Al-Qur'an Mengajak Berbisnis (2)

Serial Ekonomi Islam (1)

Frekuensi Penyebutan Kerja dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menyebutkan tentang kerja, dalam satu konteks dengan yang lainnya, dengan frekuensi yang sedemikian banyak. Bahkan hampir di setiap halaman Al-Qur’an ada yang mereferens pada kerja itu. Sebagai bukti adalah kita mendapatkan sebanyak 360 ayat yang membicarakan tentang amal dan 109 yang membicarakan tentang fi’il (dua kata itu sama-sama bermakna kerja dan aksi). [14] Selain dua kata itu, amal dan fi’il, beberapa terma lain yang di¬ambil dari akar kata yang juga menekankan pada aksi dan kerja kita dapatkan secara ekstensif, seperti akar kata (kasaba), (baghiya), (sa’aa) dan juga (jahada). Frekuensi penyebutan tentang kerja yang demikian banyak ini menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja kreatif dan aktivitas yang produktif di dalam Al-Qur’an.

Al Qur’an Mencela Pemalas dan Pengangguran

Al-Qur’an sangat menentang tindakan malas dan menyia-nyiakan waktu, baik berpangku tangan, tinggal diam atau melakukan hal-hal yang tidak produktif. Al-Qur’an selalu menyeru manusia untuk mempergunakan waktu sebaik mungkin dengan cara menginvestasikannya dalam hal-hal yang akan menguntungkan dan selalu mempergunakannya dalam tindakan-tindakan positif dan kerja produktif. Orang yang tidak mempergunakan waktunya secara baik akan dicela dan dimasukkan pada golongan orang-orang yang sangat merugi. [15]

Islam selalu menyerukan pada setiap orang untuk selalu bekerja dan ber¬juang, serta melarang segala bentuk kemalasan dan pengangguran. [16]

Muslim yang aktif bekerja diberikan sebuah posisi yang demikian penting, bahkan dispensasi dalam ibadah tertentu telah diberikan untuk memberikan kesempatan ia bekerja dengan baik. Ada sebuah pernyataan di dalam Al-Qur’an yang dengan tegas menyatakan dihapusnya sebuah kewajiban shalat tahajjud dalam rangka memberikan kesempatan pada umat Islam untuk melakukan kegiatan bisnisnya di siang hari dalam kondisinya yang segar bugar. [17] Al-Qur’an lebih lanjut menyebutkan bahwasanya siang hari itu adalah waktu dan sarana untuk mencari penghidupan. [18]

Kerja sebagai Satu-satunya Penentu Status Manusia

Dalam pandangan Abdul Hadi, kerja manusia adalah sumber nilai yang rill. Jika seseorang tidak bekerja maka dia tidak akan berguna dan tidak memiliki nilai, adalah sebuah ungkapan yang telah diproklamirkan Islam sejak lebih dari satu milenium yang lalu sebelum para ahli ekonomi klasik mene¬mukan fakta-fakta yang ada. [19] Dalam pandangan Al-Qur’an, kerja (amal) adalah yang menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupan. Sebagaimana hal tersebut diungkap di dalam ayat-ayat berikut:

“Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (Al-An’ aam : 132).

"Dan setiap mereka mendapat derajat menurut apa yang telah mere¬ka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pe¬kerjaan pekerjaan mereka sedang mereka tidak dirugikan." (Al¬Ahqaaf : 19).

Dengan kata lain, kerja adalah satu-satunya kriteria, disamping Iman, dimana manusia bisa dinilai untuk mendapatkan pahala, penghargaan dan ganjaran.

Al-Qur’an penuh dan sering serta berkali-kali mendesak manusia untuk bekerja. Semua insentif yang ada diperuntukkan untuk manusia agar dia ter¬libat dalam semua aktivitas yang produktif. [20]

Al-Qur’an mendesak untuk kerja keras dan menjanjikan pertolongan Allah dan petunjuk-Nya bagi mereka yang berjuang dan bekerja dengan baik. [21] Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an menjanjikan pahala yang berlimpah bagi seorang yang bekerja dengan memberikan pada mereka insentif (reward) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya. [22]

Al-Qur’an juga menyerukan pada semua orang yang memiliki kemampuan fisik untuk bekerja dalam usaha mencari sarana hidup untuk dirinya sendiri. Tak seorang pun dalam situasi normal, dibolehkan untuk meminta-minta atau menjadi beban kerabat, sahabat dan negara sekalipun. Al-Qur’an sangat menghargai mereka yang berjuang untuk mencapai dan memperoleh karunia Allah. Apa yang disebut karunia ini adalah meliputi segala macam sarana kehidupan. [23] Rasulullah mengajarkan pada umatnya agar setiap keluar dari mesjid hendaknya membaca: “Ya Allah! Saya mohon karunia-Mu.” Doa ini adalah sebagai peringatan dan sekaligus sebagai dorongan bagi umat Islam untuk selalu mencari dan berjuang mendapatkan sarana hidup. [24] Etika Islam, menurut Al-Faruqi, dengan jelas menentang segala bentuk minta-minta, menentang tindakan cara hidup parasit yang memakan keringat orang lain. Sunnah Rasulullah memaparkan pada kita bahwasanya bekerja giat sangatlah dihargai, sedangkan pengangguran sangatlah dikutuk. [25]

Rasulullah saw menyatakan bahwasanya orang yang mencari nafkah hidupnya untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang terus beribadah sepanjang waktu, lebih baik daripada saudaranya yang hanya beribadah dan tidak bekerja tersebut. [26] Memang ada pernyataan dari Allah bahwasanya para pengemis dan orang-orang yang miskin memiliki bagian dari harta orang-orang yang kaya. Allah menyatakan itu jika benar-benar mereka adalah orang yang berhak untuk mendapatkan bagian itu. [27] Namun itu bukan berarti bahwasanya mereka itu mendapat lisensi selamanya untuk tetap berpangku tangan dan menjadi tanggungan masyarakat secara permanen. "Cobalah ingat sebuah peristiwa yang terjadi pada seseorang bersama Rasulullah," tulis Malik bin Nabi, tatkala Rasulullah memberi nasehat pada seorang sahabatnya, dimana dia datang pada Rasululah meminta haknya. Rasulullah menyuruh dia pergi untuk mengambil kayu lalu menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasulullah ingin mengajarkan pada orang itu bahwa mencari rizki untuk menutupi hajat hidupnya melalui kerja keras lewat tangannya sendiri jauh lebih baik daripada menyandarkan pada "hak"nya tersebut. [28]

Penghormatan Islam Terhadap Kerja dan Pekerja

“Islam," tulis Abdal’ati, "menghormati segala bentuk pekerjaan untuk menghasilkan sarana hidup, sepanjang tidak ada ketidaksenonohan dan tindakan yang salah dan merugikan.” Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

"Seseorang yang mengambil seutas tali, lalu memotong ranting pohon dan mengikatnya dengan tali itu, lalu menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyedekahkannya adalah lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain. Baik orang yang dia minta itu memberi ataupun menolak." (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).

Rasulullah menyebutkan bahwa perilaku menggantungkan diri pada orang lain adalah "dosa (religous sin), cacat sosial (social stigma) dan tindakan yang sangat memalukan.” [29]

Perlu kiranya dicatat di sini bahwasanya kerja yang diwajibkan dan dianjurkan Islam adalah kerja yang berkualitas (amal saleh), yang baik dan produktif serta membawa manfaat. Bukannya sembarang kerja. Maka, setiap ajakan kerja dalam A-Qur’an akan selalu dibarengi dengan sifat yang saleh dan baik. [30] Yang juga pantas untuk menjadi catatan adalah bahwasanya semua pekerjaan, yang baik maupun yang buruk pastilah dimintai pertanggungjawabannya. Setiap orang akan memetik apa yang dia tanam. Sebagaimana firman Allah,

”Pada hari itu semua orang keluar dari kuburnya dalan keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat atom pun, niscaya dia akan mendapat (balasan)nya. Dan barang siapa yang inengerjakan kejahatan seberat atom pun, niscaya ia akan mendapat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah : 6 -8). [31]

Al-Qur’an dan Bisnis

Bukti bahwa bisnis begitu penting tidak hanya ada dalam pernyataan, namun ia juga ada dalam sikap dan konsiderasi khusus yang disetujui Al-Qur’an.

Al-Qur’an menggunakan terminologi bisnis sedemikian ekstensif. Terma komersial ini, memiliki dua puluh macam terminologi, yang diulang sebanyak 370 kali di dalam Al-Qur’an. Terma-terma yang sedemikian banyak itu merupakan terma bisnis yang penelitiannya dilakukan C. C Torrey saat dia menulis disertasinya yang berjudul: The Commercial-Theological Terms in the Koran. Torrey menyatakan bahwasanya sebagian dari teologi Qur’an mengandung terma-terma bisnis. [33] Menurut Torrey, penggunaan terma bisnis yang sedemikian banyak itu menunjukkan sebuah manifestasi adanya sebuah spirit yang bersifat komersial dalam Al-Qur’an.

Bahwa Al-Qur’an memerintahkan bisnis dalam terma yang sangat eks¬plisit adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Lebih jauh kita mendapatkan banyak instruksi di dalam Al-Qur’an, dalam bentuknya yang sangat detail, tentang praktek bisnis yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Para pakar yang meneliti tentang hal-hal yang ada dalam Al-Qur’an sama-sama mengakui bahwa praktek perundang-undangan Al-Qur’an selalu berhubungan dengan transaksi. [34] Dengan ungkapan lain, ijin yang diberikan dengan berdasarkan pada perundang-undangan, merupakan salah satu bukti dan pertanda betapa aktivitas bisnis itu sangat penting menurut Al-Qur’an.

Haji ke tanah suci adalah satu pilar dan rukun Islam. la merupakan lam¬bang sebuah pengalaman religius dalam kehidupan seorang Muslim, karena ia menggabungkan dimensi ibadah manusia pada Allah secara fisik, spiritual dan materi. Namun demikian A1-Qur’an masih memberikan ijin berbisnis pada saat Haji itu [35] di sela-sela padatnya ritual ibadah tersebut. Artinya, sekali lagi, Al-Qur’an memandang bahwa aktivitas bisnis adalah sebuah aktivitas yang demikian penting.

Ajakan Berbisnis dalam Al-Qur’an

Al¬Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang memotivasi manusia untuk melakukan aktivitas bisnis. Bisnis terutama perdagangan, menurut Al-Qur’an, adalah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan. Al-Qur’an kerap kali mengungkapkan bahwa perdagangan adalah sebuah pekerjaan yang paling menarik. [36] Al-Qur’an, tulis Torrey, dengan jelas menggambarkan perhatiannya yang besar dalam masalah perdagangan. [37] Kitab suci ini dengan lugas mendorong para pedagang untuk melakukan sebuah perjalanan yang jauh dan melakukan bisnis dengan para penduduk di negeri asing. Pekerjaan yang banyak menguntungkan ini dianggap sebagai sebuah karunia yang Allah berikan kepada orang-orang Quraisy. [38]

Al-Qur’an juga menekankan akan pentingnya alat-alat transportasi dan sarana pendukungnya (infrastruktur) yang akan memperlancar sebuah perjalanan bisnis. [39] Kapal disebut berulang-ulang di dalam Al-Qur’an dan dinyatakan sebagai karunia pada manusia, [40] dimana mereka diperintahkan untuk mempergunakannya dalam rangka mencari karunia Allah. [41]

Larangan Berbisnis dengan Tidak Jujur

Al-Qur’an sangat menghargai aktivitas bisnis yang jujur dan adil. Al-Qur’an berulang-ulang mencela dan melarang dengan keras segala bentuk praktek ketidakadilan dalam berbisnis. Tindakan yang tidak fair jauh lebih dikutuk daripada bentuk dosa-dosa yang lain. [42] Hal ini tentu menunjukkan betapa pentingnya sikap fair, jujur dan adil dalam aktivitas bisnis.

Disamping penghormatannya terhadap aktifitas bisnis yang fair, Al-Qur’an juga mengingatkan tentang makna kejujuran dan keadilan dalam perdagangan. Al-Qur’an sangat menghargai aktivitas bisnis dengan selalu menekankan kejujuran dalam hal bargaining. [43]

Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan sifat adil dan fair dinisbatkan pada Allah. Penisbatan sifat itu menunjukkan secara sempurna betapa pentingnya nilai keadilan dan kejujuran dalam Islam. Dimana Allah pun dalam memperlakukan hamba-Nya berdasarkan asas keadilan dan kejujuran tersebut. [44]

Wallahu a’lam bish-shawwab.

(Selesai)

Referensi:

  1. Ath-Thahawi, op.cit. 237: dan Majma’al-Lughah al-‘Arabiyyah, M’ujam AlFazh Al-Qur’an Al Kariim (Kairo, Al-Hay’ah Al-Mishriyyah al-‘Ammah li Ta’liif wa An-Nasyr, 1970, volume: 2. hal. 256 -262), untuk kemudian kami hanya akan sebutkan sebagai Mu’jam.
  2. Al-Qur’an : 103: 1-3. Yusuf Ali menafsirkan; " Jika hidup ini dimetaforakan sebagai bargaining bisnis, maka manusia yang hanya hadir dalam sisi materinya saja, jelas akan merugi. Jika dia mengadakan perhitungan bisnisnya di sore hari, maka akan terlihat bahwasanya dia telah rugi. Bisnis yang dia lakukan akan menampakkan untung jika dia memiliki Iman. yang mendorongnya untuk berbuat baik, dan memberikan kontribusi pada kesejahteraan sosial dengan memberi¬kan arahan dan dorongan pada orang lain untuk berjalan di Jalan yang lurus secara terus me¬nerus," Yusuf Ali, op.cit.: hal. 1783, no. 6263.
  3. Ath-Thahawi. op.cit.. 237.
  4. Al-Quran : 73 : 20. Tahajjud atau shalat malam pada awal periode Islam adalah wajib, namun akhirnya hukum wajibnya ini dihapus. Lihat Al-Baidhawi, op.cit.
  5. Al-Qur’an : 78 : 11. "Kata mencari penghidupan (subsistence) dalam bahasa Inggeris hanya meliput sebagian kecil ide tentang ma’ asy, yang berarti segala bentuk aktivitas kehidupan. Kata hari di sini secara spesifik diungkap sebagai upaya menggambarkan bahwa segala bentuk ak¬tivitas di hari itu bisa diambil dan dilakukan" (Abdullah Yusuf Ali, op. cit.. 1673. no. 5892).
  6. Abdul Hadi, opt. cit., 153
  7. Untuk melihat secara detail. lihat Khallaf, opt.cit.. 168 -170
  8. Al-Qur’an : 29: 6.69.
  9. Al-Qur’an : 3 : 172, 4 : 95; 5 :10: 9 : 120; 11 : 11; 16: 97; 17: 9; 18: 2: 29: 58; 33: 29; 35 7; 39: 74: 41 : 8; 48:29; 84 : 25; 95: 6.
  10. Al-Qur’an : 48 : 29.
  11. Muzaffar Hussien. Motivation for Economics in Islam (Lahore : All Pakistan Islamic Education Congress. 1974, hal. 10-11. Hadits tentang doa Rasulullah ini diriwavatkan oleh Bukhari Muslim.
  12. Lihat Al-Faruqi dalam buku Islamic Perpectives. op. cit. , 155.
  13. Lihat hadits ini sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Hadi, op.cit.. hal. 155
  14. Al-Qur’an : 51 :19.
  15. Malik bin Nabi, Al-Muslim fi ‘Alam Al-Iqtishad (Beirut : Daar asy-Syuruuq, 1974, hal. 106)
  16. Abdal’ati, op.cit.. 126.
  17. Al-Qur’an : 4 : 124: 16 : 97: 18 :30.
  18. Untuk lebih detailnya tentang bahasan ini lihat At-Thahawi, op.cit., 204-41.
  19. Charles C. Torrey. The Commercial-Theological Terms in the Koran (Leyden : E. J. Brill. 1892, 3).
  20. Ibid : 3.
  21. Ibid : 2.
  22. Al-Qur’an : 2 : 198. Lihat juga, Torrey, op.cit.2.
  23. Al-Qur’an : 24: 37:62: 9 dan 9 : 24.
  24. Torrey, op.cit., 2.
  25. Al-Qur an : 106-4.
  26. Al-Qur’an : 16 : 7. 14, 16. Lihat juga. Torrey. op.cit.. 2.
  27. Al-Qur’an : 2 : 159; 14: 32; 16: 14: 17 : 66; 22: 65; 23 : 22; 30 : 46; 31 : 31; 35 : 12; 40 80: 43 : 12; 45 : 12. Juga lihat Torrey, op.cit., 2.
  28. Al-Qur’an : 30: 46. Dalam komentarnya terhadap ayat ini Yusuf Ali mengatakan : Secara fisik, angin bukan saja mendinginkan dan membersihkan udara, serta membawa rahmat dengan tu¬runnya hujan yang dengannya bumi menjadi subiur. Namun lebih dari itu angin juga memban¬tu kontak perdagangan internasional diantara manusia melalui perjalanan laut dan kini lewat udara. Dengan demikian orang yang bisa mempergunakan rahmat Allah maka dia akan bahagia dan sentosa, sementara mereka yang tidak mengerti dan bodoh atas tanda-tanda Allah maka dia akan celaka dan mati dilanda angin topan dan badai (Yusuf Ali, op. cit., 1064, no. 3565.
  29. 83 : 1-9. Jun lihat. Torrey. op.cit., 3.
  30. Al-Qur’an : 6 : 152: 17 :35: 55 : 9. Lihat juga, Torrey, op.cit.. 3.
  31. Al-Qur’an : 42 : 17: 57 : 25: 55 : 7-9. Lihat juga, Torrey. op.cit., 17.