Masihkah Percaya Akhirat?

Mengapa manusia menyimpang dari agamanya? Mengapa manusia berbuat dosa dan ma’siat? Mengapa manusia menjadi lupa, sombong, angkuh, melampui batas dan durhaka terhadap Rabbnya? Mengapa manusia terperdaya, serta hanya mengikuti hawa nafsurnya? Tidakkah cukup semua peristiwa di alam semesta ini menjadi pelajaran?

Tidakkah orang-orang Islam menyakini yaumul jaza’ (hari pembalasan)? Tidakkah orang-orang Islam menyakini janji dari Rabbnya tentang adanya surga dan neraka? Masihkah orang-orang Islam menyakini adanya hari akhirat? Karena, kenyataannya banyak di antara mereka yang terkena penyakit ‘wahn’, yaitu hubbudunnya wa karohiyatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Surga dan neraka tidak dapat divisualisasikan dengan nyata. Tidak nampak. Tidak konkrit. Tidak dapat dirasakan secara indera. Kehidupan di akhirat, adanya surga dan neraka, hanya dapat diyakini. Di sinilah manusia yang telah beriman dan mengucapkan dua kalimah syahadat – asyhadu alla ilaaha illaLlah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah – akan diuji kebenaran pernyataannya itu. Apakah ia tulus dengan pilihan hidupanya menjadi muslim, atau pernyataannya itu, tidak mempunyai arti apa-apa dalam kehidupan.

Rasulullah Saw seringkali berbicara tentang kehidupan akhirat, dan surga. Dan, yang dimaksud oleh Rasulullah Saw, adalah keridhaan Allah Ta’ala. Sebagian di antara orang-orang yang pernah bertemu dengan beliau meminta kekuasaan. Tapi, Rasulullah Saw bersabda: “Surga”. Orang-orang yang datang di antaranya adalah para sahabat bertanya: “Wahai Rasul apa yang ingin kami lakukan?”. “Kalian jual diri kalian kepada Allah”, jawab Rasulullah Saw. “Lalu apa yang akan kami dapat?”, tanya mereka. “Surga”, jawa Rasul Saw.

Rasulullah Saw tidak menjanjikan kepada mereka istana yang megah, emas, perak, atau kedudukan, tapi semata-mata hanya menjanjikan surga. Karena itu, orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan Rasul, memiliki kekuatan, yang bersumber dari keyakinan, yang tak ada batasnya. Keyakinan yang mutlak dari mereka itu, yang membuat hidup mereka lebih bermakna, baik di mata manusia, atau di sisi Rabbnya. Maka, mereka memiliki kesanggupan yang sangat luar biasa. Mereka sanggup ditempa terik matahari, panasnya gurun pasir, berjalan ribuan kilometer, dan hanya menggunakan onta, sebagai wasilah, yang mereka tumpangi. Mereka sanggup menghadapi kelaparan, dan dahaga, yang mencekik, tapi mereka tak pernah menyerah. Mereka menghadapi siksaan, yang amat kejam, tak sedikit mereka yang gugur, akibat siksaan itu. Mereka dipenjara, diusir, dicerai-beraikan, dan bahkan ada di antara mereka ada yang cacad seumur hidup. Di antara mereka ada pula yang mengorbankan dirinya (nyawanya), dan dengan penuh kegembiraan, tanpa ada rasa takut. Mereka hanya membayangkan janji dari Rabbnya, yaitu surga.

Imam Bukhari dalam shahihnya, bahwa Ali ra pernah berkata: “Dunia pergi menjauh, dan akhirat mendekat. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan menjadi budak-budak dunia”. Ali bin Abi Thalib adalah guru bagi orang-orang yang mencintai akhirat. Dalam riwayat yang shahih, suatu malam Ali ra mengelus-ngelus janggutnya, sambil menangis, “Wahai dunia, wahai yang hina, kujatuhkan talak tiga kepadamu tanpa rujuk lagi”, gumam Ali ra.

Abdullah bin Hudzaifah, ketika menjadi tawanan, dibawa menghadap Raja Persia. Sang Raja berkata kepada Hudzaifah: “Hai Abdullah bin Hudzaifah! Apakah kamu besedia keluar dari agama Muhammad dengan imbalan kuberi separuh kerajaanku?”. “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sekedip matapun aku tidak akan mundur dari agama Muhammad walau engkau memberiku seluruh kerajaanmu dan kerajaan bapak dan kakekmu!?

Mereka lebih mencintai kehidupan akhirat, dibandingkan dengan kelezatan dan kenikmatan kehidupan dunia, yang pasti akan sirna. Wallahu ‘alam.