Saatnya Mendistribusikan Kekayaan (3)

4. Dampak Pemerataan Distribusi

a. Keadilan Sosial Melalui Kebersamaan

Al-Qur’an tidak pernah mengajarkan atau memerintahkan adanya distribusi kekayaan yang sama-rata diantara semua anggota masyarakat. Sebaliknya, Al-Qur’an menyatakan dengan tegas, bahwa perbedaan dalam hal kekayaan adalah sebagai sesuatu yang alami, dan hal tersebut adalah sangat sesuai dengan rencana Allah. Dalam hal ini Maududi mengatakan bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak menyuruh pembagian kekayaan dengan sama-rata kepada setiap manusia, yang dianjurkan adalah penyebaran yang merata dimana setiap orang masyarakat dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan yang beredar. Dia menyatakan bahwa penyamarataan kekayaan adalah sebagai sesuatu yang tidak alami. Ketidaksamaan manusia dalam hal kesehatan, kekuatan fisik, keelokan, kecerdasan dan kecakapan diantara mereka adalah bukti yang membenarkan bahwa perbedaan kekayaan itu adalah sebagai sesuatu yang sangat alami. [71]

Dengan pengakuan bahwa ketidaksamaan antara manusia dalam kekayaan ini sebagai suatu fonemona alam. Al-Qur’an menyerukan pada manusia untuk membangun sebuah hubungan yang kooperatif, simpatik dan mutualistik antara yang kaya dan yang miskin. Adalah merupakan sebuah kewajiban orang yang kaya untuk memberikan bantuan dan meringankan beban orang yang miskin dan tak berpunya. Instrumen yang diwajibkan untuk sarana penyaluran dana sebagaimana yang telah disebutkan di atas adalah sebagai saluran yang ada di dalam masyarakat. Kekayaan yang ada di tangan orang-orang kaya adalah hak mereka, karena Allah memang menyebutkan bahwa hak mereka ada pada orang-orang kaya. [72] Dengan demikian, ikut menikmatinya orang-orang miskin atas kekayaan orang-orang kaya, bukanlah berarti orang yang kaya memberikan kemurahan hati bagi orang-orang miskin. Mereka, sebenarnya hanyalah memberikan apa yang memang menjadi hak orang-orang miskin.

Ajaran Al-Qur’an tentang distribusi kekayaan ini mengantarkan kepada sebuah sistem yang unik dalam hal jaminan keadilan sosial. Dengan sistem ini setiap individu dari anggota masyarakat mendapat jaminan untuk mendapatkan bagian dari kekayaan yang ada di dalam sebuah masyarakat. Jumlah minimum dari bagian yang akan didapat ditentukan oleh hajat si miskin. Dengan penekanan pada pemberian bantuan dan pertolongan pada orang-orang yang miskin ini, Al-Qur’an telah membangun sebuah sistem keadilan sosial dimana setiap orang dijamin tidak akan dibiarkan hidup tanpa adanya bantuan. [73] Ini menekankan adanya satu ikatan yang sangat kuat diantara sebuah komunitas dengan menyatakan bahwa seluruh kaum Muslimin adalah bersaudara, [74] dan mereka laksana satu bangunan yang kokoh, yang tidak bisa digoyahkan. [75]  Dan mereka lebih mendahulukan orang lain yang membutuhkan (altruisme, itsar) daripada dirinya sendiri. [76]

Mengomentari statemen Al-Qur’an ini, [77] Fazlur Rahman mengambil kesimpulan bahwa, “jika orang-orang yang berada dalam sebuah kelompok masyarakat tidak lagi ambil peduli kepada orang-orang yang lemah, maka kehancuran masyarakat itu bisa dipastikan segera tiba. [78]  Al-Qur’an telah memberikan pengamanan jaringan sosial terbaik lewat yurisprudensi dan rekomendasi sebagaimana yang telah diuraikan diatas. [79] Hadits-hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan elaborasi terhadap prinsip-prinsip yang telah digariskan Al-Qur’an, yang dengan itu terbentuklah sebuah sistem sekuritas mutualistik. [80]  Karena sangat pentingya persoalan ini, maka sistem distribusi dan koleksi yang komprehensif telah dicanangkan. [81]

Bahwasanya Al-Qur’an menginginkan sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, tidak saja bisa dilihat dari ajaran-ajaran etika yang ada di dalamnya, namun itu sangat tampak jelas dengan adanya kewajiban zakat dan pelarangan absolut terhadap riba. Sarana-sarana seperti ini dan yang serupa dengannya adalah alat yang mampu memberikan garansi terhadap adanya distribusi kekayaan secara merata. [82] Adanya instrumen zakat juga merupakan jaminan umum (general insurance) terhadap semua anggota masyarakat, yang sebenarnya (jika ini dipraktekkan) tidak akan ada dan tidak akan diperlukan instrumen-instrumen kontemporer yang sifatnya ribawi. [83] Syihab dengan tepat menyatakan bahwa zakat adalah “cara terindah asuransi umum”, dimana preminya dibayar hanya oleh orang-orang kaya, sedangkan keuntungannya yang didapat bisa dinikmati oleh siapa saja yang memang membutuhkan. [84]  Pada saat Al-Mubarak menerangkan bunyi ayat,

“(karena) bagi orang laku-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.” (An-Nisaa’ : 32)

Dia mengatakan, “Semua apa yang mereka hasilkan bukanlah sepenuhnya milik mereka. Yang menjadi milik mereka adalah hanya porsi yang memang harus dimiliki, sedangkan lebihnya harus dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang kita sebut dengan jaminan sosial dalam Islam” (at-takaful al-ijtima’i). [85]

b. Penghapusan Kemiskinan

Penghapusan kemiskinan dalam sebuah masyarakat merupakan salah satu tugas utama dari negara Islam. Al-Qur’an merekomendasikan bantuan mutualistik, simpatik dan khidmah (bakti). Bentuk bantuan tersebut bisa berupa hal-hal berikut:

(i) Memberikan qardh hasan pada orang-orang yang miskin.
(ii) Bersikap lunak kepada para pengutang.
(iii) Menghapus hutang dari para pengutang jika dia benar-benar tidak mampu membayar.
(iv) Membantu pengutang untuk membayar beban hutangnya.
(v) Mendermakan kekayaan lewat lembaga-lembaga sosial.

Lima hal diatas, bersama dengan kewajiban zakat dan pelarangan riba sangat memainkan peran yang sangat penting dan efektif untuk mengeliminasi kemiskinan dan kondisi sulit dalam sebuah masyarakat. [86]

Al-Qur’an mengandung aturan dan anjuran moral, yang ditujukan untuk membantu dan memberdayakan segmen orang-orang yang lemah dan tak berdaya di dalam sebuah masyarakat, seperti orang-orang miskin, anak-anak yatim, wanita-wanita lemah, dan orang-orang yang dibebani hutang. [87]  Institusi zakat dan sistem Baitul Mall, sengaja didisain untuk mendistribusikan kekayaan dan menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat. [88]  Al-Qur’an melarang riba karena hal itu dianggap hanya akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan secara massif di dalam masyarakat. [89]

Jika di sana ada ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, akibatnya adalah munculnya kemiskinan dan perasaan kehilangan, maka kondisi ini mungkin saja akan mengarah pada kekufuran. Ayat-ayat Al-Qur’an pada surat Al-Fajr dari ayat 15 hingga 20 menyebutkan pada kita bahwa penyebab utama munculnya ateisme adalah karena adanya orang-orang kaya yang menimbun harta kekayaannya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan tidak membagikannya kepada orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang membutuhkan bantuan. [90]  Dari konsekuensi kefakiran yang sangat berbahaya inilah, maka ia dianggap sebagai sebuah “kejahatan” dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta perlindungan pada Allah. [91]

Islam mendorong keras setiap orang untuk bekerja dan bertindak produktif agar bisa mencukupi dirinya sendiri. Ketergantungan pada orang lain adalah perilaku buruk dan tidak terpuji, sedangkan mengemis pada orang lain adalah tindakan yang paling jelek dan merendahkan martabat. Siapa saja yang memiliki kecukupan harta walaupun hanya untuk makan dihari itu saja, dilarang untuk mengemis. Islam tidak memberi ruang bagi para “pengemis professional”. Setiap orang yang memiliki harta sampai batas nisabnya tidak diperkenankan untuk menerima sedekah, walaupun sedekah itu misalnya diberikan padanya tanpa dia minta. Ajaran-ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an bukan hanya bertujuan untuk menyumbat semua koridor bagi orang-orang yang tidak berhak menerima bantuan, namun dia juga membuat aturan bahwa bantuan-bantuan itu hendaknya sampai pada tangan-tangan yang benar-benar menghajatkan di dalam sebuah masyarakat. [92]

Ibnu Hazm, seorang ulama asal Andalus, memberikan komentar yang panjang tentang perintah-perintah Al-Qur’an yang menyangkut orang-orang miskin dalam sebuah bahasa yang dia sebut haqq al-faqiir (hak-hak orang miskin). Dia menegaskan bahwa andaikata dana zakat tidak mencukupi kebutuhan orang-orang miskin, maka negara harus memerintahkan untuk menghimpun dana dari orang-orang yang kaya. Dia menekankan bahwa orang-orang fakir itu, hendaknya disediakan kebutuhannya, bahkan jika hal tersebut menuntut negara untuk mengambil langkah yang sangat drastis dengan mengambil semua kekayaan pribadi. [93]

Prinsip Al-Qur’an yang menyatakan, “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”. (QS. Al-Hasyr : 7) merupakan panggilan untuk terciptanya sebuah distribusi kekayaan yang merata, sebagaimana juga ia ditujukan untuk mengeliminasi kemiskinan dari masyarakat. Kewajiban berinfak juga hendaknya terus diterapkan hingga tujuan pemerataan ini tercapai. Praktek seperti ini menampakkan hasil yang sangat spektakuler dan mencengangkan, dimana pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz tidak didapatkan satu orangpun yang berhak menerima zakat. Hal ini karena semua rakyat yang ada di dalam pemerintahan Khalifah telah menjadi orang-orang yang memiliki nisab dan wajib mengeluarkan zakat, serta tidak boleh menerima sedekah. Dalam kondisi yang demikian, maka khalifah mendeklarasikan bahwa pemasukan yang dikumpulkan dari zakat hendaknya dipergunakan untuk pembebasan budak. [94]

Studi yang mendalam tentang delapan orang yang berhak menerima zakat, memberikan gambaran bahwa kemiskinan merupakan hal yang sering menimpa mereka. Coba kita renungkan dan pikirkan secara mendalam tentang instrumen zakat. Ia tak lain sebagai instrumen yang dibangun Al-Qur’an untuk menghapuskan kemiskinan. [95]  Disana masih banyak hadits yang mengulas tentang kewajiban-kewajiban lain selain zakat dan berhubungan dengan penghapusan kemiskinan ini. [96] Dana zakat bisa saja digunakan untuk mereka yang dibebani hutang dan tidak sanggup membayar, meskipun orang yang berhutang itu memiliki rumah, pelayan dan kuda sendiri (kendaraan). [97]

Para ahli ekonomi sepakat bahwa cara-cara eksploitatif dalam pengambilan bunga merupakan penyebab utama atas terjadinya ketidakmerataan dan ketidakadilan distribusi kekayaan. [98]  Ekonomi yang hanya berorientasi hasil (profit) semata hanya akan menghambat pemerataan kesejahteraan masyarakat. [99] Dengan menghapuskan riba, Al-Qur’an telah membangun landasan pemerataan dan distribusi kekayaan yang adil, dimana hal tersebut merupakan tuntutan esensial bagi usaha penghapusan kemiskinan. [100]

Penghapusan kemiskinan adalah tugas bersama yang harus dipikul oleh masyarakat dan negara. Sistem jaminan sosial Islam mengharuskan tercapainya kepuasan penuh kebutuhan dasar seluruh anggota masyarakat. [101] Mengomentari ayat 1 – 7 surat 107, Fazlur Rahman menegaskan seseorang yang shalat dianggap hipokrit, manakala dia tidak mau peduli terhadap nasib orang-orang miskin. [102]  Karena harta dan kekayaan itu tak lain adalah karunia Allah, maka pemiliknya hendaknya menunjukkan rasa terima kasihnya dengan sikap dermawannya pada orang yang tidak memiliki keberuntungan seperti dirinya. [103]

c. Pemicu dan Pemacu Aktivitas Bisnis

Aktivitas bisnis tidak akan pernah berhasil dan maju di dalam sebuah masyarakat, jika anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk dibelanjakan. Faktor produksi dan konsumsi, dua hal paling determinan untuk keberhasilan bisnis, sangat tergantung terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Jika tidak ada konsumsi, maka secara otomatis tidak mungkin akan ada produksi. Begitu juga jika masyarakat tidak memiliki daya beli, maka dapat dipastikan semua produksi akan juga terhenti. Ini menunjukkan betapa vitalnya hubungan antara kesehteraan umum yang ada dalam masyarakat dengan berkelangsungan aktivitas bisnis. Dengan demikian, penekanan Al-Qur’an terhadap pentingnya infak memainkan peran yang sangat desisif dalam hal distribusi kekayaan, penghapusan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan umum dan tentu saja menggerakkan aktivitas bisnis. Maududi menegaskan bahwasanya penggunaan kekayaan untuk orang-orang yang membutuhkan, memberikannya sebagai derma kepada orang-orang yang miskin dan mereka yang membutuhkan, memberikan pinjaman yang baik (qardh hasan) pada orang miskin, mengembangkan sistem keuangan tanpa riba dan berbentuk patnership (syarikah), akan melahirkan booming dalam sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian, serta akan meningkatkan GNP. [104]

Melalui kewajiban berinfak pada satu sisi dan pelarangan riba pada sisi yang lain. Al-Qur’an menginginkan adanya sebuah distribusi kekayaan yang adil yang akan melahirkan sebuah masyarakat sejahtera, yang dampaknya adalah terpacunya kemajuan aktivitas bisnis. [105]  Husain menegaskan bahwa emansipasi individu dan kolektif manusia, di dunia dan di akhirat, berada dalam prinsip yang diletakkan Al-Qur’an “distribusi kekayaan yang lebih dari kebutuhan”. [106] Instrumen infak adalah instrumen ampuh untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi mereka yang membutuhkan, tanpa harus terjerat dalam jaringan ganas riba. Infak akan memberi bantuan pada masyarakat umum, dengan demikian ia akan membantu memberi fasilitas bagi kemajuan aktivitas bisnis dan transaksi yang halal dan legal, disampinh akan menghindari manusia dari riba. Sebaliknya, ketiadaan instrumen infak ini akan menghasilkan depresi ekonomi yang memaksa segmen masyarakat kelas tak berpunya, terpaksa untuk “terjun bebas” ke jurang riba. [107]

Babili mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infak dan perdagangan (bay’). Ayat 275 surat Al-Baqarah yang membolehkan perdagangan dan mengharamkan riba secara bersamaan dengan didahului anjuran untuk berinfak, merupakan peringatan implisit bahwa saat seseorang sudah tidak mengeluarkan infak, bisa saja akan menimbulkan sebuah destruksi total, atau minimal kelumpuhan aktivitas bisnis. Dalam ayat 254 surat Al-Baqarah, juga dipaparkan hubungan erat antara infak, rizki dan perdagangan. Ini juga memberikan jaminan secara implisit bahwa pembelanjaan harta yang Allah berikan akan menimbulkan booming bisnis. [108]

Investasi dalam produksi massal hanya akan memberikan keuntungan jika masyarakat memiliki daya untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi. Jika tidak ada infak dari orang-orang yang kaya, karena mereka lebih mengkonsentrasikan diri untuk mengumpulkan kapital yang lebih banyak, baik dengan cara mereka pinjamkan dalam bentuk pinjaman ribawi maupun mereka investasikan dalam produksi-produksi, maka pembelian barang-barang produksi akan turun dengan drastis. Contohnya adalah sangat sederhana, “jutaan manusia tidak akan membeli hasil produksi mereka karena mereka tidak memiliki uang, sedangkan segelintir orang yang memiliki uang juga tidak akan membelanjakan karena mereka ingin kembali berinvestasi lebih lanjut untuk sebuah produksi baru atau mereka mengembangkan uang mereka lewat pinjaman ribawi. [109] Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan masyarakat membutuhkan adanya sebuah distribusi kekayaan yang adil dan fair. Namun dalam masyarakat yang berorientasi kapitalis, mimpi akan adanya distribusi yang adil akan sulit untuk diaktualisasikan. Para ekonom sepakat bahwa untuk mencapai tujuan ini maka interest (bunga) hendaknya diturunkan ke titik nol, Lord Keyness, seorang ekonom yang memiliki pandangan sangat tajam tentang peran bunga, menyatakan keyakinannya bahwa pekerjaan penuh tidak akan dicapai kecuali dengan tarif bunga itu diturunkan pada titik nol. [110] Semua menyebutkan, bahwa apa yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Al-Qur’an adalah dalam rangka menghapuskan konsentrasi kekayaan dan mewujudkan pembagian kekayaan secara merata, sehingga yang akan memainkan peranan positif bukan saja dalam sekuritas finansial masyarakat, namun juga bagi perkembangan aktivitas bisnis.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

(selesai)

Referensi:

  1. Maududi, op.cit. 149-153.
  2. Al-Qur’an : 51 : 6, 141.
  3. Untuk mendapatkan hadits-hadits yang bersangkut paut dengan hal ini, lihat Abdul Hadi, op.cit., 183.
  4. Al-Qur’an : 49 : 10.
  5. Al-Qur’an : 61 : 4.
  6. Al-Qur’an : 59 : 9. Lihat Fazlur Rahman, op.cit., 42.
  7. Al-Qur’an : 89 : 15-20.
  8. Fazlur Rahman, op.cit., 40.
  9. Untuk lebih mendapat penjelasan yang lebih rinci, lihat Khafaji, op.cit., 74-75.
  10. Untuk melihat lebih lanjut hadits-hadits yang relevan dengan bahasa ini lihat Abdal’ati, op.cit., 124-125.
  11. Untuk membahas yang lebih detail tentang sumber-sumber koleksi dan cara-cara distribusi lihat Al-Mubarak, op.cit., 146-56.
  12. Fazlur Rahman menulis : “Tak dapat diragukan lagi bahwasanya tujuan sentral dari Al-Qur’an adalah untuk membangun sebuah sistem sosial yang berdasarkan atas keadilan dan etika.” Fazlur Rahman, op.cit., 37.
  13. Lihat Syihab, op.cit., 34.
  14. Ibid., 87..
  15. Al-Mubarak, op.cit., 72-74; Lihat Mufti Syafi’, op.cit., 17, 21, 22; dan Maududi, op.cit., 111-12.
  16. Lihat Muhajir, op.cit. 155.
  17. Lihat Fazlur Rahman, op.cit. 47.
  18. S.A. Irsyad : The Economi System for Interest-free Economic Society”, dalam buku Al-Islam wa al-Mu’dilat al-Ijtima’iyyah al-Haditsah (Kairo : Daar al-Kutub Al-‘Arabi, tanpa tahun, hal. 73).
  19. Lihat Babilli, op.cit., 126.
  20. Lihat Khallaf, op.cit., 29-30.
  21. Lihat Babilli, op.cit. 39-40.
  22. Lihat Mufti Syafi’, op.cit. 154.
  23. Lihat Ath-Thahawi, op.cit., 154
  24. Lihat Ath-Thahawi, op.cit. 161.
  25. Lihat Syihab, op.cit. 84.
  26. Lihat Teks-teks hadits yang berhubungan dengan hal ini, dalam kutipan S.M Yusuf, op.cit., 60, yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
  27. Lihat Syihab, op.cit. 84.
  28. Pernyataan Ahmad dalam masalah ini, memberikan sebuah penegasan: “jika kita bisa mendapatkan jalan untuk menghapuskan ekploitasi riba, maka elemen eksploitasi di dalam kategori distribusi seperti keuntungan dan penyewaan secara otomatis akan mati, pekerjaan ini secara penuh akan menjadi sebuah kebutuhan teknis. Gaji akan naik, dan keuntungan serta penyewaan akan jatuh bersamaan dengan melambungnya harga-harga dan perbedaan dalam pendapat juga akan menyempit. Inilah yang sebenarnya harus ada di dalam negara kita. Ini bisa dicapai tanpa harus mengorbankan sedikit pun dari kebebasan personal dan individu (Lihat: Sh. Mahmud, Social Justice in Islam, Lahore : Institute of Islamic Culture, 1975, hal. 41).
  29. Untuk mendapatkan penjelasan dan contoh yang terperinci, lihat Maududi, op.cit., 263 dan Kharufah, op.cit., 81.
  30. Lihat Khurafah, op.cit., 5; dan Al-alkhi, op.cit., 150. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lanjut tentang Konsep Islam dalam masalah kemiskinan dan cara-cara memeranginya lihat Al-Mubarak, op.cit. 126.
  31. Lihat S.M. Yusuf, op.cit., 59.
  32. Lihat Fazlur Rahman, op.cit. 39.
  33. Lihat Maududi, op.cit., 271.
  34. Ibid, 271. Babilli berpendapat bahwasanya infak akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan akan membawa berkah dan falah (kemenangan) dalam masyarakat. Lihat Babilli, op.cit., 126.
  35. Babilli menegaskan bahwasanya infak akan meningkatkan aktivitas bisnis, mengurangi pinjaman-pinjaman berbau riba, dan akan menghapuskannya, manakala infak itu dilakukan dengan cara-cara yang terorganisir dengan baik. Lihat Babilli, op.cit., 107.
  36. Al-Qur’an : 2 : 219. Lihat : M. Hussain, op.cit. 46.
  37. Lihat Babilli, op.cit., 102-104.
  38. Ibid, op.cit. 104.
  39. Lihat Maududi, op.cit., 262.
  40. Lihat Kharufah, op.cit., 79; dan S.M. Ahmad, op.cit., 45.