Nyontek Massal dan Paradigma Pendidikan

Nyontek massal saat UAN? Hah?!

Ternyata banyak juga yang terperangah mendengar berita tersebut.

Kaget sebab karena sebuah realita yang sudah puluhan tahun diketahui ada dalam dunia pendidikan kini dilakukan secara massal.

Dunia memang sudah semakin sarat dengan kegelapan. Apa yang beberapa puluh tahun lalu merupakan sebuah perbuatan ”tidak baik” kini dengan 1001 alasan bahkan dilakukan secara massal dan –menurut pihak-pihak yang memberi laporan- diprakarsai oleh pihak pendidik sendiri.

Keadaan saat ini diperparah dengan fenomena kemerosotan moral masyarakat itu sendiri. Akibat terlalu mementingkan ijazah (yang dengan sendirinya sudah memunculkan fenomena pemalsuan ijazah), para orantua dan pendidik formal dengan teganya melupakan tujuan mulia pendidikan, yaitu: mengangkat harkat anak didik dengan bertambahnya wawasan kecerdasannya. Bagaimana mungkin mengangkat harkat anak didik jika ”kemuliaan” itu diterjemahkan dengan sederet angka mati tanpa pembuktian sikap bahkan angka tersebut boleh dicapai dengan curang.

Kenapa ijazah penting? Jawabannya karena ijazah akan dapat mengantar pada gengsi dan pada kesempatan mendapat pekerjaan yang bergaji lebih tinggi.

Gaji berarti: lagi-lagi ”ILAH” yang bernama materi.

Sistem Dajjal saat ini memang bertuhankan materi. Apapun yang dilakukan manusia saat ini akan dinilai ”tinggi” oleh sistem ini jika menghasilkan materi lebih besar.

Kedudukan yang tinggi karena memegang ijazah yang bernilai tinggi, pada gilirannya menghasilkan gaji tinggi. Ketika sudah sampai di kedudukan tinggi tersebut, tak heran jika korupsi jadi fenomena. Sebab setelah mereka sampai di sana ternyata mendapati bahwa bawahan mereka lebih kaya dari dirinya karena lebih pandai korupsi, maka hati siapa yang tahan uji?

UAN. Kami pernah menyoroti fenomena absurditas UAN ini dalam tulisan yang berjudul ”Mencari Sukses Pendidikan bagian 2”https://www.eramuslim.com/syariah/benteng-terakhir/mencari-sukses-pendidikan-bagian-2.htm

Program ujian yang diseragamkan yang bernama UAN ini telah menimbulkan rentetan dampak , antara lain:

– Timbulnya ambisi sampai obsesi anak, orangtua maupun guru yang berlebihan agar nilai anak didik setinggi mungkin,

– Timbulnya berbagai praktek kecurangan baik oleh pihak sekolah/wilayah sekolah tersebut agar mendongkrak nilai akreditasi sekolah atau wilayahnya,

– Munculnya berbagai fenomena stress anak, stress guru bahkan stress orangtua murid menjelang dan sesudah UAN berlangsung karena tingginya angka ketidak lulusan tahun-tahun sebelumnya dan karena sebagian guru dan murid sadar bahwa target kurikulum tidak tercapai.

– Anak didik akhirnya digenjot soal-jawab belaka agar mempercepat transfer kurikulum padahal dengan cara ini pemahaman yang sebenarnya tidak terjadi. Anak hanya hafal soal.

– Dsb

UAN yang semula dimaksudkan sebagai alat tera seberapa jauh tiap siswa, tiap sekolah dan tiap wilayah dalam pelaksanaan dan penyerapan materi kurikulum telah menjadi momok yang menimbulkan berbagai penyakit-penyakit kronis dan akut yang semakin parah tersebut. Itu berarti transfer ilmu tidak terjadi secara utuh yang berarti juga bahwa anak tidak mendapatkan pemahaman yang benar.

Inilah program-program dengan hanya melihat target tanpa evaluasi memadai tentang kualitas hasil pendidikan.

Sejak dahulu, sejak sistem rapor diberlakukan, fenomena nyontek selalu ada. Meskipun tidak selalu menjadi ”trend” bagi murid, namun keinginan untuk berlaku curang karena sistem penilaian kuntitatif yang kering pertimbangan.

Jika murid mengetahui bahwa penilaian ”baik” atau ”buruk” dirinya, atau ”pandai” atau bodoh”nya hanya disandarkan pada sederet angka-angka di rapor, maka demi meraih angka tinggi mereka melihat peluang curang ini. Sebab angka-angka di rapor tersebut pada dasarnya sebagian besar disandarkan pada momen-momen sesaat semisal ulangan dan ulangan umum maupun ujian. Selain itu, karena terbatasnya topik yang diuji, sangat mungkin hasil yang didapat menjadi semakin bias. Rangking atau peringkat dalam kelas yang disandarkan pada angka rapor malah semakin memperparah bias-bias tersebut. Sebab peringkat tersebut diurut berdasarkan angka-angka perolehan teman sekelas. Jika (maaf) kelas tersebut adalah kumpulan anak malas dan bodoh maka rangking satu-nya adalah yang tertinggi dari anak-anak seperti itu. Sementara rangking 20 dari kelas anak rajin dan pandai belum tentu lebih jelek dari anak rangking satu tadi. Kata orang: ”di negeri si buta, maka si mata satu jadi raja”.

Sistem ini sebenarnya gagal menampilkan keadaan anak yang sebenarnya. Apakah ia cerdas atau bodoh, aapakah ia anak baik atau anak yang belum baik, sistem penilaian dengan angka rapor hanyalah mampu meraba-raba potensi dan keadaan anak. Dengan kata lain, sistem ini tidak mampu mengukur hasil program pendidikan yang dijalankan sebelumnya.

Fenomena nyontek massal ini sebenarnya juga membawa gejala baru yang lebih mengkhawatirkan, yaitu keberpihakan masyarakat terhadap tindakan yang salah tersebut. Keberpihakan masyarakat kali ini bukan hanya ditunjukkan dengan diam tanda setuju, namun lebih jauh hingga dengan terang-terangan dan beramai-ramai memusuhi bahkan mengusir orang yang mengadukan persoalan ini agar ditindak-lanjuti oleh pihak yang berwajib. Ini artinya masyarakat telah dengan beramai-ramai dan sadar memilih berpihak kepada kecurangan, bahkan rela menzhalimi orang yang berusaha menegakan kebenaran.

Kami khawatir keberpihakan masyarakat kepada kesalahan merupakan tanda semakin jauhnya masyarakat dari petunjuk Allah SWT. Dan jika benar ini keadaannya, maka kita boleh semakin khawatir Allah akan Menjadi Murka kepada kita yang tinggal di lingkungan seperti itu. Semoga Allah Melindungi kita dari bencana dan azab, dan semoga Allah Mengampuni kita dan Menyelamatkan kita. Amin.

Padahal Petunjuk Allah tentang apa itu ”sukses” sudah sangat jelas:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿﴾

“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185

Inilah ”sukses” atau dalam ayat ini di-istilahkan dengan ”faqad faaz” (diterjemahkan dengan ”sungguh ia telah beruntung”).

Kesuksesan abadi ini bukan kesuksesan semu, bukan pula kesuksesan fana, bukan pula kesuksesan kecil. Sebab Syurga yang menjadi hadiahnya adalah sebaik-baiknya balasan dari Allah SWT. Hadiah ini tak bisa dikalahkan nilainya oleh apapun dan dari siapapun selain Allah. Allah adalah Sebaik-baik Pemberi Balasan.

Jika kesuksesan ini yang menjadi ambisi para orangtua, pendidik formal maupun anak didik, maka niscaya fenomena nyontek massal tak akan terjadi. Bahkan nyontek sekecil apapun tak sudi dilakukan anak didik sebab ia faham Allah Maha Mengawasi. Dan ia tidak perlu menjadi stress karena khawatir tidak lulus sebab ia tetap menghargai dirinya dan kecerdasan dirinya sendiri tanpa perlu mendapatkan angka-angka penilaian semu dari manusia. Karena anak didik yang dididik dengan ambisi Syurganya Allah hanya akan khawatir jika Allah tidak menilainya baik. Ia sadar manusia sangat sering salah dan kurang atau berlebihan dalam menilai manusia lain. Sedangkan Allah Maha Mengetahui bahkan apa yang ada di dalam hati.

Selebihnya bahkan anak didik yang percaya sepenuhnya dengan Kekuasaan Allah akan senantiasa berdoa memohon pertolongan Allah dalam usahanya menuntut ilmu.

Orangtua yang berambisi anaknya sukses dengan kesuksesan abadi tak akan memandang dengan pandangan picik dan sempit sekedar penilaian rapor atau ijazah. Ia akan mendidik anaknya untuk terus menuntut ilmu yang bermanfaat, tanpa peduli apa penilaian manusia. Orangtua yang demikian juga akan terus memotivasi anaknya agar selalu berlaku jujur karena jujur akan membuka jalan bagi petunjuk Allah SWT.

Guru yang menyadari ambisi kesuksesan abadi juga akan menunjukkan sikap yang tepat. Ia akan membagi ilmunya kepada anak didik tanpa pelit dan tanpa pamrih. Ia bukan hanya mengajarkan ilmu tapi juga akan memastikan anak didik dapat memahami ilmu itu dan memanfaatkannya dengan benar. Guru yang demikian tak akan menganjurkan kecurangan sedikitpun kepada anak didik. Bahkan sebaliknya, ia akan mengajarkan akhlaq mulia kepada anak didik dan mendidik mereka agar hanya takut kepada Dzat satu-satunya yang layak ditakuti yaitu Allah. Juga akan menddidik anak-anak didiknya agar menggantungkan harapan hanya kepada Satu-satunya Pihak Yang Paling layak menjadi Tempat Bergantung, yaitu Allah. Guru yang demikian baik ini tak akan mengajarkan kepada anak didiknya agar bergantung pada contekan atau bahkan Diknas.

Keprihatinan kita masih akan panjang lagi ke masa-masa yang akan datang. Sebab membongkar paradigma sukses yang sesat dan menggantikannya dengan paradigma yang benar bukanlah urusan mudah.

Dunia yang sudah sedemikian materialis-nya, sangat sarat dengan iming-iming duniawi yang fana. Bayangan kenikmatan dunia yang segera akan didapat jika seseorang berhasil meraih ijazah yang ”menjual” di pasar tenaga kerja, sungguh dirasa sangat penting bagi para orangtua yang ingin segera lepas tanggung-jawab dalam menafkahi anak-anaknya. Bahkan sebagian orangtua yang demikian sudah berhitung bahwa kelak di hari tua ia tinggal duduk ongkang-ongkang kaki sementara anak-anaknya membayar upeti tinggi pada orangtuanya sebagai ganti balas jasa.

Memang ini persoalan paradigma, dan karenanya ini harus menjadi salah satu fokus dakwah para da’i. Wallahua’alam.