Batasan Minimal Lama I’tikaf

 Batasan Minimal Lama I’tikaf

I’tikaf berarti berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Dengan beri’tikaf, seseorang akan konsentrasi melakukan ibadah pada Allah. Dirinya akan lebih banyak mengintrospeksi diri kala bersendirian. Demikianlah salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di akhir-akhir Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.”

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? Berapa lama minimalnya sehingga bisa disebut i’tikaf yang sah?

Perselisihan Para Ulama

Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhah). Imam Al Haramain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf”.

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haramain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arafah. Imam Al Haramain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid”.

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shaidalani dan Imam Al Haramain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (6: 513)[1].

Pendapat Jumhur Ulama

Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhah, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir” (Lihat Al Majmu’ 6: 489).

Alasan jumhur ulama:

I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal i’tikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqamah (berdiam). Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu” (Al Muhalla, 5: 179).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف

“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf”

Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (5: 179). Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

 

“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa” (Al Muhalla, 5: 180).

 

Beberapa Syubhat

Mengenai hadits Ibnu ‘Umar di mana ayahnya (‘Umar bin Al Khattab) berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Aku dahulu pernag bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, ‘Tunaikanlah nadzarmu'” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini” (Al Muhalla, 5: 180).

Dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah:

“Jika ada yang beralasan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf kurang dari sepuluh hari. Ibnu Hazm menjawab, “Iya betul. Namun Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang jika kita melakukan i’tikaf kurang dari itu. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf di selain masjid Nabawi. Seharusnya di selain masjid Nabawi tidak diperkenankan untuk i’tikaf. Rasul pun tidaklah pernah i’tikaf selain Ramadhan dan Syawal. Seharusnya selain dua bulan tersebut dilarang pula beri’tikaf. i’tikaf adalah suatu amalan kebajikan maka janganlah dilarang kecuali dengan nash (dalil) yang tegas yang menunjukkan larangan” (Al Muhalla, 5: 180).

Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula, “Kami katakan bahwa beri’tikaf selama sepuluh hari itu boleh-boleh saja. Namun menyatakan tidak bolehnya beri’tikaf kurang dari sepuluh hari itu butuh dalil. Padahal Allah hanya menyebutkan secara mutlak dalam ayat (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Allah tidak membatasi i’tikaf dalam ayat ini dengan batasan waktu tertentu. Dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak. Dan tidak boleh membuat batasan kecuali dengan dalil” (Al Muhalla, 3: 642).

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (15: 441) berkata, “I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ketaatan pada Allah Ta’ala baik berdiam lama atau sebentar. Karena tidak ada dalil dalam hal ini sejauh yang kuketahui yang menunjukkan batasan waktu minimal baik dalil yang menyatakan sehari, dua hari atau lebih dari itu. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan. Jika seseorang berniatan untuk bernadzar, maka i’tikaf yang dinadzarkan menjadi wajib. I’tikaf itu sama antara laki-laki dan perempuan.”

Kesimpulan Pendapat

Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat)” (Al Inshaf, 6: 17).

Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Dan moga dari penjelasan ini terjawab pula pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Pesantren Darush Shalihin, Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul

Sabtu, 22 Ramadhan 1433 H

[1] Lihat penjelasan Syaikh Kholid Mushlih di sini .

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST.

Artikel Muslim.Or.Id