Mie Instant Seleramu

"Boleh gak hari ini makan mie?" tanya bungsuku dengan pipi penuh susu. "Hari ini saja bunda, kan sudah seminggu tidak makan mie."

"Oke, mbak! tolong siapkan kecap, mie telur, caysin, bakso, tomat dan wortel, juga bawang merah, bawang putih."

"stop bunda, stop!", tangan gemuk anakku menutup mulutku yang tengah sibuk memberikan perintah kepada mbak asih, pembantuku yang solihat dan rajin tilawah.

"Bukan mie yang itu bunda, indomie rasa ayam, yang goreng yang kriuk, pake telor dan pake sayur." desisnya lemas. "Biar enggak mati, tapi setengah saja bunda," gumamnya antara ingin dan ragu-ragu.

Rupanya bungsuku ingat ceritaku dua tahun yang lalu, ketika kami sekeluarga pulang dari tugas di Malaysia, aku menghubungi kawan-kawan lamaku di kampus ungu, dan ketika aku data nama mereka satu-persatu, terbetik sebuah nama, yaitu "Johnson".

Aku ingat sosok Johnson, tinggi kurus bermata sipit dan selalu serius, ramah dan dia keturunan chinese, tapi sangat baik pada kami. Gang jilbaber angkatan 89, FE trisakti manajemen, karena kami berempat termasuk yang aktif membelikan johnson orange juice demi mendapat pengajaran ‘ekstra class’ bila ada subject matematika dan akunting yang kami kurang faham. Walau dikerjakan berempat dalam waktu dua hari dua malam, tetap saja tidak pernah balance. Dan bila ketemu Johnson, maka "cling" dalam sekejab semuanya jadi balance dan hal ini mebuat kami menganggap, Johnson lebih senior daripada dosen tersenior di kampus kami.

Siang yang panasnya membuat keringatku membasahi jilbab, tidak mengurangi niatku untuk menelpon Windy, kawan aktivitis gereja si johnson, yang notabene kawan sekelasku dulu di kampus.

"Win, hallo Win" setelah berbasa basi dua-tiga jenak, maka straight to the point, aku menanyakan Johnson, "Johnson tinggal di mana win, dia udah jadi orang kaya dong ya, dulu kan sekolah paling pinter, tekun dan jawabannya tidak pernah salah, dia kawin dengan siapa Win, kok aku tidak diundang, ada nomer telponnya, dan sebagainya. Dan jawaban Windy betul-betul membuat aku shock dan terperanjat dua ketuk.

"Johnson sudah meninggal, kamu kagak tahu ya? sudah tiga tahun yang lalu, gara-gara kebanyakan makan indomie," hatiku tercekat dan segera pikiranku melayang ke tempat kost si Johnson, betapa tumpukan kardus indomie berderet-deret, juga kesukaanya melahap indomie terus-menerus, karena menurutnya murah, mengenyangkan, praktis, cepat, tidak menggangu waktunya untuk belajar (karena kawanku si Johnson ini memang tipikal anak yang suka tantangan terhadap pekerjaan hitung-menghitung, semakin sulit suatu soal, dia semakin asyik, sehingga baginya waktu buat masak atau beli makanan menyita waktunya untuk mengerjakan soal-soal akunting atau matematika).

Tapi satu hal yang mungkin terlupa dari si Johnson, bahwa kemampuannya menghitung dengan cepat ternyata tidak dipergunakan untuk menghitung umurnya, sebab dugaan kanker otak akibat mengkosnsumsi indomie yang memiliki kandungan yang akan merusak ternyata malah membuat umurnya tak sepanjang perhitungannya.

Atrikel selanjutnya: Antara Bola & Matematika