Senjata itu Bernama Manajemen (Bagian 2)

“In the last analysis management is practice.
Its essence is not knowing, but doing.
Its test is not logic, but result.
Its only authority is performance”
– Peter Drucker –

Si Fulan yang punya toko kelontong lelah hidup seadanya. Ia ingin agar dagangannya laris-manis, agar ia segera “naik kelas” menjadi orang kaya. Atas saran beberapa teman sekampung ia pergi ke sebuah dusun di kaki Gunung Lawu, menemui seorang dukun yang konon sakti mandraguna. Dukun itu merapal beberapa mantra. Tentunya ditingkahi oleh asap kemenyan dan suasana magis yang mencekam. Si Fulan juga dititahkan untuk mandi kembang tujuh rupa, di samping dioleh–olehi beberapa jenis jimat. Ternyata “proses” yang dijalani si Fulan memang ampuh. Tak berapa lama orang berbondong-bondong membeli dagangannya. Dapatkah dikatakan si Fulan telah menerapkan manajemen? Tentu tidak. Bukankah ia telah menempuh proses? Ya. Bahkan proses yang lumayan “serius” dan “berat.”

Namun proses bukanlah satu-satunya rambu manajemen. Ada rambu yang kedua, yaitu sistematis dan logis. Bisa saja, walaupun agak dipaksakan, dikatakan bahwa proses yang dilalui oleh Fulan bersifat sistematis. Namun bagaimanapun tidak logis. Logika ilmu pengetahuan, kecuali ilmu sihir tentunya, tidak dapat menjelaskan apa hubungannya merapal mantra, mandi kembang, mempersembahkan sesajian, atau menyimpan jimat, dengan perniagaan si Fulan yang jadi marak dan meriah. Bahkan sistematis pun sebenarnya tidak. Karena resep yang diberikan si mbah dukun kepada si Fulan konon tergantung pada apa yang dibisikkan para peliharaannya ketika si Fulan menghadap. Artinya, kalau di kemudian hari ada pasien lain, walaupun dengan kebutuhan yang sama, sangat boleh jadi si mbah akan menuturkan jalan keluar yang berbeda. Intinya, tak ada pola yang menghubungkan antara keluhan pasien dengan treatment yang diberikan. Dalam kacamata agama, perbuatan si Fulan adalah syirik. Dalam sudut pandang manajemen, ini lagi-lagi bentuk mismanagement!

Dalam kehidupan sehari-hari yang lebih umum kita lihat betapa banyak masalah, kekusutan, kekacauan, kesimpang-siuran yang membuat masyarakat kehilangan kebahagiaan, ternyata bersumber dari proses – bentuknya bisa berupa sistem, mekanisme, prosedur, aturan, dan lain-lain – yang tidak sistematis (baca: acak-acakan, melompat-lompat, tidak punya alur yang masuk akal), dan juga tidak cukup ditopang oleh dasar logika yang sehat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa waktu yang lalu saya punya tugas mengisi training di Surabaya. Sayangnya saya terlambat tiba di check-in counter Bandara Soekarno–Hatta karena taksi yang saya tumpangi mengalami pecah ban di jalan tol. Karena belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya, saya bertanya kepada petugas dari airline terkait mengenai apa yang semestinya saya lakukan. Hasilnya, saya pusing! Saya di ping-pong dari satu counter ke counter yang lain, dari satu orang ke orang yang lain, dari satu loket ke loket yang lain. “Coba bicara pada Mbak yang di sana Pak.” “Coba ke loket reservasi Pak.” “Coba ke counter nomor 24 Pak.” Astagfirullah! Mbak yang bertugas di loket reservasi melayani saya dengan wajah galak, suara ketus, dan gaya setengah hati. “Pak, karena terlambat, jika Bapak ingin dimasukkan ke flight berikutnya Bapak terkena denda 75% dari harga tiket plus biaya up-grade sebesar sekian rupiah, sehingga totalnya sekian rupiah. Nanti dibayar di counter 24.” What?! Lebih dari dua kali lipat harga tiket saya sebelumnya!

Lalu, sesuai petunjuk si Mbak yang “pedas” itu saya kembali ke counter 24. Mbak yang ada di sana – paling tidak dia jauh lebih ramah – menanyakan berapa biaya tambahan yang dikenakan pada saya. Mendengar jumlah yang saya sebutkan, Mbak yang ramah itu berkata, “Wah, Bapak tidak perlu bayar sejumlah itu. Cukup setengahnya saja kepada kami. Di sini nama Bapak sudah saya tuliskan. Dan statusnya sudah saya buat CF (confirmed) untuk penerbangan berikut jam 13:30. Bapak tinggal datang. Sebutkan nama, bayar, dan berangkat.” Ajaibnya, pada saat saya datang lagi ke counter 24 menjelang pukul 13:30 “Miss Ramah” itu tak ada di sana, dan nama saya tidak tercantum di dalam daftar cadangan, apalagi dengan status confirmed. Macet bukan?! Alhasil, saya gagal berangkat ke Surabaya pada hari itu.

Mari kita bayangkan, apa derita umat, masyarakat, dan bangsa, jika mereka yang berada dalam posisi memimpin tidak punya kemampuan berpikir proses secara sistematis dan logis? Ya, mungkin mirip sekali seperti kondisi kita hari-hari ini. (Bersambung.)