, memanggil saya. Seperti biasa, yang terjadi kemudian adalah pertanyaan darimana saya berasal dan apakah saya bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Saya pun tersenyum dan mengangguk.

Lantas ceritanya pun mengalir. Ia menuturkan bahwa semalam baru saja diberi hadiah oleh tetangganya, orang Melayu. Sebuah benda, dibungkus koran, dibungkus kembali dengan daun yang menurutnya aneh. Benda tersebut berbentuk persegi panjang. Ups! Saya pun sibuk menerka, benda apa yang ia maksud. Kemudian katanya, “Sepertinya itu bahan makanan. Tapi kami tidak memakannya. Jadi, apakah anda mau menerimanya kalau saya beri nanti? Saya yakin, itu makanan orang Indonesia juga.”

Saya pun setuju ketika ia mengungkapkan bahwa nanti malam anaknya akan ke rumah saya untuk mengantarkan benda yang dimaksud.

Waktu pun berlalu. Setelah kami melaksanakan ibadah sholat Maghrib, terdengar ketukan keras di pintu depan. Si Ayah bergegas membuka pintu sedangkan saya sibuk mencari kerudung. He he, inilah kebiasaan saya kalau mendengar ketukan pintu.
Benar saja, seorang anak perempuan cantik, sudah berada di depan pintu sembari membawa bungkusan dalam tas kresek merah. Diulurkannya bungkusan itu ke si Ayah. Dia bilang bahwa itu adalah hadiah dari mamanya untuk saya. Tak berapa lama, si gadis kecil pun berlari pulang. Sedangkan si Ayah terlihat sedikit bingung. Saya yang sudah hadir dengan jilbab di kepala, melihatnya mengernyitkan dahi. “Eh, Mama pesen tempe ke orang Pakistan?”

Ya Allah… saya pun memekik tertahan. Ternyata… benda misterius yang dimaksud adalah empat keping tempe. Subhannallah! Begitu panjang deskripsinya sampai membuat saya penasaran dibuatnya. Ha ha ha, saya pun tertawa terbahak, disusul tawa Ayah dan Iq, putra sulung kami, ketika saya selesai menceritakan asal usul si tempe.

Sejak saat itu, selama bulan puasa hampir tiap minggu ada saja ‘kiriman’ dari sang jiran. Macam-macam yang diberikannya untuk keluarga kami. Nasi bercampur lauk dan sayur yang sudah diaduk2, nasi goreng yang sudah agak basi, nasi briyani sisa semalam… dan yang terakhir kami terima, seminggu setelah lebaran, adalah sekresek ketupat dan lemang yang baru saja dikeluarkan dari kulkas.

Agak mengeluh saya bercerita kepada suami. Tapi si Ayah cuma tersenyum, dan bilang, “yang penting niatnya.” Tak hanya itu, setiap ada kue soes atau di sini dikenal dengan sebutan cream puff, ia selalu mengingatkan agar saya membaginya untuk keluarga Pakistan itu karena mereka suka.
“Tapi Yah, boleh ngga kita bilang ke dia, bahwa nasi yang ia beri sudah basi dan tidak layak di makan?”

Ayah menggeleng, “Ngga usah, Ma. Biar aja. Ayah yakin, niatnya bukan untuk menghina kita. Tapi sekedar ingin memberi. Dan kita harus menerimanya dengan senyuman supaya ia senang. Allah kan menghitung niatnya, Ma.” Si Ayah keukeuh dengan pendapatnya. Maka begitulah, saya pun berusaha manut tanpa sanggahan lagi.

Dan, setiap si jiran memberi sesuatu yang ‘tidak layak makan’, dengan sabar saya mengganti piringnya kemudian berterima kasih dan selanjutnya, memindah pemberian itu ke tempat sampah.
Saya beristighfar dalam hati. Semoga perbuatan kami ini tidak salah dalam pandangan Allah. Mungkin Allah sedang mengajari kami untuk lebih menghargai niat baik orang lain dan membalasnya dengan yang lebih baik, semampu kami. Semoga…
Wallahua’lam bishshowab.

Kolej Perdana, UTM Skudai.