Paradok Kehidupan

Pagi di jalanan,
siang di jalanan,
malam di jalanan,
Aku tak pernah bertemu ayah dan ibuku,
semuanya, karena kemiskinan,
dan aku butuh sesuap nasi,
untuk hidup …

Di atas adalah sebait ungkapan pengamen anak jalanan. Dengan mata yang redup. Tanpa ekspressi. Badannya kurus dan dekil. Tak terawat. Hitam. Kaki dan tangannya kecil, kurus, hanya tulang yang terbalut dengan kulit. Rambutnya kusam dan memerah. Karena terpaan terik matahari, dan polusi Jakarta. Setiap hari. Bajunya lusuh. Giginya menguning dan penuh karang.

Anak-anak kecil itu terus menelusuri setiap jengkal Jakarta. Seperti tak punya lelah. Terus berjalan dan berlari. Mengejar setiap angkutan kota yang lewat. Tak peduli. Kadang ada yang berbelas. Tak sedikit yang masa bodoh. Membiarkan anak-anak itu berlalu. Begitu saja. Mungkin berguman. Biarkan anak-anak miskin itu. Jangan mereka dikasihani. Mereka tak berhak dikasihani.

Ramadhan memasuki hari kesebelas. Ada fenomena yang amat paradok. Getir dan menyayat. Setiap bathin. Siapa saja yang masih mempunyai hati. Hari-hari ini Jakarta mulai dipenuhi dengan yang disebut ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis). Entah dari mana mereka. Setiap sudut jalan di Jakarta. Pasti menemukan pengemis, pengamen, dan pemulung. Jumlahnya tak sedikit. Mereka menyeruak. Di tengah-tengah kehidupan Jakarta. Kehidupan yang egois.

Di jalan-jalan, di angkutan, di emper-emper toko, di kereta, di pasar-pasar, dan kolong-kolong jembatan, dan tempat keramaian, mereka mencari kehidupan. Di mana-mana melihat pemandangan para pemulung yang membawa keluarganya, anak-anak dan isteri, sambil mendorong gerobak. Anak dan isteri mereka wajahnya pias dan letih, mengarungi sepanjang jalan, di tengah padatnya Jakarta. Mereka terkadang tidur di jalan-jalan. Di emper-emper toko. Di stasiun kereta. Dan, di kolong-kolong jembatan. Mereka mengejar harapan. Mereka mengejar belas kasihan. Mereka mengejar kemurahan dan keramahan. Mereka mengejar orang-orang yang masih mempunyai hati. Mungkin itu hanya ilusi. Ilusi orang-orang yang tersisih dalam kehidupan.

Ramadhan memasuki hari kesebelas. Jakarta tetap padat dan sibuk. Seperti tak nampak Ramadhan. Kehidupan malam. Tak berubah. Hotel-hotel, tempat hiburan, café, dan tempat-tempat keramaian, terus dibanjiri pengunjung. Plaza. Semakin penuh pengunjung. Orang berbelanja ramai. Mereka membawa belanjaan. Tak kira-kira. Belanjaan yang aneka ragam. Orang-orang yang berduit tak peduli. Mereka menumpuk makanan. Seakan besok terjadi prahara. Mereka sudah mempersiapkan hari lebaran (idul fitri). Pakaian dan baju. Mereka mempersiapkan dan memilih. Apa saja yang mereka inginkan. Mereka sudah memilih tempat-tempat berlibur bersama keluarga. Sebagian pergi keluarga negeri. Inilah kehidupan yang paradok.

Hotel-hotel dan café ramai. Menjelang maghrib. Orang-orang yang berduit berkelompok dan berdatangan. Mereka menikmati berbagai macam hidangan. Setiap hotel dan café menyelenggarakan acara buka puasa. Kalangan ekskutif, politisi, birokrat, pengusaha, dan sejumlah artis, menyelenggarakan acara buka puasa, di tempat-tempat yang mewah. Makanan berlebih. Makanan serba nikmat dan lezat. Di rumah-rumah keluarga menyelenggarakan acara berbuka. Mereka berkumpul. Menikmati suasana Ramadhan. Kadang-kadang makanan yang berlebih dibuang di tempat sampah. Sisa-sisa makanan itu, yang terbuang disampah, dinikmati para pemulung, dan gelandangan.

Ramadhan memasuki hari kesebelas. Ritme ibadah semakin menyurut. Masjid-masjid mulai ditinggalkan jamaahnya. Sebagian masjid jamaahnya sudah tinggal separuh. Tak terdengar suara orang bertadarus. Membaca al-Qur’an. Sepi. Anak-anak muda hanya duduk-duduk. Ngobrol. Di malam hari lebih banyak mereka berkeliaran berboncengan motor atau mengendarai mobil, tak tentu arah. Laki dan perempuan. Mereka bukan muhrimnya. Ini menandakan kehidupan umat Islam mulai luruh. Masjid jamaahnya yang tersisa, tinggal orang-orang tua. Anak-anak mudanya tak lagi tertarik. Remajanya, bermain, berlari sambil membunyikan petasan. Kekusyukkan beribadah tak nampak.

Tak banyak lagi yang memperhatikan kehidupan remaja. Orangtua juga tidak. Orangtua hanya mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Anak-anak tidak dididik agama dengan ketat. Anak-anak dibiarkan menemukan jalan hidup mereka sendiri-sendiri. Mereka kehilangan identitas dan simbol-simbol Islam. Secara perlahan-lahan mereka hanya tinggal status sebagai penganut Islam. Gaya hidup dan kebiasaan mereka sudah berubah. Karena tak pernah mendapat sentuhan Islam. Mereka mereguk kehidupan modern dengan cara mereka sendiri.

Lebih ironi lagi. Mereka yang dahulu sangat sibuk mengurusi anak-anak muda, dan memberikan arahan, membina, dan mendidik, kini mereka tak nampak lagi. Mereka telah pergi. Pergi menjalani peran baru. Mereka menjadi politisi. Mereka sibuk dengan urusan poliltik. Mereka sibuk dengan urusan kekuasaan. Mereka sibuk dengan hitungan-hitungan angka. Mereka sibuk. Sangat sibuk. Mereka mereguk dan menikmati hasil kekuasaan. Mereka menikmati kehidupan baru. Mereka menikmati dengan peran baru itu. Mereka tak tertarik dengan peran yang lama. Mengarahkan, membina dan mendidik anak-anak muda, yang sangat menentukan masa depan. Mereka memilih hasil yang cepat dan konkrit, dan segera dinikmati. Mereka tak lagi memerlukan peran masa lalu. Inilah jalan menuju bencana masa depan Indonesia.

Semakin banyak orang miskin. Semakin banyak orang yang tersisih dalam kehidupan. Semakin banyak orang yang tidak mengenal agama (Islam). Semakin banyak orang yang ‘riddah’ (murtad). Karena berubahnya orientasi kehidupan. Berubah secara hakiki. Mereka tak faham dan mengerti tentang hakekatnya kehidupan. Mereka tak memahami nilai-nilai kehidupan. Mereka tak memahami dan mengerti tentang hakekat Islam. Mereka tak mendapatkan alternatif, yang dapat menjawab masa depan mereka.

Dari tahun ke tahun Ramadhan tak mempunyai makna apa-apa. Tak mengubah kualitas kehidupan umat. Mereka justru menjadikan Ramadhan sebagai tradisi. Bukan sebuah sarana memperbaharui kehidupannya. Menuju kehidupan baru. Sebagai orang-orang yang muttaqien. Orang-orang yang saling mengasihi. Orang yang saling menguatkan iman saudaranya. Sesama muslim. Ramadhan akan berakhir. Dan, orang semakin sibuk mengejar kehidupan dunia.

Mu’adz bin Jabal saat sakaratul menjemputnya di waktu fajar. Ia berdoa. “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu aku menyukai kehidupan. Tetapi, bukan karena pohon yang aku tanam, sungai yang mengalir, rumah yang aku bangun, dan istana yang aku dirikan. Tapi, demi Allah, aku mencintai kehidupan ini, karena tiga hal: pertama berpuasa di hari yang panas, kedua melakukan qiyamul lail, dan ketiga ikut meramaikan halaqah dzikir bersama para ulama”, ungkap Muadz.

Ramadhan bukan tradisi. Ramadhan bukan rutinitas. Kemenangan Islam yang pertama di perang Badr, di bulan Ramadhan. Karena Rasul bersama mereka para shahabat adalah yang orang-orang mencintai akhirat. Ramadhan bukan wasilah mengumbar syahwat perut, yang akan mencelakakan kehidupan manusia.Semoga. Wallahu ‘alam.