Menanggung Cobaan Berat

Begitu rindu. Rasanya ingin segera menjumpainya. Rindu dengan orang yang sangat dicintai. Perjalanan panjang ditempuhnya. Tak mempedulikan badai gurun. Tak peduli sengatan terik matahari yang membakar. Dahaga tak tertanggung. Perlahan-lahan ia terus menjejaki perjalanan dengan onta. Sampai menjelang tujuan. Langit sudah mulai temaram. Menjelang malam. Ia ingin segera berjumpa dengan sang kekasih Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam.

Justru sampai di kota suci Madinah keinginannya pupus. Dadanya sesak. Nafasnya seakan berhenti. Di masjid Nabawi ia terduduk lesu. Sedih. Tak terperikan. Rona wajahnya pucat. Karena perasaannya yang bercampur dengan sedih. Perjalanan panjang yang telah ditempuhnya, bagaikan sebuah kisah yang sia-sia. Ia menjadi pasrah. Ketika sampai di Madinah mendengar kabar Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam wafat. Orang yang ia cintai wafat. Seakan ia tak percaya. Di masjid Nabawi ia bermunajat. Do’a-do’a panjang ia ucapkan. “Ya Rabb. Semoga kepergian Baginda Rasullullah shallallahu alaihi wa salam, tak menggoyahkan imanku”, pintanya.

Bukan hanya ia yang tak percaya Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam wafat, juga Umar Ibn Khaththab tak percaya. “Siapa yang mengatakan Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam wafat akan berhadapan denganku”, tegas Umar. Sampai datang sahabat Abu Bakar yang mengingatkan Umar: “Barangsiapa yang beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya ia telah meninggal. Dan, barangsiapa yang beribadah kepada Allah, maka Allah hidup selama-lamanya”, kata Abu Bakar. Itulah ucapan yang mengakhiri berbagai kegalauan dilingkungan kaum muslimin.

Tak sedikit yang murtad. Tak sedikit yang menjadi ingkar. Meninggalkan agama Islam. Mereka terlalu mencintai Baginda Rasululllah shallallahu alaihi wa salam. Betapa. Kehidupan yang penuh dengan tipu daya. Orang-orang yang dulunya menerima Islam, meninggalkan Islam. Karena mereka ‘beriman’ dan ‘beribadah’ kepada manusia. Bukan yang menciptakan manusia. Dua pertiga penduduk jazirah Arab murtad, ketika Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam wafat. Khalifah Abu Bakar As-Shidiq, yang menggantikan Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam, pertama yang dilakukan adalah memerangi orang-orang yang murtad. Mereka yang memusuh Islam, ketika Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam wafat. Orang-orang yang murtad itu harus dipunahkan. Mereka akan menjadi bibit penyakit yang merusak. Merusak aqidah. Merusak ikatan aqidah dan iman umat. Mereka akan menjadi musuh-musuh, yang memerangi barisan Islam. Langkah Abu Bakar ra memerangi orang-orang yang murtad adalah sebuah keniscayaan.

Orang yang menempuh perjalanan panjang dari Syam, ke Madinah, tak lain adalah Abu Muslim Abdullah bin Tsaub al-Khaulani ad-Darani rahimahullah.Ia seorang mu’min yang mukhlis. Ia seorang imam yang berilmu dan zuhud. Ia menempuh perjalanan panjang ingin berjumpa dengan Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam untuk mendampinginya. Ia ingin belajar adab-adab dari Rasulullah. Segala kesulitan ia lewati. Demi memenuhi keinginannya bertemu dengan Nabi shallallahu alaihi wa salam. Kehidupan Nabi yang mulia menjadi tujuannya. Niat itu tak terwujud. Karena, Baginda Rasululllah shallallahu alaihi wa salam wafat.

Abu Muslim mendapat cobaan lebih berat. Ada orang yang mengaku nabi. Mengaku sebagai pemimpin umat. Mengaku orang yang menerima wahyu. Laki-laki yang mengaku nabi adalah Aswad al-Anasi. Aswad benar-benar menjadi bencana bagi orang-orang yang beriman.Aswad tidak membiarkan orang-orang yang tidak mau mengakuinya sebagai nabi. Maka, Aswad memanggil Abu Muslim, agar imam yang mukhlis itu menghadapnya. Aswad lupa dan tidak mengira bahwamasih ada mereka yang beriman yang tidak mengakui ada Nabi selain Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Imam yang jujur itu, Abu Muslim, memberikan pelajaran yang berharga kepada Aswad. Memolak Aswad permintaannya sebagai nabi.

“Apakah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya Muahmmad adalah Rasulullah?”, tanya Aswad, yang mengadili Abu Muslim. “Ya”, jawab Abu Muslim. “Kalau begitu, engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”, tanya Aswad. Dengan nada mengejek Abu Muslim menjawab: “Aku tidak mendengar”, jawabnya. Aswad mengulangi lagi pertanyaannya: “Apakah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?”, tanyanya. “Ya”, jawab Abu Muslim. “Kalau begitu, engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”, tanyanya lagi. Abu Muslim kembali menjawab dengan nada yang mengejek: “Aku tidak mendengar”, tandasnya. Aswad marah. Memerintahkan orang-orangnya mengumpulkan kayu bakar, dan membakar. Di tengah kobaran api yang menyala-nyala itu, dilemparkan Abu Muslim ke dalam kobaran api. Keanehan terjadi. Abu Muslim badannya tak tersentuh oleh api. Aswad terbelalak. Tak percaya melihat kejadian itu. Ini karomah yang membuat orang-orang disekelilingnya bingung.

Suatu ketika Abu Muslim bersama dengan Abu Bakar, dan duduk di tengah-tengah mereka dan berkata: “Segenap puji hanya Allah yang belum mematikan aku, sehingga aku sempat menyaksikan seseorang umat Rasulullah shallallahu alaihi wa salam yang mengalami seperti yang dialami oleh Ibrahim khalilullah alaihi wa salam”. Karamah yang dimiliki Abu Muslim mirip dengan Nabi Ibrahim.

Abu Muslim tak mau bergaul dengan para pencari dan pencinta dunia. Bila ia duduk dengan seseorang yang membicarakan dunia, lalu Abu Muslim al-Khaulani rahimahullah segera mengalihkan pembicaraannya. Ia tak mau terlibat dalam pembicaraan masalah-masalah dunia. Hati Imam Abu Muslim selalu tertambat dengan dzikir kepada Rabbnya Azza wa jalla. Hatinya selalu berusaha mencari ketaatan dan keridhaan kepadaNya. Ia suka mengumandangkan kalimat takbir. Sekalipun hanya dengan anak-anak yang belum dewasa.

Abu Muslim rahimahullah berpesan: “Berdzikirlah kepada Allah sampai orang-orang dungu memandangmu sebagai orang gila”. Begitulah sepenggal kisah kehidupan Abu Muslim yang penuh dengan karamah. Ia selalu ingat dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Bukan meninggalkan Rabbnya, hanya tertipu germerlap kehdupan dunia, yang tak seberapa. Hanya orang-orang yang mukhlisin yang dapat memahaminya atas kehidupan ini. Wallahu ‘alam