Bila Cinta Boleh Memilih

“Kekuranganku memang banyak, tapi tidak separah yang kaubayangkan, Lastri … bisakah engkau berhenti untuk menghujam hatiku dengan kata-katamu yang tajam seperti silet?”

“Seharusnya kamu maklum, tidak ada lelaki yang mau dihina habis-habisan seperti itu, tidak ada. Tidak ada suami yang tahan dihina dan dibentak-bentak setiap hari seperti engkau membentak diriku,” teriak papa geram kepada mama.

Mama membalas, “Mas, aku juga kesal dengan semua yang kamu katakan, sudah lama tak ada lagi cinta dihatiku, sejak kamu mencoba untuk menikah lagi dan membuat hatiku terluka parah, memang apa salahku sehingga engkau mencoba menikah lagi?”

“Coba lihat, perutmu gendut, wajahmu juga sudah mulai tua, ngaca dong Mas, kamu ini sebetulnya mencari apa sih dalam hidup ini, mana gaji kamu juga enggak naik-naik, sudah dua tahun belakangan ini, aku lelah Mas jadi istrimu, lelah, dan aku sudah enggak sanggup lagi menjadi istrimu.”

“Aku capek bekerja, namun kamu enak-enakan kesana-kemari mencari hiburan malam dengan perempuan macam-macam, memang kamu anggap aku ini apa? Ceraikan saja aku Mas,” mama membalas teriakan papa dengan teriakan yang lebih histeris lagi.

“Baik, aku akan segera menceraikan kamu dan Icha serta Iwan akan kubagi dua, Icha ikut kamu, Iwan ikut denganku, besok kukirimkan pengacara untuk mengurus perceraian kita. Dasar isteri durhaka, tidak tahu diuntung,” serang papa marah kepada mama yang kemudian membalas dengan hebatnya.

Pertengkaran seperti ini selalu terjadi, sudah dua tahun sejak papa menjalin hubungan mesra dengan staf papa di apotik keluarga kami. Semula kami heran kenapa papa mau menikah lagi, tapi melihat bahwa staf di apotik papa demikian cantik, muda dan kelihatan cerdas, juga selalu mendampingi papa siang dan malam. Bahkan kecerdasan dan kerajinannya membuat omzet apotik menjadi berlipat ganda dari semula, maka rumah terasa seperti kapal pecah, karena ada saja pertengkaran yang berhembus..

Sejujurnya, bukan hanya mama yang tidak suka dengan rencana pernikahan papa, kami pun, aku dan Iwan sangat benci dengan wanita muda itu, yang menjadi penyebab retaknya kebahagiaan keluarga kami.

“Jadi kamu mau ikut Mama atau Papa, Icha?” sentak mama mengagetkanku dari lamunan tentang keluarga kami yang dulu sempat harmonis sekali dan bahagia.

Diam-diam airmataku berlinang dan membuat napasku sesak, karena tercampur antara isak tangis yang tiba-tiba, serta perasaan sedih yang luar biasa, membayangkan perceraian orang tuaku, sudah di depan mata.

Bila cinta boleh memilih, tentu saja aku memilih untuk ikut dengan mama dan juga papa, dan bila cintaku pada keluarga ini boleh memilih, maka akan kuungkapakan bahwa aku ingin kita kembali seperti biasa, tertawa dan bergembira bersama, dengan kemesraan papa pada mama, senyum ramah dan ciuman hangat mama pada papa, juga dekapan lembut papa pada kami, serta guyonan papa pada Iwan.

Bila cinta boleh memilih, maka aku ingin rencana perceraian mereka hanya mimpi. Dan semua mimpi akan pergi, bila matahari pagi membasahi jendela kamarku pada esok hari.

Namun cinta tidak dapat memutuskan, dan perceraian orang tuaku yang mengerikan itu terus berjalan, dan ketika cinta tidak dapat memutuskan, maka cintaku pada keluargaku tetap tidak dapat memilih, ikut papa atau ikut mama, karena pilihan dariku yaitu ikut mama dan papa tidak ada dalam pilihan pertanyaan yang harus kujawab.

Wahai matahari pagi … apabila cinta boleh memilih, biarlah perceraian itu tidak terjadi, dan aku akan selalu ikut mama dan papa, dan aku akan selalu ikuti apapun kemauan mereka berdua. Sayang … rasa cintaku tak boleh memilih.