Inikah Akhir Perjalanan Pemimpin?

Eramuslim.com – Ia duduk sendirian di beranda belakang. Wajahnya nampak letih. Matanya memandang jauh ke lembah. Lampu-lampu yang temaram dikejauhan begitu indah. Angin berdesir dari arah bukit. Terasa sangat sejuk. Mendung menggelayut. Perlahan-lahan air hujan jatuh. Suaranya menghentakkan hati. Malam semakin larut. Tapi, ia tak dapat pergi tidur. Hatinya selalu gundah. Ia terus merenungi dirinya. Merenungi perjalanan hidupnya. Ia telah mengarungi kehidupan yang panjang.

Di tempat duduknya diberanda belakang, ia tak dapat menghilangkan kerisauannya. Ia terus diliputi kegundahan, yang tak putus-putus. Padahal ia sangat menikmati kehidupannya. Apa yang ia inginkan didapatkannya. Ia dulunya tak pernah membayangkan. Dan, sekarang segalanya menjadi keniscayaan. Segala apa yang menjadi cita-cita manusia terwujud. Segala bentuk kenikmatan duniawi dapat dinikmatinya. Rumah, mobil, dan tempat tinggal yang indah, diatas bukit, semuanya telah dinikmatinya. Namun, hari-hari yang dilalui semakin menyiksa, dan ia menyadari dirinya semakin tua. Sementara itu, orang-orang yang dulu selalu menghormatinya, satu-satu surut, pergi, dan meninggalkan serta tak pernah menemuinya lagi. Ia mendesah : “Akankah berakhir kehidupan ini”, keluhnya.

Lalu, dalam kerisauannya itu, tiba-tiba air matanya menitik. Wajahnya mengarah ke kejauhan. Di luar hujan mulai reda, angin malam terus berembus, dan dinginnya malam lebih menusuk. Suasananya sangat hening. Namun, tetap saja ia tak ingin meninggalkan beranda dibelakang. Hatinya terus berkecamuk. Dialog antara bathin dan pikirannya tak henti. Ia harus menentukan pilihan hidup. Ia harus memutuskan tujuan akhir dari hidupnya. Apakah ia terus mengikuti ambisi dan angan-angan pribadinya? Atau memilih surut dan mempersiapkan dirinya bagi kehidupan baru, yang pasti bakal dialaminya, yaitu kematian. Ia memahami semua filosofi kehidupan. Ia memahami bahwa kehidupannya pasti berakhir. Ambisi dan angan-angannya pasti akan pupus dan sirna oleh waktu. Ia memahami semua atribut duniawi, yang disematkan oleh orang-orang yang mengagungkannya, pasti tak berguna, dan pasti akan meninggalkannya, ketika nanti kematian datang. Namun, ia tak mampu mengurai lingkarannya yang membelenggu, angan-angan dan bayangan-bayangan kenikmatan duniawi, yang terus mengejarnya.

Menjelang dini hari, sayup-sayup terdengar suara-suara binatang kecil, bagaikan alunan musik yang alami, yang menambah hatinya sedih. Ia berdiri. Sambil merenung. Berusaha meninggalkan beranda belakang dengan tetap bathin dan pikirannya berkecamuk. Dibenaknya ingat kembali untaian kisah, yang pernah ia dapatkan ketika masih kuliah. Kisah yang menggambarkan kehidupan. Kehidupan yang sebenarnya. Bukan artifisial. Kehidupan orang-orang yang memiliki tujuan hidup. Kehidupan orang-orang tak pernah terganggu dengan kehidupan duniawi. Kehidupan orang-orang yang memililh kebahagiaan sejati. Kehidupan orang-orang yang memilih jalan hidup yang bersih. Bersih dari segala kotoran dunia. Perlahan hatinya mencair. Sambil berjalan menuju kamar tidur, ia mengingat kembali kisah-kisah mereka, yang dulu, ketika masih kuliah menjadi kesukaannya.

Di tempat tidur ia tak terus dapat memejamkan matanya. Matanya menerawang. Sementara itu, ia tak berani membangunkan istrinya, yang sudah lelap. Menjelang pagi. Sambil duduk ia mengingat kembali kisah-kisah yang lama, dan diambilnya sebuah buku, yang dulu menjadi kesukaannya. Dibacanya kembali. Kisah-kisah lama, yang telah ditinggalkannya.

Diletakkannya, buku itu, dan ia mengambil mus’af al-Qur’an, dan lamat-lamat, ia membacanya. Sampai pada surah al-Mu’minun : “Mereka berkata, ‘Apakah betul, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?”. Seketika, air matanya meleleh, dan membasahi pipinya. “Adakah kematian akan datang?”, gumamnya dengan lirih.

Ingat. Kisah al-Mahdi, Khalifah Dinasti Abbasiyah, ketika kematian menjemputnya, dan ia dikebumikan, anggarannya, seperti yang disebutkan oleh adz-Dzahabi, sebesar 300.000.000 dinar. Al-Mahdi meninggal hanya gara-gara, ia minum air dingin, dan tersedak, yang mengakibatkan kematiannya. Maka, Abu Atahiyah berkata, ketika mengiringi jenazahnya: “Hei orang yang malang, tangisilah dirimu bila kamu menangis. Sungguh, sekalipun diberi umur seusia Nuh, kamu tetap mati”.

Harun ar-Rasyid, menggantikan al-Mahdi. Ia membangun istananya di ar-Raqah. Sebuah istana baru yang amat indah. Dan, belum ada bandingan. Istana baru itu, lengkap dengan tirai, taman-taman, kebun bunga, dan dialirinya istana dengan air yang jernih. Harun al-Rasyid memanggil Abu Atahiyah, dan kemudian ia berkata kepada Khalifah Harun ar-Rasyid :
“Hiduplah sesukamu dalam keadaan sehat,
dibawah naungan istana-istana yang megah”,
“lanjutkan”, perintah Harun ar-Rasyid.
“Segala keinginanmu terpenuhi,
diwaktu pagi maupun petang”,
“Lanjutkan”, sahut Harun ar-Rasyid.
“Apabila nafasmu sudah tersengal,
Saat itulah kamu tahu dengan pasti,
bahwa dahulu kamu tidak lain hanya terpedaya”.

Mendengar bait-bait syair dari Abu Atahiyah, tak lama Khalifah Harun ar-Rasyid, akhirnya menanggalkan semua tirai, turun dari istana, dan tinggal di Bagdad. Istananya, tak pernah ia sentuh lagi, hingga wafat.

Lelaki tua itu, di saat menjelang subuh, sudah tak tertahankan lagi kantuknya, badan dan matanya, tak mampu lagi digerakkannya, lelah, dan ia tertidur. Dan sebelum tertidur, ia menyadari dirinya belum ada artinya apa-apa dibandingkan dengan al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid. Ambisinya dan angan-angannya tentang dunia, ia pupus, dan ia lupakan. Wallahu ‘alam.