Bukan Umat Muhammad (2)

Disamping meratap, memusuhi dan menipu umat Islam serta tidak saling menghormati yang menyebabkan seseorang tidak pantas disebut sebagai umat Islam atau umat Nabi Muhammad Saw, masih banyak lagi sifat-sifat buruk lainnya yang harus kita singkirkan dari diri kita masing-masing kalau kita mau diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw. Sifat-sifat itu akan kita bahas melalui tulisan yang singkat ini.

1. PENDENGKI, PENGUMPAT DAN PERDUKUNAN

Muslim antara yang satu dengan lainnya merupakan orang yang bersaudara, karena itu jangan sampai diantara mereka terdapat perasaan atau sikap hasad, dengki atau iri hati. Sifat hasad merupakan sikap yang menunjukkan tidak sukanya seseorang atas kemajuan atau kebaikan yang dicapai orang lain. Karenanya, segala usaha akan dilakukannya untuk menghambat laju pencapaian kemajuan itu. Iapun berusaha untuk menjelek-jelekan orang tersebut dengan mengumpat, yakni membicarakan hal-hal yang buruk dengan maksud penghinaan yang tentu saja tidak disukai oleh orang yang dibicarakannya itu, bahkan kalau cara itu tidak juga bisa menghambat kemajuan, ia tidak ragu-ragu untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aqidah sekalipun, yakni memanfaatkan perdukunan. Ia berusaha untuk menghancurkan kemajuan itu dengan meminta bantuan dukun, sehingga sang dukun tidak segan-segan untuk menuruti apa maunya orang ini, termasuk segala hal yang bisa menyebabkan kematian seseorang. Para dukun bisa menggunakan sihir, santet dan segala perbuatan syaitan lainnya untuk menghambat kemajuan seseorang.

Sikap ini merupakan faktor yang sangat berbahaya, sebab orang seperti ini disamping telah merusah aqidah dirinya, juga bisa merusak aqidah orang lain, khususnya yang masih lemah keimanan dan pemahamannya terhadap nilai-nilai aqidah. Oleh karena itu, orang yang melakukan hal ini tidak bisa diterima sebagai umat Nabi Muhammad saw, beliau bersabda dalam satu haditsnya:

لَيْسَ مِنِّى ذُوْ حَسَدٍ وَلاَ نَمِيْمَةٍ وَلاَ كَهَانَةٍ وَلاَ اَنَا مِنْهُ

Bukanlah termasuk golonganku orang yang memiliki sifat dengki, mengumpat dan perdukunan, demikian pula aku bukan termasuk golongannya (HR.Thabrani).

2. FANATIK PADA KELOMPOK

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia termasuk kaum muslimin hidup dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk latar belakang kelompok, baik karena kesukuan, kebangsaan maupun golongan-golongan berdasarkan organisasi maupun paham keagamaan, hal ini disebut dengan ashabiyah. Para sahabat seringkali dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni Muhajirin (orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan Anshar (orang Madinah yang memberi pertolongan kepada orang Makkah yang berhijrah). Pada dasarnya golongan-golongan itu tidak masalah selama tidak sampai pada fanatisme yang berlebihan sehingga tidak mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan golongan, hal ini karena memang Allah Swt mengakuinya, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS 49:13).

Manakala seseorang memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap golongan sehingga segala pertimbangan dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan golongannya, bukan berdasarkan nilai-nilai kebenaran, maka hal ini sudah tidak bisa dibenarkan, inilah yang disebut dengan ashabiyah yang sangat dilarang di dalam Islam, apalagi bila seseorang sampai mengajak orang lain untuk bersikap demikian, lebih-lebih bila seseorang siap mati untuk semua itu, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakui orang yang demikian itu sebagai umatnya, hal ini terdapat dalam hadits Nabi Saw:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Bukan golongan kamu orang yang menyeru kepada ashabiyah, bukan golongan kami orang yang berperang atas ashabiyah dan bukan golongan kami orang yang mati atas ashabiyah (HR. Abu Daud)

Nabi Muhammad Saw tidak mau mengakui seseorang yang memperjuangkan nilai-nilai ashabiyah sebagai umatnya karena hal ini hanya akan melemahkan kekuatan kaum muslimin. Sebab, sebanyak dan sebesar apapun potensi umat Islam, jika penyakit ashabiyah telah menyerang mereka, yang terjadi kemudian adalah terjadinya keretakan hubungan diantara sesama mereka untuk selanjutnya kekuatan umat itu akan tercabik-cabik yang berujung pada kelemahan yang bertambah lemah.

3. MERUSAK HUBUNGAN

Dalam Islam, kehidupan keluarga yang dimulai dengan aqad nikah merupakan sesuatu yang sangat penting, karenanya ajaran Islam memberikan perhatian yang begitu besar dalam masalah keluarga sehingga begitu detail masalah ini diatur dan dijelaskan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu pernikahan harus dipermudah, sedangkan perceraian harus dipersulit. Dari keluarga yang baik, diharapkan akan lahir masyarakat yang baik. Dari sisi inilah, kedudukan keluarga menjadi sangat penting sehingga kita memiliki kepentingan yang sangat dalam bagi terwujudnya kehidupan suami isteri yang harmonis dalan keluarga, karena keharmonisan suami isteri sedikit banyak berdampak dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, sangat wajar bila seseorang tidak akan diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw bila ia menjadi faktor yang menyebabkan keretakan hubungan suami isteri, apalagi bila sampai menimbulkan perceraian. Disamping itu, dalam kehidupan keluarga seringkali dibutuhkan adanya pembantu yang pada masa dahulu disebut dengan budak, namun sistim perbudakan sudah tidak dibenarkan. Manakala hubungan majikan dengan pembantu-pembantunya berjalan dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh yang sangat positif dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Itu sebabnya, bila ada orang yang meretakkan hubungan yang baik antara majikan dengan pembantunya, Rasulullah Saw tidak bisa membenarkannya dan hal ini bisa menjadi salah satu faktor yang membuat beliau tidak mau mengakui seseorang sebagai umatnya, Rasulullah Saw bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ

Bukan golongan kamu orang yang merusak (hubungan) perempuan atas suaminya atau budak atas tuannya (HR. Abu Daud dan Hakim).

Apabila merusak hubungan suami isteri dan majikan dengan pembantunya saja sudah bisa menjadi faktor bagi seseorang untuk tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad Saw, apalagi bila merusak hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, bila ada suami isteri yang mengalami konflik saja harus kita damaikan, mengapa yang hubungannya sudah mantap harus kita rusak, begitu pula dalamkaitan hubungan pembantu atau pekerja dengan majikannya. Dari sisi inilah, upaya memecah belah hubungan antar orang yang hubungannya sudah baik menjadi sesuatu yang snagat dilarang di dalam Islam. Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49:12).

Dengan demikian, menjadi semakin jelas bagi kita bahwa bila seseorang ingin tetap diakui sebagai umat Nabi Muhammad Saw, menjadi keharusan baginya untuk tetap menjaga kebersihan hati dari sifat-sifat tercela dan bila sifat-sifat buruk ada pada dirinya, ia harus berusaha untuk segera bisa menghilangkannya.

Drs. H. Ahmad Yani
Email: [email protected]