Tobatnya Budak Khalifah Hisyam bin Abdul Malik

Sangat cantik. Di seluruh kota Kufah. Mungkin di Bagdad. Tak ada lagi yang mebandinginya. Mungkin batas kecantikannya hanya ada dalam angan-angan dan kisah-kisah. Tak banyak wanita dapat menyamainya. Keceantikannya benar-benar sempurna. Ditambah, ia pandai membaca al-Qur’an, melantunkan syair dengan suaranya yang sangat lembut. Tetapi, ia hanyalah seorang budak wanita. Budak itu diasuh oleh seorang wanita jompo. Oh, betapa kehidupan terkadang tidak dapat dijangkau akal manusia.

Suatu ujung senja, ketika Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, sedang duduk diistananya, disertai oleh orang-orang dekatnya. Mereka sedang menikmati akan datangnya malam, disertai dengan minuman, dan makanan, serta mendengarkan kisah-kisah masa lalu. Keagungan, kejayaan, dan kemenangan yang sangat menakjubkan. Tak ada lagi kekawatiran. Segalanya menjadi sebuah keniscayaan. Semuanya telah terwujud. Pemerintahannya menjadi kisah panjang yang tak pernah habis.

Ketika itu, Khalifah Hisyam bin Malik, mendengar kabar ada budak wanita di Kufah, yang sangat masyhur kecantikannya, dan diasuh oleh wanita jompo. Hisyam berkirim surat kepada Gubernur Kufah agar mengusahakan kepada pemilik budak wanita itu, agar bersedia menjualnya dan segera mengirimkan kepadanya. Kemudian, Hisyam mengirimkan seorang utusan bertemu dengan Gubernur Kufah.

Ketika surat itu sudah sampai ditangan Gubernur Kufah, dikirmnya utusan itu bertemu dengan wanita jompo, membeli b udak wanita, seharga 1000 dirham, dan ditambah dengan satu kebun kurma yang setiap tahunnya dapat menghasilkan lima ratus kuintal kurma. Usai bertemu dengan wanita jompo itu, lalu Gubernur Kufah bersama dengan utusan Khalifah Hisyam itu, selanjutnya membawa wanita budak ke Khalifah Hisyam.

Sebelumnya, Khalifah Hisyam sudah mempersiapkan istana, yag sangat indah, tak ternilai, dan disertai dayang-dayang, serta berbagai macam bentuk pakaian, perhiasan emas, intan, berlian dan tak lupa tempat peraduan yang sangat mewah. Inilah yang akan menjadi tempat tinggal budak wanita, yang sudah dibeli oleh Khalifah Hisyam. Mungkin inilah kehidupan. Tak pernah dibayangkan oleh budak wanita itu. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Hari-harinya hanya menemani Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Hanya bercengkerama. Tak ada lainnya. Keduanya mereguk kenimatan kehidupan. Tanpa batas. Tinggal di istana yang indah tak ternilai, dayang-dayang, serta pakaian serba mewah, disertai wewangian, yang membuat siapapun, tak mampu lagi, membayangkannya.

Sampai, di suatu ketika, ketika Khalifah Hisyam sedang bercengkerama dengan budak wanita itu, diatas balkon, yang dihampari permadani dan wewangian yang sangat semerbak, diselingi dengan dongeng dan syair-syair yang sangat lembut, maka Khalifah Hisyam semakin bertambah suka cita.

Namun, ketika sedang menikmati cengkerama itu, tiba-tiba terdengar jeritan, sehingga membuat Hisyam mencari tahu, apa sesungguhnya yang terjadi. Ternyata suara jeritan itu, adalah iring-iringan jenazah yang diikuti oleh pelayat wanita, yang menjerit-jerit meratapi kematian. Dan, diantara mereka ada yang berteriak, ‘Aduuh .. Bapakku yang digotong diatas keranda kayu, yang pergi menuju ke tempat orang-orang yang mati, dan akan tinggal dipemakaman sendirian, dan diasingkan diliang lahatnya’, teriak diantara wanita itu.

Mendengar teriakan wanita itu, berlinanglah air mata Hisyam, dan melupakan segala kenikmatan yang didapatkannya dari budak wanita  itu. “Cukuplah kematian itu sebagai nasehat”, ujar Khalifah Hisyam. Melihat sikap Hisyam itu, budak wanita yang sangat cantik itu, berkata, ‘Peratap jenazah telah memutuskan tambatan hatiku’, ujarnya. Khalifah Hisyam berkata, ‘Tinggalkan aku, dan biarkan aku sendiri’, ujar Hisyam kepada budak wanita itu.

Sementara, budak wanita itu, masih tetap ditempatnya, sampai tertidur. Namun, dalam tidurnya itu, dia bermimpi kedatangan seorang dan berkata kepadanya, ‘Kamu orang yang mempesona dengan kecantikanmu, dan membuat lupa daratan dengan belaianmu. Bagaimanakah keadaanmu nanti, bila sangkakala telah ditiup? Dikala orang-orang dibangkitkan lagi dari kubur menuju ke tempat pembalasan? Di mana mereka akan diterima sesuai dengan amalan-amalan yang telah mereka lakukan?’.

Setelah terbangun budak wanita itu, dan dengan hati yang lapang, dia segera mereguk minumannya, lalu memanggil dayang-dayangnya, meminta air untuk mandi, kemudian melemparkan seluruh pakaian dan perhiasannya, mengikatnya tengahnya dengan benang, serta mengambi tongkat, mengalungkan tempat air dari kulit ke leherrnya, kemudian pergi menghadap ke Khalifah Hisyam.

“Aku budak wanitamu, yang cantik gemulai, aku telah kedatangan seseorang yang memperngatkanku, ia telah mengetuk pendengaranku dengan ancamannya, dan aku memutuskan suatu rencana diriku dari perbudakan”, ujar budak itu. “Jauh sekali perbedaan antara dua keinginan (hasrat) ini, yaitu antara keinginanku dengan keinginanmu. Silahkan kamu dengan keinginanmu. Pergilah. Kamu telah bebas merdeka di jalan Allah. Kemanakah kamu akan pergi?”, tanya Hisyam. “Akan menuju Baitullah al Haram (Ka’bah). “Barangkatlah, Tidak ada seorang pun yang akan menghalangimu”, sahut Khalifah Hisyam.

Kemudian, wanita itu keluar dari istana Khalifah Hisyam bin Abdul Malik dengan hidup zuhud, sangat bersahaja, dan hanya mengharapkan akhirat. Dia terus mengembara sampai tiba di kota Makkah. Lalu, wanita itu tinggal di Makkah dengan selalu berpuasa, disamping bekerja sebagai pemintal benang untuk mendapatkan makannya. Bila sudah sore hari, dia pergi berthawaf mengelilingi Ka’bah, lalu masuk ke Hijir Ismail dan berdo’a, ‘Wahai .. ibadahku, hanya engkaulah bekalku, janganlah engkau putuskan harapanku, capaikanlah cita-citaku, perbaguskanlah pola dan perbanyaklah pembarianku”, ucapnya lirih.

Wanita yang pernah hidup bersama dengan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik itu, serta mereguk kenikmatan yang tak terhingga itu, terus mendekatkan diri kepada Rabbnya, siang malam, sampai kulitnya berubah, tampak keriput. Tubuhnya menjadi lunglai,karena lamanya berdiri, matanya cekung, dan hampir-hampir buta, karena selalu menangis, bila mengingatkan kehidupan masa lalunya. Sedangkan tangannya penuh dengan luka-luka, karena terus digunakan memintal.

Sampai saat menjelang fajar, usai Shubuh, dan wanita itu usai menunaikan shalat Shubuh, Allah Azza Wa Jalla memanggilnya. WajahNYA nampak tersenyum membayangkan surga. Sebuah kematian yang begitu indah, bagi seorang budak wanita. Wallahu ‘alam.