Lebaran

Ramadhan sudah hampir pergi meninggalkan kita. Alangkah sedihnya. Akan pergi suasana penuh ibadah dan lantunan tilawah di mana-mana. Akan pergi suasana siang hari tenang karena muslim tak memikirkan makan. Akan pergi kesemarakan ibadah malam di masjid-masjid dengan bacaan Qur’an yang banyak baik. Akan pergi jugakah ketawadhu’an muslim dan keringanannya berinfaq dan shodaqoh? Wallahu’alam.

Tapi yang pasti, Ramadhan akan segera pergi. Bulan penuh bonus pahala dari Allah SWT akan berakhir. Di hari-hari terakhirnya, Allah memberikan Mega Bonus bagi para ahli ibadah. Mereka yang beruntung akan mendapatkan pahala ibadah yang bahkan lebih besar dari usia kita, yaitu 1000bulan (kira-kira 83th). Ya, Mega Bonus itu dianjurkan untuk dicari di akhir Ramadhan.

Akhir Ramadhan. Apa yang terjadi di hari-hari terakhir Ramadhan? Kepolisian biasa menyebutkan istilah H-10, H-9, H-8 dst. Hari H yang dimaksud adalah Iedul Fitrinya, angka dibelakang min (-) adalah jumlah hari sebelum Ied. Itulah hari-hari terakhir Ramadhan, hari-hari penting untuk mengejar Mega Bonus dari Allah SWT.

Ada beberapa fenomena miris di hari-hari seperti ini, setiap tahun:

1. Menjelang Ied, orang berbondong-bondong membeli berbagai barang konsumsi khas untuk Ied, misalnya busana baru, bahan makanan untuk penganan Lebaran, sampai kadang perabot furniture baru. Tradisi ini menyebabkan membludaknya konsumsi menjelang Labaran. Konon setiap tahun tradisi ini memicu angka inflasi tertentu.

Tradisi ini juga menyebabkan perusahan-perusahan dan kantor pemerintahan harus memberi gaji ekstra untuk pegawainya. Dikenal dengan istilah THR (Tunjangan Hari Raya). Pola tradisi konsumtif ini amat disayangkan, sebab sangat jauh dari semangat Ramadhan itu sendiri. Bukankah kita disuruh puasa agar berperilaku prihatin? Memang ada berbagai santunan kepada dhuafa termasuk acara Baksos (bakti sosial) berbagai kelompok masyarakat maupun perorangan yang memberikan sembako dan santunan kepada oarang miskin, namun justru segala santunan tersebut kadang seperti mengajarkan kaum dhuafa untuk ikut-ikutan konsumtif. Termasuk pemberian THR di akhir Ramadhan, adalah mengajarkan para pegawai atau orang gajian untuk berperilaku konsumtif.

Betapa tidak, jika gaji ekstra tersebut diberikan justru di musim terjadinya demam belanja yang luar-biasa, maka siapapun yang pada hari-hari tersebut memegang sedikit saja uang lebih, seperti terdorong untuk ikut-ikutan beli baju baru, selop baru dsb. Tidak heran jika di hari-hari seperti hari ini, kemacetan luar-biasa terjadi di sekitar tempat perbelanjaan. Di pasar-pasar dan Mal-mal, manusia penuh sesak, sampai malam.

Tidak heran jika di hari-hari terakhir Ramadhan biasanya masjid-masjid sudah mulai sepi dari yang shalat Tarawih. Jika ada sebagian ummat Islam yang memilih melakukan ’itikaf di masjid-masjid dan bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah, maka sebagian yang lebih besar justru memilih ”itikaf di mal” dan melakukan ”taqarrub kepada dunia”. Miris, di hari-hari Allah menjanjikan Mega Bonus yang lebih besar dari nilai usia rata-rata kita, sebagian kaum muslimin justru memilih mengejar diskon toko yang tidak jarang penuh tipuan. Yah begitulah, di bulan penuh berkah ini boleh jadi setan memang sudah terikat, namun tampaknya sebagian setan berwujud manusia masih berjaya mengajak kaum muslimin menyia-nyiakan waktunya mengejar dunia.

2. Ada lagi tradisi lain di negeri ini yang dimotori oleh orang Jawa, yaitu tradisi mudik. Pulang kampung khusus di hari raya Ied Fitri atau populer disebut Lebaran. Mudik dilakukan secara massal di hari-hari terakhir Ramadhan. Para pemudik semua berharap dapat berkumpul dengan sanak keluarga di kampung pada hari Raya Ied, oleh karena itu mereka melakukan perjalanan ke kampung di hari-hari terakhir Ramadhan.

Seperti ada kata HARUS, disitu. Seolah mudik merupakan kewajiban syari’at bagi sebagian orang, yang jika tidak mudik sama juga percuma sebulan berpuasa. Apakah benar HARUS? Apakah ada keharusan dari syari’at Islam agar ummatnya berkumpul dengan seluruh handai tolannya di kampung asal khusus pada hari raya Ied? Silaturahim itu baik, tapi apakah harus hanya pada hari raya Ied?

Bukankah ada banyak pilihan hari lain sepanjang tahun jika ingin bersilaturahim. Apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini, kapan saja kita sudah dapat bertelepon dengan saudara di tempat jauh. Mudik sebenarnya baik, jika tidak dipaksa-paksakan. Segala sesuatu yang dipaksakan pasti berujung kesusahan, dan selanjutnya mendatangkan mudharat sampai kepada dosa. Sebagian pemudik meninggalkan puasa dan shalat tepat waktu karena kesulitan perjalanan mereka. Macet berjam-jam menyebabkan para pemudik terpaksa shalat ala kadarnya, kapan saja bertemu tempat yang mungkin shalat, meskipun kadang itu berarti sudah lewat waktu.

Belum lagi karena kesulitan perjalanan maka para pemudik terpaksa membatalkan puasanya. Jangan tanyakan kemungkin shalat tarawih, sama sekali tak mungkin. Lewatlah sudah kesempatan meraih Mega Bonus Lailatul Qadar karena sudah lelah dalam perjalanan menyebabkan para pemudik menurunkan standar ibadahnya, bukan malah meningkatkan.

3. Tradisi lain adalah tradisi berlomba-lomba menyediakan kemewahan penganan Labaran. Berbagai macam kue kering maupun basah, berupa-rupa makanan lauk komplit dan berjenis-jenis minuman, seolah merupakan kewajiban setiap rumah untuk memastikan semua itu ada di rumahnya dalam rangka menyambut tamu. Di hari Iednya sendiri, para tamu dipastikan kekenyangan. Bahkan beberapa hari setelah itu.

Dalam rangka menyiapan segala kemewahan tersebut, sejumlah ibu rumahtangga sibuk memasak di hari-hari terakhir Ramadhan. Dimulai dengan program belanja bahan mentah, kemudian menyiapkan bahan, sampai memasaknya, semua membutuhkan waktu lebih dari sehari. Dan itu di hari-hari terakhir, di hari-hari menjelang perpisahan kita dengan Ramadhan sang penuh berkah. Di hari-hari yang seharusnya kita mengejar Mega Bonus dari Allah SWT.

Wahai kaum ibu, di saat para bapak asyik masyuk dengan Allah di masjid-masjid ber-’itikaf, mengapa kalian bersibuk-sibuk keluar masuk mal berbelanja, atau sibuk di dapur dengan pikiran penuh keinginan untuk menampilkan kemewahan sajian? Apakah itu semua akan ditanyakan Allah SWT saat kita berdiri dihadapanNya di akhirat kelak? Jika kita menampilkan kesederhanaan di hari yang (seharusnya) fitri itu, apakah kita menjadi sosok yang hina? Apakah para tetamu kita akan mencela kita karena itu?

Jika ya, maka biarkanlah, celaan orang seperti itu tak perlu dipedulikan, sebab yang seharusnya kita khawatirkan adalah jika (Na’udzubillah) Allah SWT Menghinakan kita karena terus menerus mengejar dunia. Wallahua’alam. (SAN 22092008)