Hidayah (Petunjuk) dan Dholalah (Kesesatan) (2)

1. Pengertian Dholalah (Kesesatan)

Dholalah juga dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang berarti “kesesatan atau tidak beruntung”. Akar katanya ialah : ضل – يضل –ضلالا – ضلالة – (dholla, yadhillu, dhlaalan dan dholaalatan ). Dholalah secara bahasa artinya kesesatan/tersesat Lawan katanya adalah : هداية (hidaayatan) yang berarti dapat petunjuk. Secara istilah (terminologi), Dholalah/Kesesatan ialah penyimpangan dari petunjuk atau jalan yang lurus atau jalan yang benar (Allah). Pengertian seperti ini dapat kita pahami melalui firman Allah surat Al-An’am berikut :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (116)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Q.S. Al-An’am (6) : 116)

Dalam Al-Qur’an, kata Dholalah dengan berbagai pecahannya terdapat sebanyak 151 ayat. Adapun dalam Hadit Rasulullah, terdapat sebanyak 34 kali. Pengertian Dholalah dalam Al-Qur’an tidak kurang dari sembilan makna seperti; tergelincir, kerugian, kesengsaraan, kerusakan, kesalahan, celaka, lupa, kebodohan dan ksesatan sebagai lawan kata Hidayah (Petunjuk).

2. Macam-Macam Dholalah (Kesesatan)

Sebagaimana Hidayah terdiri dari empat macam, maka Dholalah (Kesesatan) juga terbagi menjadi empat macam, yaitu :

1. Dholalah I’tiqodiyah (Kesesatan Terkait Keyakinan Hidup), seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’ berikut :
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (116)
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya."
(Q.S. An-Nisa’ (4) : 116)

2. Dholalah Thoriqiyah (Kesesatan Terkait Jalan Hidup) seperti firmana Allah dalam surat Al-Ahzab berikut :
۞ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (36)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,dalam keadaan sesat yang nyata.”
(Q.S. Al-Ahzab (33) : 36)

3. Dholalah ‘Amaliyah (Kesesatan Terkait Aktivitas Hidup) seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’ berikut :

وَلأُضِلَّنَّهُمْ وَلأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأَنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (119)

Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya". Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata (119)
(Q.S. An-Nisa’ (4) : 119)

4. Dholah Ilhamiyah (Insting Hewani). Dholalah Ilhamiyah ini terkait dengan kecendrungan alami yang ada dalam diri manusia untuk melakukan penyimpangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau merugikan diri mereka atau orang lain, atau berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Realisasinya tergantung atas pilihan mereka sendiri. Sumbernya adalah hawa nafsu yang ada dalam diri mereka. Allah menjelaskan dalam surat Al-Balad berikut :

۞ أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (8) وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (9) وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (10)
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata (8) Dan lidah beserta dua bibir (9) Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebaikan dan jalan keburukan) (10)” (Q.S. Al-Balad (90) : 8 – 10)

3. Otoritas Hidayah dan Dholalah

Sebagai Pencipta Tunggal alam semesta, termasuk manusia, Allah adalah Pemilik otoritas Hidayah dan Dholalah. Sebab itu, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu memberikan Hidayah kepada seseorang kendati manusia yang paling dicintainya, termasuk Rsulullah Saw. Allah menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ (149)
"Katakanlah: "Allah mempunyai hujah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya" (Q.S. Al-An’am (6): 149)

Peristiwa yang dialami paman Nabi bernama Abu Thalib yang tidak kunjung mau mengucapkan dua kalimah syahadat ( أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله ) beberapa saat sebelum meninggal, kendati Rasululllah telah memintanya berkali-kali untuk mengucapkanya dan dijamin masuk Syurga, merupakan bukti bahwa Beliau tidak memiliki kemampuan memberikan Hidayah kepada siapapun, kendati kepada orang yang sangat ia cintai. Sebab itu, Nabi Muhammad sangat sedih karena sudah sedemikian banyak dukungan dan bantuan terhadap dakwah Islam yang diberikan pamannya ketika masih hidup. Karena tidak mau mengucapkan dua kalimah syahadat maka nasib paman Beliau di Akhirat kelak akan sama dengan kaum kafir Quraisy lainnya yang membangkang dan menolak dakwah Islam yang disampaikannya. Dalam kesedihan yang mendalam itu, Allah menurunkan firman-Nya untuk menghibur Nabi Muhammad agar bisa meninggalkan kesedihan yang tidak sesuai dengan sistem-Nya. Masalah ini dijelaskan Allah dalam surat Al-Qashas berikut :

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”
(Q.S. Al-Qashash (28) : 56)

Demikian pula dengan Dholalah (kesesatan). Tidak satupun makhluk dari jin, manusia maupun setan yang mampu menyesatkan manusia, khususnya dari Hidayah I’tiqodiyah dan Hidayah Thoriqiyah. Yang mampu mereka lakukan hanya mendorong dan menggoda manusia untuk memilih Dholalah. Sdangkan kuncinya terletak di tangan Allah Tuhan Pencipta. Kunci tersebut akan Allah bukakan bagi manusia yang tertipu, tergoda dan terperdaya oleh setan atau manusia, atau karena mereka yang memilihnya dengan suka rela berdasarkan hawa nafsu dan kebodohan diri mereka sendiri.

Sejarah manusia, baik sebelum kenabian Muhammad Saw, maupun setelah kenabian Beliau, penuh dengan fakta orang-orang yang kukuh mempertahankan Hidayah dan keimanan mereka, kendati menghadapi tekanan, teror dan bahkan ancaman penjara, pengusiran dan pembunuhan. Mayoritas Nabi dan para pengikut mereka yang setia pada kebenaran yang dibawa mereka, menghadapi berbagai ancaman dan teror, khususnya dari para penguasa ketika itu. Bahkan tidak sedikit Nabi yang hendak dibunuh umatnya, termasuk Nabi Muhammad Saw.

Setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw. tercatat pula Bilal Bin Rabah, Ammar Bin Yasir dan sejumlah Sahabat lainnya. Kemudian sejarah juga mencatat bagaimana ulama besar seperti Ibnu Taimiyah, Ahmad Bin Hambal dan sebagainya yang mendapatkan siksaan dari penguasa zalim di zaman itu. Begitulah seterusanya sampai hari ini. Bahkan pada pertengahan abad 20 dan awal abad 21 terdapat sejumlah ulama dan tokoh besar Isalam yang digantung dan dibunuh dengan cara yang amat keji seperti Hasan Al-Banna, Sayid Qutb, Abdul Qodir Audah, Kamaluddin Assananiri (suami Aminah Qutb), Presiden Ziaul haq, Abdullah Azzam, Presiden Dudayef, Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Syamil Basayef dan seterusnya.

Kenapa mereka diperlakukan demikian? Jawabannya ialah karena para pembunuh mereka itu tidak berhasil menjual Dholalah (Kesesatan) yang mereka tawarkan kepada para ulama dan tokoh tersebut. Pada waktu yang sama, Hidayah yang dimiliki para ulama dan tokoh Islam tersebut lebih mereka takuti dari senjata nuklir. Sebaliknya, para ulama dan tokoh Islam itu lebih mencintai kematian di jalan Hidayah dan keimanan ketimbang tunduk kepada kesesatan yang dipaksakan oleh manusia-manusia zalim yang berkuasa. Inilah yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya tetantang sekelompok pemuda yang disebut dengan Ash-habul Kahfi :

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا (17)
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.”
(Q.S. Al-Kahfi (18) : 17)