GAZA dan Benteng Terakhir kita

gaza tonightBaru saja serangan Israel mereda, ketika sejumlah ibu di Gaza berduka karena darah yang tumpah di sana. Darah para balita dan anak-anak mereka.

Perang.

Mungkin terlalu rumit untuk difahami oleh kebanyakan pembaca rubrik ini, rubrik Benteng Terakhir. Rubrik ini dimaksudkan untuk membahas seputar keluarga dan anak.

Namun sudahkah pembaca memahami mengapa BENTENG TERAKHIR? Nama yang dipilih seolah tidak berhubungan dengan topik-topik yang dibahas. Benarkah tidak berhubungan?

Sejak ditegakkannya dakwah Islam oleh Nabi Adam As, keluarga adalah sentral dakwah itu sendiri. Nabi Adam As adalah bapak ummat manusia, ayah kita semua. Nabi-Nabi berikutnya ternyata tetap berdakwah BERSAMA keluarganya dan mereka diabadikan dalam Al Qur’an.

Adalah kisah keluarga Ibrahim As yang melatar-belakangi ritual ibadah Haji ummat Islam sekarang, perjuangan Hajar Ra mencari air untuk putranya di gurun yang kini kota suci Makkah diabadikan dalam ritual Sa’i, dan pelemparan Jumroh merupakan monumen ketaatan dalam kisah keluarga Ibrahim. Dalam agama Islam, para Nabi dan Rasul seluruhnya adalah MUSLIM, artinya : orang-orang yang berserah diri. Nabi terakhir Muhammad Saw telah menegakkan Islam dan menyempurnakannya sampai kepada penjabaran sistem yang paling lengkap, yaitu sistem politik dan kenegaraan. Islam yang dibawa oleh Nabi mulia (Saw) telah disempurnakan Allah SWT sesuai dengan zaman yang berkembang hingga ke dunia modern menjelang Kiamat. Nabi (Saw) kita ini juga berdakwah bersama keluarga beliau Saw.

Sesuai dengan sifat zaman, masa berganti dan zaman berubah. Perlahan-lahan kaum Muslimin dalam mengalami berbagai degradasi moral sehingga hukum-hukum Islam mulai dilanggar. Setelah melalui tigabelas abad, ummat Islam kehilangan simpul kepemimpinan politiknya yang terakhir, yaitu kesultanan Turki Usmani. Meskipun ini sama sekali bukan kepemimpinan yang ideal, namun ummat Islam masih mempunyai satu simpul kepemimpinan. Ummat Islam terpaksa menghadapi realitas baru: terpisah-pisah dalam negara dengan undang-undang yang tidak lagi menyatukan mereka dengan ummat Islam lain di negara yang berbeda.

Benarlah kata-kata Nabi Mulia Muhammad Saw: kalian kelak akan diperebutkan bagaikan hidangan di atas piring, jumlah yang banyak namun tak berdaya bagaikan mangsa. Sebabnya karena kalian (ummat Islam) telah menjadi ummat yang cinta dunia dan takut mati. (HR Abu Dawud).

Itulah kenyataan kita hari ini.

Sebulan terakhir, pembantaian di Gaza hanya dapat kita tonton dari jauh dan kita tangisi tanpa daya selain do’a. Sudah sejak tahun 1948 bangsa Palestina tanahnya dirampas rakyatnya dibantai, ummat Islam tak dapat berbuat banyak. Bahkan kaum Muslimin di depan pintu Gaza tak mampu menolong saudara-saudara mereka karena pemerintah negaranya memiliki agenda politik yang bukan lagi Islami.

Sudah sejak lama ummat Islam perlahan tapi pasti semakin meninggalkan hukum syari’ahnya hingga generasi yang lahir belakangan bahkan tidak kenal lagi berbagai hukum Islam yang ada dalam Al Qur’an maupun Hadits. Keluarga Islam menjadi target perang tanpa tapal batas yaitu Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran/ The Battle of Minds and Hearts).

Bahkan kita dicekoki dengan perang fisik (seperti di Gaza dan Bosnia dulu) dan Ghazwul Fikri.

Inilah problem kita dan ternyata di sinilah benteng yang tersisa, di rumah-rumah kita sendiri, diantara keluarga kita.

Masihkah ada harapan?

Cobalah lihat keluarga-keluarga di Gaza, di tengah teror luar biasa dari negara teror terbesar di dunia, ternyata para ibu di sana bersama dengan seluruh anggota masyarakat tetap berani menghadapi agresi biadab Israel. Bahkan warga Gaza yang sudah berada di luar Gaza malah berinisiatif untuk kembali tanpa takut sedikitpun atas situasi yang memburuk di sana.

Bandingkan dengan penduduk negara teroris tersebut, hanya puluhan orang tewas (dan itupun kebanyakan militer Israel) dalam masa kekejaman mereka yang sudah menewaskan hapir 2000 orang di Gaza. Cobalah lihat pemberitaan bagaimana takutnya mereka terhadap roket dari Gaza (sementara setiap bom Israel menghancurkan satu apartemen dan merusak sejauh ratusan meter dan membuat lobang di tanah sebesar 20 meter). Kita lihat ternyata ketakutan mereka amat besar sampai-sampai banyak yang dibawa ke rumah sakit bukan karena luka tapi karena mental breakdown (gangguan jiwa karena sangat takut).

Ternyata tekanan blokade total hampir puluhan tahun dan tekanan agresi militer Israel  selama 60 tahun lebih telah mendidik keluarga-keluarga di Palestina semuanya seolah bagaikan keluarga pejuang. Mereka tak mudah dikalahkan, bahkan di bawah tekanan bom terus menerus siang malam dengan jumlah korban yang luar biasa, masih ada warga Gaza yang mengelola Blog-blognya dari dalam Gaza. Banyak sekali yang ketika diwawancara menunjukkan kepasrahan kepada Allah yang sangat kuat.

Lain halnya dengan kita di sini. Keluarga-keluarga Indonesia kebanyakan tidak sadar bahwa sejumlah komoditi yang kita beli sehari-hari merupakan peluru-peluru yang membunuh saudara-saudara kita di Gaza. Bukan hanya komoditi-komoditi tersebut menyumbang untuk mesin-mesin pembunuh Israel, namun pada kenyataannya sebagian komoditi tersebut juga membahayakan akidah dan akhlak kita sebagai muslim. Komoditi-komoditi tersebut misalnya industri musik, mode, film, makanan siap saji yang tak berguna (junkfood), game-game komputer dan masih banyak lagi.

Perang di sana masih panjang dan masih berdarah, sedangkan perang di sini masih berlangsung. Perang di rumah-rumah kita, ketika kita menyalakan tv untuk anak kita, ketika membiarkan anak-anak kita mengikuti gaya hidup dan pikiran mereka, ketika kita membiarkan mereka secara perlahan tapi pasti mengganti agama kita….Itulah perang kita hari ini, bukan perang seperti di Gaza, tapi awal dari nasib kita yang akan seperti makanan yang diperebutkan dalam piring hidangan orang kafir, jika kita biarkan ini semua terus berlangsung. Jagalah benteng kita, Benteng Terakhir.