Saatnya Mendistribusikan Kekayaan (2)

3. Metode Distribusi

Tidak semua manusia mujur dalam mendapatkan harta untuk kadar yang cukup [26]  karena adanya beberapa faktor. Sebagian anggota masyarakat memiliki kekayaan yang sangat banyak, sedangkan yang lain hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali. Kondisi riil yang demikian menghajatkan adanya regulasi distribusi, sehingga orang-orang yang memiliki banyak harta bisa memberikan sebagian harta yang dia miliki kepada orang-orang yang tidak memiliki harta dan berhak untuk menerimanya. A1-Qur’an berusaha memberikan gambaran tentang regulasi distribusi ini melalui:

  1. Memberikan petunjuk umum tentang pendapatan dan belanja.
  2. Menentukan instrumen wajib bagi pelaksnaan distribusi.
  3. Merekomendasikan instrumen alternatif untuk tujuan ini.

a. Pembatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam hubungannya dengan masalah ini adalah bahwa orang-orang yang memiliki harta dilarang membelanjakannya pada pos-pos yang tidak perlu ataupun pada hal-hal yang haram. Itulah sebabnya mengapa A1-Qur’an melarang pemborosan dan penggunaan harta dijalan yang haram. Perintah Al-Qur ‘an yang demikian akan menghambat semua jalur yang memungkinkan akan menyebabkan penggunaan harta dengan cara yang sia-sia. Untuk kepentingan tersebut Al-Qur’an menyatakan bahwa ada keinginan-keinginan (wants) dan kebutuhan-kebutuan (needs) yang dilarang dan diharamkan. Dengan demikian, anggaran yang dikeluarkan untuk memenuhi hajat-hajat yang tidak halal itu dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak halal dan dianggap tidak memiliki nilai apa-apa. Jika sesuatu ini dinyatakan sebagai sesuatu yang haram, maka ia tidak memiliki nilai sedikitpun. Dalam hal ini, seorang Muslim tidak dibolehkan untuk membeli barang-barang yang haram tersebut, juga tidak boleh menjual dan menerima uang dari hasil penjualan barang haram tersebut. [27]

Pelarangan riba, merupakan Langkah utama dan paling penting yang diambil Al-Qur’an karena dianggap akan sangat berpengaruh terhadap lancarnya distribusi kekayaan. Disamping pelarangan riba ini, Al-Qur’an juga telah menentukan beberapa ketentuan yang bisa diterapkan demi lancarnya distribusi kekayaan tersebut. Al-Quran sangat menentang praktek penimbunan kekayaan. [28] Al-Qur’an mengecam praktek peredaran kekayaan yang ada hanya di sekitar orang-orang berpunya dan berkantong tebal. [29]  Ini akan memberikan perbedaan jelas antara penggunaan anggaran pendapatan yang halal dan yang haram sebagaimana juga membedakan cara-cara yang halal dan haram dalam belanja atau pengeluaran. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak memberikan lisensi bebas untuk mendapatkan harta kekayaan dengan segala cara. Pengumpulan kekayaan bisa dilakukan hanya dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum, sehingga dengan demikian tidak ada salah satu kelompok yang diuntungkan dengan jalan merugikan yang lain. Membelanjakan harta ini adalah sebagai bentuk transaksi, dimana kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan melalui cara-cara yang benar. [30]

Cara-cara memperoleh uang yang dibolehkanAl-Qur’an telah dijelaskan secara gamblang dan dibedakan dengan tegas dengan cara-cara yang tidak benar serta dilarang. [31] Aspek keadilan dan kehalalan memperoleh pendapatan itu jangan sampai diabaikan karena hal tersebut memainkan peran yang sangat desisif dalam distribusi yang adil dan merata. Jika dalam sebuah masyarakat ada anggotanya yang dibiarkan menyalahgunakan posisi dan kekuasaannya dengan cara merampas kekayaan orang lain pada kondisi yang demikian, maka pembicaraan tentang keadilan dan kejujuran distribusi tidak relevan lagi untuk diperbincangkan.

Bahkan tatkala seseorang telah memperoleh harta dengan cara yang halal dan dibolehkan pun, pemilik harta tersebut tidak diperkenankan untuk membelanjakan semaunya. Dia dituntut untuk menghindari pemborosan walaupun harta yang dia miliki itu dipergunakan untuk sesuatu yang dibolehkan. [32] Al-Qur’an secara eksplisit dan empatik menghargai cara belanja yang moderat, tidak kikir dan juga tidak boros. Pemilik harta diperintahkan bertanggung jawab untuk mengikuti petunjuk yang di atur Allah agar dia menggunakan hartanya secara baik dan benar. [33]

Al-Qur’an menghargai dan mengakui kepemilikan seseorang, namun demikian ia membatasi penggunaannya. Ini sengaja dilakukan demi kepentingan pemilik harta dan sekaligus demi Kepentingan masyarakat secara keseluruhan. [34] Proses pendapatan dan belanja telah Al-Qur’an luruskan dengan dicelanya sifat kikir, tamak, penimbunan, pemborosan dan penyia-nyiaan pada satu sisi. Pada sisi lain, Al-Quran juga memerintahkan manusia untuk menggunakan harta itu di jalan yang benar dan untuk kepentingan yang benar. Karena hal ini merupakan sintesa antara nilai ekonomi dan nilai moral. [35]

b. Instrumen-instrumen Distribusi

Dalam rangka mewujudkan keadilan dan distribusi kekayaan yang merata dalam masyarakat, Islam telah menentukan beberapa instrumen distribusi. Wajib bagi setiap Muslim untuk tunduk pada instrumen utama ini.

i. Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan zakat ini disebutkan sebanyak 36 kali di dalam A1-Qur’an, dan 21 di antaranya digandengkan dengan kewajiban shalat. [36] Keterangan yang detail tentang zakat ini bisa didapatkan pada Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60. Di dalam ayat ini disebutkan delapan golongan orang-orang yang berhak mendapatkan zakat. Zakat adalah sumber utama kas negara (bait al-Mall). Zakat merupakan sukoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi kekayaan pada segelintir orang, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. [37] Bukti pentingnya zakat adalah bahwa orang-orang yang menolak dan tidak mau membayar zakat dianggap sebagai orang yang kafir dan wajib untuk diperangi. [38]

Zakat selain berfungsi sebagai penyuci hati orang yang mengeluarkannya, ia juga merupakan instrumen yang komprehensif untuk distribusi kekayaan karena ini menyangkut kekayaan setiap Muslim secara praktis, saat hartanya telah melewati nisab (batas minimal tak kena zakat). Nisab ini telah ada ketentuannya secara pasti. Jenis zakat dari beragam harta kekayaan juga telah Rasulullah tentukan dengan detil.

Ketentuan tersebut dapat disimpulkan dalam daftar di bawah ini.

  1. Dua setengah persen dikeluarkan zakatnya, dari kekayaan yang ada termasuk modal usaha.
  2. Lima atau sepuluh persen wajib dikeluarkan untuk zakat semua jenis produksi pertanian.
  3. Dua puluh persen, zakat dikeluarkan untuk semua barang tambang, minyak, gas bumi, dan harta karun yang ditemukan dari galian.
  4. Persentasi yang spesifik (ukurannya tergantung pada jenis binatang ternak tersebut). [39]

Zakat hukumnya wajib bagi seorang Muslim yang memiliki harta cukup nisab, tanpa dilihat apakah dia itu seorang laki-laki ataupun seorang perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, waras atau tidak waras. [40] Dengan mendasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 77, ‘Awdah sampai pada kesimpulan bahwa zakat dan infak adalah dua kewajiban yang berbeda yang dibebankan bagi seorang Muslim. Zakat adalah sebuah kewajiban dan sebagai kewajiban utama, bukan kewajiban biasa. Jika pengumpulan zakat telah cukup memenuhi semua kebutuhan orang-orang fakir dan miskin, sebagaimana ini terjadi pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, maka kaum Muslimin dibebaskan dari kewajiban mengeluarkan infak, sedangkan jika pengumpulan zakat tidak memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, maka saat itu infak menjadi sesuatu yang wajib, sepanjang tujuan untuk mencapai pemerataan dan pemenuhan kebutuhan orang-orang miskin itu belum tercapai. [41]

ii. Khumus

Khumus adalah salah satu sumber dari distribusi kekayaan. Sebanyak seperlima atau dua puluh persen dari harta ghanimah, [42]  dan juga rikaz. [43] Hendaknya harta tersebut didistribusikan di antara para anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan, sebagaimana hal itu tercantum di dalam Al-Qur’an. [44]

iii. ‘Usyr

‘Usyr (sepersepuluh) atau seperduapuluh (jika tempat bercocok tanam dialiri dengan cara irigrasi dan bukan dari hujan), hendaknya dibayarkan oleh pemilik tanah kepada kas negara (Baitul Mal). Kewajiban sepersepuluh atau seperdua puluh ini, juga bisa didistribusikan kepada delapan kelompok penerima zakat yang telah Allah tentukan.

iv. Kharaj dan Jizyah

Kharaj adalah pajak tanah (land-tax) yang diwajibkan pada pemilik tanah hasil rampasan perang yang ditinggalkan oleh para pemiliknya yang asli, sedangkan jizyah adalah iuran wajib atas seseorang yang berstatus dzimmi (non Muslim yang berada di wilayah negara Islam). [45] Tidak semua kaum dzimmi diwajibkan untuk membayar jizyah ini. Pengecualiaan ini berlaku bagi anak-anak, perempuan, para budak, orang yang buta, orang gila, orang-orang jompo dan orang-orang yang cacat. [46] Jizyah juga diwajibkan kepada negara-negara non-Islam yang telah terjadi genjatan senjata antara dua negara, dan mereka menyatakan sedia untuk kepentingan dan kesejahteraan umum. [47]

v. Zakat Fitrah

Setiap tahun pada saat menjelang Idul Fitri setiap Muslim diwajibkan untuk membayar sejumlah harta yang dimiliki pada orang-orang yang fakir dan miskin, yang disebut dengan zakat fitrah. Zakat fitrah ini dibayarkan oleh seseorang atas nama dirinya atau orang-orang yang berada di bawah tanggungannya. Untuk zakat fitrah ini, tidak perlu orang yang mengeluarkannya telah memiliki harta yang mencapai nisabnya, sebagai syarat untuk mengeluarkan zakat tadi. Jadi zakat ini adalah sesuatu yang wajib bagi siapa saja di akhir Ramadhan. Zakat fitrah juga wajib didistribusikan pada orang-orang miskin dan tak mampu yang berhak menerima zakat. [48]

vi. Harta Warisan

Hukum warisan ini dicanangkan oleh Al-Qur’an sebagai sesuatu ketentuan yang sangat penting setelah zakat, dimana kewajiban ini akan menggiring pada adanya distribusi kekayaan. Hukum yang penting ini berlaku setelah orang yang memiliki kekayaan itu meninggal dunia, agar terjadi penyaluran kekayaan kepada beberapa pihak. Hukum waris ini akan menghindarkan beberapa kemungkinan yang akan muncul :

  1. Adanya pewaris secara koorporasi (taqsim murtakiz).
  2. Adanya pengutamaan hak anak sulung.
  3. Adanya transfer seluruh kekayaan pada satu orang dengan cara wasiat.
  4. Adanya kemungkinan dimasukkannya orang-orang yang berhak menerima warisan dalam kelompok orang-orang yang mendapat harta wasiat (Meskipun wasiat itu dibolehkan namun batasan maksimum wasiat itu adalah sepertiga dari semua kekayaan seseorang).
  5. Tidak memberikan hak-hak dan bagian waris wanita. Dimana hal ini dijamin Al-Qur’an yang mengiginkan distribusi kekayaan itu secara luas dan merata.  [49]

Harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang wafat, dibagikan hanya pada orang-orang yang dianggap berhak untuk menerima warisan tersebut bukannya setiap kerabat mendapat bagian— sesuai dengan formula Al-ghurm bi al-ghunm (Kerugian berjalan bersamaan dengan keuntungan). Bagian dari setiap orang yang berhak itu pun ditentukan oleh Al-Qur’an. [50] Meskipun demikian Al-Qur’an menganjurkan jika sekiranya pada saat pembagian harta itu hadir kerabat-kerabatnya yang yatim dan miskin, maka diberikan sebagian harta kepada mereka atas dasar kemanusiaan. [51]

Dengan adanya hukum waris ini, semua tanah milik, ataupun harta karun, seberapa pun besarnya harta itu, hendaknya tetap terdistribusikan kepada banyak orang yang berhak untuk mendapatkan harta tersebut. Jika tidak ada orang yang berhak untuk mendapatkan harta warisan itu, maka kekayaan tersebut akan diambil oleh negara dan dimasukkan ke Baitul Mal, dan akan dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. [52]

vii. Nafaqah

Kewajiban membayar nafaqah ini, merupakan salah satu cara untuk membagi kekayaan kepada orang lain. Nafaqah ini bisa didefinisikan sebagai berikut:

  1. Satu kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-orang terdekat, yakni anak-anak dan isteri.
  2. Kewajiban bersyarat untuk menyediakan kebutuhan pada keluarga-keluarga miskin jika seseorang mampu melakukan itu.

Dan sini terlihat jelas bahwa kewajiban nafaqah ini sangat memperhatikan orang-orang yang miskin dan cacat serta kerabat-kerabat dekat. [53]  Ath-Thahawi menyatakan bahwa kewajiban memberikan nafkah pada kerabat-kerabat yang miskin dan cacat jasmani adalah sangat sesuai dengan formula al-ghurm bi al-ghunm, dan merupakan tambahan kewajibannya dalam memberi nafkah yang berkenaan dengan anak, isteri, budak dan binatang. [54]

viii. Kaffarat

Kaffarat (tebusan terhadap sebuah dosa yang dilakukan), merupakan salah satu sarana, dimana lewat sarana inilah kekayaan dan harta bisa sampai pada tangan-tangan orang miskin dan fakir. Ada beberapa dosa yang harus dibayar dengan cara kaffarat ini. Misalnya, membatalkan puasa secara sengaja tanpa ada udzur syara’ di bulan Ramadhari, membunuh secara tidak disengaja, melanggar sumpah dan yang lainnya. Jika seseorang melakukan hal tersebut, maka dia wajib membayar dan sebagian porsi hartanya kepada orang miskin dan tak berdaya. [55]

(ix) Adhahi (Kurban)

Salah satu jalan agar bisa berbagi harta dengan orang-orang yang miskin, adalah dengan diwajibkannya adhahi (kurban binatang untuk memperoleh ridha Allah). Syariat ini menganjurkan kepada mereka yang mampu untuk melakukan kurban binatang pada hari tasyiq (tanggal 10-11-12 Dzulhijjah), sebagai peringatan atas pengorbanan yang telah dilakukan Nabi Ibrahim. [56]

(x) Dhawa-i’ (tanah yang terlantar)

Yang dimaksud dengan dhawa-i adalah :

  1. Jika sebidang tanah tidak diketahui siapa pemiliknya.
  2. Kekayaan yang ditinggalkan oleh yang meninggal dan memiliki ahli waris. Dalam keadaan seperti ini, maka harta-harta yang ditinggalkan itu hendaknya diambil alih oleh Baitul Mal yang dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat. [57]

(xi) Usyur

Instrumen ini diterapkan pada para pedagang (pebisnis). Seorang pedagang diharuskan untuk membayar dengan persentase tertentu atas barang dagangan yang mereka bawa takkala barang itu telah melampaui batas yang ditentukan. ‘Usyur (semacam pajak bea dan cukai) ini dikumpulkan oleh petugas yang disebut ‘asyir setiap kali seorang pedagang masuk atau keluar dari perbatasan pos pemeriksaan (check point). [58] Sedangkan kewajiban seseorang yang berstatus harbi (yakni non Muslim yang berafiliasi pada suatu negara yang sedang berada dalam status perang) ditentukan atas dasar hubungan timbal balik antara dua negara. Jika sebuah negara non-muslim tidak memungut bayaran apapun dari pedagang Muslim, maka negara Islam pun tidak boleh memungut bayaran dari penduduk dari negara non-Muslim itu. [59]

(xii) Musa’adah.

Artinya adalah seorang Muslim diharuskan untuk memberi bantuan dan dukungan pada orang-orang yang Muslim yang mengalami kerugian dan kecelakaan, misalnya mengalami kebangkrutan usaha, orang yang dililit hutang besar, atau orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja.

(xiii) Jiwar.

Adalah bantuan yang ada sangkut pautnya dalam hubungan bertetangga. Artinya seorang Muslim diharuskan untuk membantu tetangga, tanpa memandang dan melihat hubungan darah dan agamanya.

(xiv) Dhiyafah.

Artinya seorang Muslim diharuskan untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang asing yang datang ke tempat dia berada sebagai tamu yang dihormati. [60]

c. Instrumen-instrumen Distribusi Alternatif

Disamping instrumen-instrumen wajib yang telah disebutkan diatas, Al-Qur’an juga telah menetapkan beberapa instrumen yang bersifat sukarela yang menjadi bagian dari sistem distribusi kekayaan. Diantaranya:

(i) Qardh Hasan

Qardh hasan adalah bentuk pemberian pinjaman bebas bunga pada orang-orang yang membutuhkan dan miskin. Pinjaman itu diberikan semata-mata hanya untuk mencapai ridha Allah, dan tidak memiliki niatan lain. Seorang Muslim diharapkan untuk memberikan pinjaman dalam bentuk qardh hasan ini kapan dan dimana pun hal itu dibutuhkan. Dan hendaknya dia memberikan kemudahan semaksimal mungkin bagi para pengutang itu. [61]

Maudusi menolak keras adanya anggapan bahwa motif mendapat keuntungan adalah suatu yang esensial untuk adanya sebuah pinjaman. Dia menilai bahwasanya anggapan tersebut adalah suatu asumsi yang salah, yang sama sekali tidak memiliki relasi dengan pengalaman praktis. Akibat eksistensi riba-lah yang menghambat adanya pinjaman tanpa bunga itu. Karena Al-Qur’an dengan tegas melarang pinjaman uang dan bunga, maka tidak ada alasan apapun, menurutnya, mengapa tidak mungkin ada pinjaman yang didasarkan pada cara yang tanpa memungut bunga. Khususnya ketika Baitul Maal yang ada dalam negara memberikan jaminan untuk membayar balik pinjaman yang kira-kira berada diatas kemampuan pengutang. [62]

Ajaran Al-Qur’an bukan hanya menganjurkan kaum Muslim untuk memberikan pinjaman yang berbentuk qardh hasan itu pada orang-orang yang miskin, namun ia sekaligus menganjurkan bagi mereka untuk tidak menekan orang-orang miskin yang berhutang. Al-Qur’an menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang lapang dada dan dermawan itu menghapuskan hutang yang ada pada orang-orang yang tidak mampu membayar. [63]

(ii) Nudzur

Nadzar (bentuk tunggal dari nudzur) adalah perbuatan untuk menginfakkan atau untuk mengorbankan sebagian kekayaan dalam jumlah tertentu demi mendapatkan ridha Allah jika tujuan yang diinginkan tercapai. Walaupun bernadzar itu bukanlah suatu kewajiban, dan seorang Muslim bebas untuk bernadzar ataupun tidak, namun demikian, jika nadzar itu telah diucapkan dan apa yang diinginkan telah dicapai, maka wajib baginya untuk memenuhi nadzar tersebut. Al-Qur’an dengan tegas mewajibkan pemenuhan nadzar tersebut.

(iii) Waqf

Waqf atau waqaf adalah perbuatan melalukan pemberian dengan suka rela untuk kesejahteraan masyarakat umum. Pada saat seorang menyatakan secara suka rela kekayaannya sebagai waqaf, dia telah melepaskan semua hak-haknya untuk melakukan transaksi yang berkaitan dengan harta itu. Semua penghasilan (income) yang dihasilkan dari kekayaan waqaf itu oleh pemilik harta itu dipergunakan pada proyek yang dikhususkan untuk kepentingan umum. Dasar instrumen waqaf ini dapat kita temukan dalam hadist Rasulullah. [65]

(iv) Wasiat

Al-Qur’an mengakui adanya wasiat, sebagai sebuah instrumen sukarela untuk pemindahan dan distribusi kekayaan. [66] Setiap orang memiliki hak dan wewenang untuk memberikan wasiat terhadap harta yang dimiliki terhadap siapa yang dia kehendaki (namun dengan pengecualian orang yang berhak mendapat warisan), atau pada lembaga dan institusi tertentu, dan untuk tujuan serta maksud-maksud yang halal. Wasiat itu hendaknya tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan syariat, yakni sepertiga dari kekayaan. Aturan sepertiga yang ketat ini, adalah demi kepentingan ahli waris yang sah. Karena pembagian pada ahli waris juga sangat membantu pendistribusian kekayaan. [67]

(v) Infaq Tathawwu’

Di samping infak yang diwajibkan pada bagian kedua diatas, Al-Qur’an juga merekomendasikan infak tathawwu’ (infak sukarela). Al-Qur’an menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang melakukan infak tathawwu’ ini. [68] Perbedaan antara infak wajib dan infak sukarela ini ialah jika seseorang tidak melakukan yang pertama maka dia akan mendapat dosa, sedangkan untuk yang kedua tidaklah demikian. [69] Al-Qur’an menganggap infak sebagi inti keutamaan (al-birr). Dengan artian bahwa seseorang tidak akan pernah mencapai puncak kesempurnaan dalam nilai-nilai utama, kecuali dia sanggup mengeluarkan dan menginfakkan apa yang paling dia senangi, untuk mencapai keridhaan Allah. [70]

(bersambung)

Referensi:

  1. Lihat penafsiran Syaikh Al-Hindi, Mahmud Hasan terhadap ayat 2 : 29, yang dikutip oleh Syihab, op.cit., 19.
  2. Ihat, S.M. Yusuf, op.cit., 40.
  3. Al-Qur’an : 9 : 34-35.
  4. Al-Qur’an : 59 : 7. Lihat juga Syihab, op.cit., 15.
  5. Lihat Ali Musa Razi Muhajir, Islam in Practical Life, Sh. Muhammad Ashraf, Lahore, 1974, hlm.150; Sayyid Quthb, op.cit., 30 S.M Yusuf, op.cit., 56; Fazlur Rahman, op.cit., 108; dan Maududi op.cit., 83-89, 122-123.
  6. Lihat Muhammad Al-Mubarak, Nizham Al-Islam Al-Iqtishadi: Mabadi’ wa Qawa’id ‘Ammah, Daar Al-Fikr, Beirut, 1972, hlm. 93-96, 99-101. Untuk melihat daftar cara memperoleh harta yang tidak halal, lihat Maududi, op.cit. 83-89, 22-123.
  7. Al-Qur’an : 25 : 67; 17 : 29; 7 : 31; 26 : 151-52.
  8. Lihat Abdul Hadi, op.cit., 184-185.
  9. Lihat Al-Mubarak, op.cit., 72-74; Maududi, op.cit., 27, 28, 58; Mufti Syafi, op.cit., 15, 37; Sayiid Quthb, op.cit., 153.
  10. Lihat Maududi, op.cit., hlm. 89-93, 114-115.
  11. Dua puluh sembilan ayat disebutkan dengan kata az-zakat, satu ayat dengan kata zakat, dan enam ayat dengan sebutan sedekah. Lihat Mu’jam, op.cit. I, 539-70, II, 66; dan ‘Awdah, op.cit., 48-49.
  12. Lihat : Ath-Thahawi, op.cit. 356
  13. Lihat Muhammad al-Ghazali, Al-Islam wa al-awdha’ al-Iqtishadiyyah , Daar al-Kitab Al Arabi, Kairo, 1952) Al-Qur’an memberi ancaman bagi orang-orang yang menolak membayar zakat (Lihat Al-Qur’an : 9 : 35-36).
  14. Lihat Maududi, op.cit., 25; dan Ath-Thahawi. op.cit. 367.
  15. Al-Qur’an : 9 : 103. Juga lihat ‘Awdah, op.cit., 48-49.
  16. ‘Awdah, op.cit., 58-59
  17. Ghanimah adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh-musuhnya setelah mereka mengalahkan musuh-musuh itu.
  18. Rikaz adalah harga yang didapat dari hasil galian yang berada di dalam tanah, baik barang itu berupa hasil tambang ataupun harta pusaka (karun).
  19. Al-Qur’an : 8 : 41. Lihat Syihab, op.cit., 43.
  20. Al-Qur’an : 9 : 29.
  21. Lihat, Ath-Thahawi, op.cit., 374
  22. Lihat, Mufti Syafi’. op.cit., 52.
  23. Lihat, Mufti Syafi’, op.cit. 48; dan Ath-Thahawi. op.cit., 380-81
  24. Lihat Mufti Syafi’i, op.cit. 50.
  25. Al-Qur’an : 4 : 11, 12, 176.
  26. Al-Qur’an : 4 : 8. Lihat, Ath-Thahawi, op.cit., 396-97.
  27. Lihat Maududi, op.cit., 28-29, 62-63.
  28. Lihat, Mufti Syafi’, op.cit., 49.
  29. Lihat Ath-Thahawi, op.cit., 393-94.
  30. Lihat Mufti Syafi’, op.cit., 48. Dan untuk mendapatkan pembahasan yang detail lihat Ath-Thahawi, op.cit., 384-387.
  31. Al-Qur’an : 22 : 28, 36 ; 108 : 2 ; Sesuai dengan bunyi hadits : “Wahai manusia pada setiap rumah wajib baginya untuk melakukan kurban pada setiap tahun”, lihat kutipan hadits ini dalam buku Ath-Thahawi, op.cit., 383.
  32. Ath-Thahawi, op.cit., 376.
  33. Kewajiban membayar ini tergantung pada pemilik barang dagangan : Dua setengah persen bagi orang Muslim, 5% untuk yang berstatus dzimmi, dan 10% untuk harbi.
  34. Lihat Ath-Thahawi, op.cit., 376.
  35. Untuk lebih detailnya tentang instrumen-instrumen ini dan yang serupa, lihat Ath-Thahawi, op.cit. 376.
  36. Untuk mendapat bahasan yang detail dan hadits-hadits yang relevan, lihat Ibrasyi, op.cit., 36.
  37. Lihat, Maududi, op.cit., 265-283
  38. Lihat Muhajir, op.cit., 152
  39. Al-Qur’an : 22 : 29. Lihat Ath-Thahawi, op.cit., 390.
  40. Lihat, Ath-Thahawi. op.cit., 391.
  41. Al-Qur’an : 4 : 11
  42. Lihat Ath-Thahawi, op.cit. 378-88.
  43. Al-Qur’an : 2:261, 272, 274.
  44. Lihat, ‘Awdah, op.cit., 59-60.
  45. Al-Qur’an : 3 : 92. Lihat ‘Awdah, op.cit. 51.