Hisab 1 Sya'ban 1430 H

Dalam kalender Islam, 1 tahun terdiri atas 12 bulan. Allah SWT berfirman

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram." (At-Taubah:36)

Bulan kedelapan dalam kalender Islam adalah bulan Sya’ban. Bulan Sya’ban menjadi penting buat ummat Islam, karena ia menjadi bulan persiapan terakhir sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Dalam ilmu hisab, bulan ini juga begitu penting, terutama untuk menentukan kapan datangnya tanggal 1 Sya’ban. Dengan mengetahui kapan 1 Sya’ban, hal ini menjadi patokan dasar untuk menentukan kapan datangnya tanggal 1 Ramadhan.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang waktu-waktu shalat, menentukan posisi matahari dan bulan. Penulis juga melengkapinya dengan file Excel yang dapat diunduh di

Dengan menggunakan ketiga Excel tersebut (Waktu-Shalat.xls, Posisi-Matahari.xls dan Posisi-Bulan.xls), berikut ini penulis akan menjelaskan bagaimana menghitung hisab untuk 1 Sya’ban 1430 H, meskipun sudah berlalu beberapa hari lalu. Disini sebagai contoh, Jakarta dijadikan sebagai tempat acuan dengan koordinat geografis lintang 6:10 LS dan bujur 106:51 BT (ketinggian 0 meter), serta waktu lokal = UT + 7. Pertama kali kita akan menentukan kapan terjadinya astronomical new moon / ijtimak / konjungsi. Selanjutnya kita akan menentukan kapan terjadinya sunset, serta menghitung posisi matahari dan bulan saat sunset. Sebagai tambahan, akan dihitung pula sudut elongasi dan iluminasi bulan.

Definisi konjungsi adalah ketika bujur ekliptika matahari sama dengan bujur ekliptika bulan. Untuk mengetahui kapan terjadi konjungsi, silakan gunakan dua file Excel, yaitu Posisi-Matahari.xls dan Posisi-Bulan.xls. Secara kebetulan, kita telah mengetahui bahwa pada tanggal 22 Juli 2009 terjadi gerhana matahari. Karena itu pada dua file Excel tersebut, silakan diisi koordinat Jakarta di atas serta masukkan tanggal 22 Juli 2009.

Untuk mengetahui kapan waktu (jam-menit-detik) terjadinya konjungsi, silakan pembaca memasukkan waktu (lokal) pukul 9 lebih 34 menit lebih 59 detik (pukul 9:34:59 waktu lokal Jakarta) pada kedua file Excel tersebut. Pembaca akan memperoleh hasil, bujur ekliptika matahari sama dengan bujur ekliptika bulan, yaitu 119,4425 derajat = 119 derajat 26 menit busur 33 detik busur (119:26:33 derajat). Karena waktu lokal di Jakarta = UT + 7, dengan demikian konjungsi terjadi pada pukul 2:34:59 UT.

Hasil konjungsi geosentrik di atas yaitu pukul 2:34:59 UT sudah cukup baik. Dikatakan demikian karena perhitungan posisi matahari dan bulan dalam file Excel tersebut hanya menggunakan cukup sedikit suku-suku koreksi (kurang dari 10). Hasil ini hanya berbeda sekitar 23 detik saja dari konjungsi yang dihitung dengan menggunakan algoritma VSOP dan ELP yang memberikan hasil konjungsi geosentrik yaitu pukul 2:34:36 UT. Pada algoritma VSOP dan ELP terdapat ribuan suku-suku koreksi. Dengan demikian, kita dapat simpulkan hingga menit terdekat, konjungsi geosentrik terjadi pada tanggal 22 Juli 2009 pukul 2:35 UT atau pukul 9:35 WIB.

Selanjutnya pada tanggal tersebut kita ingin menentukan posisi bulan saat matahari terbenam. Pembaca dapat menggunakan file Waktu-Shalat.xls untuk menentukan waktu maghrib di Jakarta. Dengan memasukkan koordinat Jakarta (ketinggian 0 meter) dan tanggal 22 Juli 2009, diperoleh hasil waktu maghrib terjadi pada pukul 17:53:31 WIB.

Kemudian masukkan waktu pukul 17:53:31 WIB ke dalam file Posisi-Matahari.xls dan Posisi-Bulan.xls. Diperoleh hasil, altitude matahari adalah minus 0:49:37 derajat dan azimuth matahari 290:13:41 derajat. Sementara itu altitude bulan adalah 4:1:21 derajat dan azimuth bulan 289:19:33 derajat.

Hasil di atas akan dibandingkan dengan algoritma VSOP dan ELP. Algoritma VSOP memberikan hasil altitude matahari adalah minus 0:49:45 derajat dan azimuth matahari 290:13:40 derajat. Jadi antara file Posisi-Matahari.xls dengan algoritma VSOP, selisih untuk altitude dan azimuth matahari berturut-turut adalah 8 detik busur (0,002 derajat) dan 1 detik busur (0,0003 derajat). Sementara itu algoritma ELP memberikan hasil altitude bulan adalah 4:1:34 derajat dan azimuth bulan 289:18:30 derajat. Jadi antara file Posisi-Bulan.xls dengan algoritma ELP, selisih untuk altitude dan azimuth bulan berturut-turut adalah sekitar 13 detik busur (0,004 derajat) dan 63 detik busur (0,018 derajat). Paparan dan perbandingan hasil di atas menunjukkan nilai altitude dan azimuth bulan dan matahari yang relatif cukup akurat.

Hasil di atas menunjukkan bahwa pada saat matahari terbenam, ketinggian bulan berada sekitar 4 derajat di atas ufuk. Saat itu bulan belum terbenam. Pada tanggal 22 Juli 2009 tersebut, bulan terbenam di Jakarta pada pukul 18:10:35 WIB, atau 17 menit 4 detik setelah matahari terbenam. Pada saat bulan terbenam tersebut, altitudenya sama dengan 0:10:37 derajat. Untuk menentukan kapan bulan terbenam, carilah waktu ketika altitude bulan = 0,7275*Parallaks – 34 menit busur. Masalah cara menentukan kapan bulan terbit, transit dan terbenam Insya Allah dibahas pada kesempatan lain.

Paparan di atas memberikan hasil pada tanggal 22 Juli 2009, konjungsi (pukul 9:34:59 WIB) terjadi sebelum sunset di Jakarta (17:53:31 WIB), serta moonset di Jakarta (pukul 18:10:35 WIB ) terjadi setelah sunset (17:53:31 WIB). Bagi yang menggunakan kriteria bulan baru (new month, bukan new moon) adalah hisab konjungsi terjadi sebelum sunset dan moonset setelah sunset berapapun altitude bulan, maka tanggal 22 Juli 2009 maghrib sudah dinyatakan sebagai tanggal 1 Sya’ban 1430 H.

Akan tetapi, bagi yang menggunakan kriteria bulan baru adalah hisab tidak saja konjungsi terjadi sebelum sunset dan moonset setelah sunset terlihatnya hilal (ru’yat), tetapi juga sudut elongasi bulan-bumi-matahari harus melebihi limit Danjon (sekitar 7 derajat) dan iluminasi bulan melebihi 1%, maka tanggal 22 Juli 2009 maghrib belum bisa dinyatakan sebagai tanggal 1 Sya’ban 1430 H. Berikut ini paparannya.

Untuk mengetahui sudut elongasi bulan-bumi-matahari, dapat digunakan rumus separasi sudut (angular separation) yang dirumuskan

COS(elongasi) = SIN(altitude matahari)*SIN(altitude bulan) + COS(altitude matahari)*COS(altitude bulan)*COS(azimuth matahari – azimuth bulan).

Hasilnya, sudut elongasi bulan-bumi-matahari sama dengan 4,9326 derajat atau 4:55:57 derajat. Nilai ini hanya berbeda sekitar setengah menit busur dari perhitungan algoritma VSOP dan ELP yang memberikan hasil 4:56:29 derajat. Ternyata, sudut elongasi 4:55:57 derajat masih di bawah limit Danjon (7 derajat) yang merupakan batas minimal secara statistik agar hilal dapat dilihat.

Selanjutnya, dihitung pula nilai iluminasi bulan, yaitu berapa banyak luas permukaan cakram bulan yang terkena sinar matahari dibandingkan dengan luas permukaan cakram bulan. Disini harap dibedakan antara luas permukaan cakram bulan (berbentuk lingkaran) dengan luas permukaan bulan (berbentuk kulit bola). Saat konjungsi, iluminasi bulan sama dengan 0 %, sedangkan saat purnama, iluminasinya 100 %.

  • Rumus iluminasi bulan dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.
  • COS(Psi) = COS(Beta2)*COS(Lambda1 – Lambda2)
  • TAN(i) = Jarak1*SIN(Psi)/(Jarak2 – Jarak1*COS(Psi)).
  • Iluminasi (k) = (1 + COS(i))/2.

Disini, Lambda1 dan Jarak1 berturut-turut adalah bujur ekliptika matahari dan jarak matahari-bumi. Sedangkan Beta2, Lambda2 dan Jarak2 berturut-turut adalah lintang ekliptika bulan, bujur ekliptika bulan dan jarak bulan-bumi. Psi adalah sudut elongasi bulan-bumi-matahari (Sudut Psi bisa pula dikatakan sama dengan sudut elongasi). Sementara i adalah sudut fase bulan (sudut matahari-bulan-bumi) yang nilainya antara 0 hingga 180 derajat. Jika i negatif, tambahkan dengan 180 derajat. Dengan menggunakan tanggal 22 Juli 2009 pukul 17:53:31 WIB saat matahari terbenam di Jakarta, dari file Excel tersebut diperoleh data Lambda1 = 119:46:23 derajat, Jarak1 = 151988568 km, Beta2 = minus 0:23:52 derajat, Lambda2 = 124:41:36 derajat, Jarak2 = 357481 km. Akhirnya berturut-turut diperoleh hasil: COS(Psi) = 0,996291029. SIN(Psi) = 0,086047571. TAN(i) = -0,086572293. Sudut fase bulan (i) = -4,9478905 derajat = 175,0521095 derajat. Akhirnya iluminasi bulan (k) = 0,186%.

Nilai iluminasi bulan sebesar 0,186% atau dibulatkan 0,19% tepat sama dengan hasil perhitungan algoritma VSOP-ELP. Nilai ini jauh lebih kecil daripada batas ambang nilai iluminasi bulan minimal yang memungkinkan untuk dilihat dengan mata manusia, yaitu sekitar 1%. Karena itu, Odeh (Accurate Times) menyatakan bahwa berdasarkan kriteria tersebut, The Crescent Visibility is Not Visible Even With Optical Aid (Bulan sabit tidak dapat dilihat bahkan dengan bantuan alat optik). Jadi, menurut kriteria limit Danjon dan iluminasi bulan, di Jakarta tanggal 22 Juli 2009 maghrib belum dapat dinyatakan sebagai tanggal 1 Sya’ban 1430 H. Menurut kriteria ini, barulah pada sehari sesudahnya yaitu tanggal 23 Juli 2009 saat matahari terbenam, hasil hisab menunjukkan altitude bulan cukup besar yang sangat memungkinkan untuk dilihat. Dengan menggunakan cara yang sama seperti di atas, pada tanggal 23 Juli 2009 di Jakarta saat matahari terbenam pada pukul 17:53:39 WIB, altitude bulan hampir mencapai 18 derajat di atas ufuk, dan akhirnya bulan terbenam pada pukul 19:10:14 WIB.

Selanjutnya, secara singkat dapat ditunjukkan bahwa di seluruh Indonesia pada tanggal 22 Juli 2009 saat matahari terbenam, bulan berada pada altitude dan elongasi antara 4 hingga 5 derajat, yang berarti masih berada di bawah limit Danjon. Iluminasi bulan rata-rata cukup rendah, sekitar 0,1 hingga 0,2 %, yang berarti masih jauh di bawah limit rata-rata kemampuan manusia untuk melihat hilal.

Jadi, secara singkat dapat dikatakan, jika penentuan 1 Sya’ban 1420 H menggunakan kriteria hisab konjungsi terjadi sebelum sunset dan moonset setelah sunset berapapun altitude bulan, maka 1 Sya’ban 1430 H di Indonesia jatuh pada tanggal 22 Juli 2009 maghrib atau secara efektif tanggal 23 Juli 2009.

Sementara itu jika penentuan 1 Sya’ban 1420 H menggunakan kriteria konjungsi terjadi sebelum sunset dan moonset setelah sunset, serta elongasi di atas limit Danjon dan iluminasi bulan di atas 1%., maka 1 Sya’ban 1430 H di Indonesia jatuh pada satu hari sesudahnya, yaitu 23 Juli 2009 maghrib atau secara efektif tanggal 24 Juli 2009.

Adapun, jika penentuan 1 Sya’ban 1420 H menggunakan hasil eksperimen yaitu pengamatan hilal, maka penetapan 1 Sya’ban 1420 H adalah ketika pada saat maghrib tanggal 22 atau 23 Juli, hilal berhasil dilihat. Atau jika tidak berhasil dilihat, maka digunakanlah langkah istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Rajab menjadi genap 30 hari. Tentu saja, untuk dapat menentukan tanggal 29 atau 30 bulan Rajab, maka tanggal 1 Rajab harus terlebih dahulu ditetapkan. Demikian pula untuk bulan-bulan sebelumnya, dan begitu seterusnya. Laporan dari sejumlah praktisi dan pengamat hilal yang tergabung dalam Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) menyatakan bahwa pada 22 Juli 2009 maghrib, hilal gagal dilihat di sejumlah tempat di Indonesia. Sedangkan pada sehari sesudahnya, hilal dengan mudah dilihat.

Paparan di atas yang sederhana dalam menjelaskan perhitungan astronomis dan matematis dalam menentukan tanggal 1 Sya’ban 1430 H tentu saja tidak komprehensif untuk menjabarkan detil-detil seputar perbedaan pendapat dalam menentukan tanggal satu. Insya Allah penulis akan mencoba menjabarkan lebih detil pada kesempatan lain.

Secara singkat menurut hemat penulis, dalam masalah ini ada dua domain yang bekerja, yaitu domain saintifik dan domain agama. Untuk mudahnya dalam membandingkan antara kedua domain tersebut dalam hubungannya dengan bulan, domain saintifik berhubungan dengan perhitungan dan pengamatan moon (al-qamar dalam bahasa Arab atau tsuki dalam bahasa Jepang). Sementara domain agama berkaitan dengan penetapan month (asy-syahru atau getsu). Kedua jenis "bulan" tersebut tentu saja berbeda, namun memiliki kaitan erat.

Dalam hal ini, domain penulis disini adalah domain saintifik yaitu menghitung posisi benda langit (matahari dan bulan), serta menguji apakah suatu eksperimen (pengamatan hilal) benar-benar mengamati obyek yang dimaksud. Sebab sangat mungkin, sesuatu yang dianggap hilal ternyata jika diteliti lebih lanjut sesungguhnya bukan hilal, jika dilihat dari data astronomis (waktu pengukuran, altitude, azimuth, sudut kemiringan bulan sabit).

Adapun domain kedua, yaitu domain agama dalam menentukan tanggal 1 bulan-bulan Islam, disini adalah domain ulul amri dan alim ulama. Ini diluar domain penulis. Metode dan cara manakah yang akan diambil oleh ulul amri dan alim ulama, menurut pendapat penulis, hal itu menjadi kewenangan mereka. Sejauh pengetahuan penulis ada banyak kriteria yang sejauh ini berlaku dan tersebar di berbagai negara muslim, seperti hisab dengan kriteria konjungsi setelah shubuh, hisab kriteria konjungsi sebelum sunset dan moonset setelah sunset, hisab kriteria limit Danjon, hisab berdasarkan zona wilayah dunia, rukyat global, rukyat lokal, rukyat mutlak tanpa mempertimbangkan hisab sama sekali meskipun pengujian ilmiah menunjukkan hasil rukyat tersebut bertentangan dengan perhitungan astronomis, kriteria merujuk kepada keputusan Arab Saudi, dan lain-lain. Meskipun demikian, banyaknya kriteria yang disebutkan di atas tetap memungkinkan untuk didiskusikan dan dicari titik temu agar lebih mendekatkan kepada kebenaran dan kesesuaian dengan teks-teks dalil agama serta mengedepankan semangat keummatan dan ukhuwwah Islamiyah.

Semoga paparan singkat di atas bermanfaat dan menambah wawasan.

DR. Rinto Anugraha ([email protected]

Saat ini sebagai peneliti pasca doktoral dalam bidang Nonlinear Physics di Kyushu University, Fukuoka, JAPAN. Dan juga merupakan dosen fisika di Universitas Gajah Mada