Mari Kembali ke Fitrah Semula

Source Photo: pasarkreasi.com

Di bulan suci Ramadhan terdapat begitu banyak fasilitas ilahi guna mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyucikan diri dari kotoran-kotoran jiwa. Disana ada ibadah puasa, menghidupkan nuansa ramadhaniah dengan menegakkan pelbagai bentuk ibadah, seperti: shalat tarawih, sembahyang malam, memperbanyak bacaan Alqur’an dan zikir, serta mengeluarkan zakat fitrah.

Fasilitas gratis ini jika difungsikan sebagaimana mestinya, maka dengan sendirinya semangat spiritual terhadap nilai-nilai agama lahir dan terpatri di dalam jiwa. Ia dapat menyuguhkan perubahan spiritual beragama dalam menjalankan pedoman-pedoman syariat. Olehnya itu, bagi sebagian orang Ramadhan dapat melahirkan revolusi kejiwaan yang dapat membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu dan setan.

Perjuangan spiritual ini bertujuan membentuk karakter muslim yang senantiasa cinta kepada apa yang dikehendaki fitrah manusia itu sendiri dari kesucian, baik yang lahir dan batin. Fitrah manusia sebelum ia tercemar dengan noda-noda hitam akibat dosa, ia dipoles oleh kesucian yang cinta kebaikan, kedamaian yang lahir dari kokohnya tali persaudaraan dan kebersamaan dalam memperoleh kemaslahatan duniawi dan keselamatan di akhirat. Perjuangan menahan lapar dan nafsu di siang hari berakhir dengan tibanya hari raya Idul Fitri.

Idul Fitri terdari dari dua rangkaian kata: Id’ dan al-fitr. Id (العِيْد) adalah hari-hari dimana ada sekelompok manusia yang sedang berkumpul didalamnya. Ibn al-Arabi berkata: “hari raya itu disebut dengan Id, karena ia senantiasa datang kembali setiap tahun menyapa umat Islam dengan membawa kegembiraan.” [1]

Lahirnya kegembiraan bukan hanya datang dari berkahirnya perjuangan menahan lapar, haus dan hawa nafsu di siang hari, tetapi kegembiraan itu juga muncul dari perubahan spiritual yang disuguhkan nuansa ramadhaniah. Dengan Ramadhan manusia dapat mengintropeksi diri dari perilaku sosial yang telah dijalaninya selama sebelas bulan dalam menjalani kehidupan sosial masyarakat, mengukur sejauh mana kedekatannya dengan Allah, berupaya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk, menjauhi segala bentuk kemaksiatan, serta memperkuat hubungan silaturrahim antar sesama.

Hemat penulis, kegembiraan itu lahir karena manusia dapat merasakan bahwa dirinya telah berupaya kembali ke fitrah semula yang senantiasa mendambakan nilai-nilai agama tersebut, lebih dari sekedar kegembiraan fisik yang disebarkan oleh senyum dan tawa saat tibanya hari id.

Mari kita lihat lebih dekat lagi nilai-nilai fitrah manusia yang ada di dalam ibadah ramadhaniah!

Ramadhan wadah untuk membentuk karakter muslim yang beriman dan ikhlas beramal. Ini telah ditegaskan Rasul Saw dalam sabdanya berikut ini:

“Barangsiapa yang menghidupkan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[2]

Dan sabdanya pula:
“Barangsiapa yang menghidupkan Lailatul Qadr dengan shalat dan kebaikan lain dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka diampuni baginya dosa yang telah lalu.”[3]

Hemat penulis, berkah Ramadhan hanya dapat dikejar dan diperoleh jika setiap orang-orang menghidupkan bulan suci itu dengan ibadah dengan berlandaskan keimanan dan keikhlasan, bukan dengan sifat puji diri, atau karena keterpaksaan setelah melihat orang lain menghidupkan syiar-syiar Ramadhan.

Di laini sisi, Ramadhan sarana efektif membentuk sosok muslim yang bertaqwa. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 183)

Dengan taqwa harkat dan martabat kemanusiaan senantiasa terjaga, hak dan kewajiban terpernuhi, fisik dan ruh terjaga dari kotoran-kotoran kemaksiatan, etika-etika pergaulan antar sesama dipatuhi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan berjalan secara harmonis dan dinamis. Ketaqwaan senantiasa memberikan pesan-pesan kehidupan di sepanjang hari, ia membisikkan segala sesuatu yang bermamfaat, seperti: “jangan lakukan ini!

Karena itu kemaksiatan yang dapat menjerumuskan anda ke dalam kesesatan yang penuh dengan kegelapan. Lakukan itu! Karena disana terdapat aneka hikmah, satu hikmah saja sudah cukup mengantarkan anda menuju ke kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang berpotensi ukhrawi, apalagi jika anda memungut semua hikmah itu dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari, hidup anda lebih cerah, optimis, dan berjalan di atas rel-rel kehidupan Islam yang menjanjikan kebahagian dunia-akhirat.”

Di samping itu, Ramadhan membuat anda menghargai waktu. Muslim sejati adalah muslim yang mengetahui keutamaan dan kemuliaan bulan-bulan Allah. Tentunya, pada bulan Ramadhan kegiatan-kegiatan ukhrawi ditingkatkan, usaha memperoleh rahmat, ridha, dan keselamatan dari dari api neraka, senantiasa digalak dan dijalani dengan penuh keseriusan. Apa lagi yang anda tunggu untuk tidak bersegera mendatangi buah-buah surgawi yang Allah SWT pamerkan dan suguhkan di bulan suci Ramadhan?

Kata kedua dari Idul Fitri adalah al-Fitr (الفِطْر) yang seakar kata dengan al-Fitrah (الفِطْرَة), dan al-Futur (الفُطُوْر). Al-Fitrah (الفِطْرَة) adalah penciptaan manusia di dalam rahim ibu, dimana manusia pada saat itu masih suci bersih dari noda-noda kemaksiatan. Lembaran-lembaran hidupnya putih bersih, belum terkotori oleh kelamnya kemaksiatan dan kemurkaan.

Al-Futur (الفُطُوْر) makanan yang disajikan saat berbuka puasa. Sedangkan, al-Fitr (الفِطْر) sendiri berarti merusak puasa dengan berbuka.

Dari kedua rangkaian kata itu: id (العِيْد) dan al-Fitri (الفِطْر), maka idul fitri adalah hari dimana umat Islam telah menghakiri puasa Ramadhan dengan makan dan minum di siang hari. Pastinya, ini merupakan kebahagian tersendiri setelah sebulan penuh berjuang menahan lapar, haus dan hawa nafsu.

Allah berfirman:
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”” (QS. Yunus [10]: 58)

Jika ada dari mereka yang bertanya: “apa hikmah dari hari raya idul fitri ini?”

Saya menjawab: hari-hari raya umat Islam beda dengan perayaan hari-hari besar lain. Yang membedakan mereka dengannya adalah nilai-nilai ibadah yang menyiratkan kedekatan, ketaatan, dan pengagungan kebesaran Alllah SWT lewat takbir di shalat id, menyebarkan zakat ke fakir-miskin, dan menampakkan kegembiraan atas nikmat keberhasilan menjalani ibadah puasa.

Di hari Id nampak aneka ragam makna-makna sosial dan kemanusian yang Islami, seperti:
Pertama: terjalin kedekatan hati dan saling mencintai dalam sebuah ikatan emosional yang suci.

Di hari id seorang anak tidak berat mengambil dengan begitu lembutnya tangan orang tua, menciumnya, dan meminta maaf atas segala kesalahan. Di lain pihak, orang tua pun dengan penuh kasih sayang memberikan ciuman manis di kening anaknya sebagai tanda cinta dan kasih sayang terhadapnya.

Di hari itu juga, sang istri dengan penuh kelembutan mencium tangan suami yang sepanjang tahun bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga, meminta maaf atas segala kekhilafan yang disengaja atau tidak disengaja. Di waktu yang sama, sang suami dengan penuh kebersahajaan memberikan kecupan manis di dahi sebagai tanda bahwa lembaran kehidupan keluarga kembali seperti semula, putih bersih dari kesalahpahaman yang seringkali terjadi di antara mereka berdua.

Bukan hanya itu, dengan lapang dada sang suami juga menghaturkan permohonan maaf kepada istrinya dari segala sikap yang sering ditanggapi negatif oleh istri. Keluarga seperti ini ibarat kapal yang mampu menghadapi ombak dan badai apa pun yang datang menerpa di tengah lautan lepas. Keluarga yang didambakan setiap pasangan hidup, keluarga yang diayomi oleh sakinah dan mawaddah.

Dan pada kesempatan itu juga, timbul dorongan spiritual untuk saling memaafkan dan mengasihi; anak meminta maaf, orang tua mengasihi, kedua pasangan hidup berjanji untuk menutup lembaran keluarga yang sempat ternoda oleh pertengkaran dan kesalahpahaman, dan berjanji membuka lembaran baru dan memulai kehidupan yang lebih cerah dari kemarin, satu keluarga mendatangi keluarga lain untuk mempererat jalinan silaturrahim dan berupaya membuang jauh-jauh amarah dan dendam antara anggota keluarga.

Di tempat lain, para pemimpin dunia Islam membuka pintu kepemimpinan yang Allah titipkan kepada mereka untuk masyarakat Islam setempat; pimpinan negara tidak sungkan menundukkan kepada dan meminta maaf kepada setiap masyarakat yang datang berjabat tangan dan bersilaturrahim dengannya. Ulurkan tangan anda meminta maaf, jangan menunggu uluran tangan masyarakat minta maaf! Karena bagaimanapun mereka tidak sepantasnya dibebani kesalahan apa pun, jika anda sendiri mampu menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan masyarakat yang manusiawi. Pemimpin seperti ini adalah dambaan jutaan umat Islam, idaman bagi terwujudnya negeri impian yang dicita-citakan oleh al-Farabi sebelumnya.

kedua: Saling menyantuni; yang berkecukupan dari mereka menyantuni orang-orang yang terjerat dalam kepapaan

Hari Id mengingatkan umat Islam terhadap hak orang-orang miskin. Dengan pendistribusian zakat fitrah kepada mereka secara merata, maka dengan sendirinya wajah mereka menyinarkan kegembiraan yang luar biasa, sehingga tidak satu pun dari keluarga Islam yang tidak merasakan kenikmatan hari Id yang ditebarkan, sejak dari keluarnya anggota keluarga berbondong-bondong menuju tempat shalat Id.

Mendistribusikan zakat kepada mereka berarti anda telah mengulurkan tangan minta maaf atas kelalaian dunia Islam yang tidak memberikan perhatian cukup terhadap mereka, bahkan apa yang anda berikan pada hari itu melebihi dari sekedar permohonan maaf, karena dengan senyum dan gembira yang dipancarkan raut wajah mereka cukup menjadi peredah dan penenang sementara terhadap kegundaan dan kekecewaan mereka atas ketidakpedulian orang-orang kaya umat Islam.

Zakat Idul Fitri formula khusus untuk mencegah terjadinya ketimpangan sosial dan kebencian masyarakat miskin terhadap masyarakat kaya. Di lain pihak harta yang dikeluarkan zakatnya senantiasa suci dan berberkah.

Makna-makna islami ini tersirat dengan begitu apiknya di pelbagai teks Islam sebagaimana berikut:
Allah SWT berfirman:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka! Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka (pemberi zakat). Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. at-Taubah [9]: 103)

Dan sabda Rasul-Nya:
“Barang siapa yang memenuhi hajat saudaranya, maka Allah senantiasa memenuhi hajatnya, dan barang siapa yang meringankan kesukaran dan kesulitan saudara muslimnya, maka Allah akan meringankan kesulitannya di hari kiamat.”[4]

Disana masih banyak makna sosial kemanusian yang termuat dalam perayaan Idul Fitri. Olehnya itu, hari suci ini menampakkan wajah Islam yang sesungguhnya di mata dunia; komunitas yang cinta damai, persatuan, kebersamaan, dan saling tolong-menolong, sehingga tercipta jalinan pemikiran, ruhaniah, dan sosial yang sangat kuat.

Maka dari itu, berbahagialah di hari yang penuh bahagia ini dengan segala bentuk kebahagian yang tidak menyalahi syariat, sebagaimana yang dianjurkan nabi Saw dalam haditsnya berikut ini:

Diriwayatkan dari Aisyah Ra.: “sesungguhnya Abu Bakr datang mengunjunginya dalam keadaaan nabi Saw ada pada saat itu di hari Idul Fitri atau Idul Adha. Ketika itu, Aisyah sedang mendengarkan nyanyian dua perempuan yang mengisahkan apa yang digemakan kaum di perang Buast, Abu Bakr berkata: apakah ini bukan seruling zetan diperdengarkan di rumah Rasululllah? Nabi berkata: (biarkan keduanya wahai Abu Bakr! Sesungguhnya setiap umat punya hari raya, dan hari raya kita jatuh pada hari ini).”[5]

Dipenghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman untuk merenungi seruan-seruan hari raya Idul Fitri:

“Wahai umat Islam! Hidupkan Ramadhan dengan ibadah, temukan nilai-nilai sosial kemanusian di bulan suci ini dengan menunaikan zakat, saling memaafkan antar sesama, dan menjalin hubungan silaturrahim antar keluarga! Budayakan rendah diri dan cinta maaf di saat ada kesalahan, dan memberi maaf kepada mereka yang bersalah! Nampakkan wajah Islam yang sebenarnya di mata dunia! Bergembiralah di hari yang penuh dengan kegembiraan ini!”

Profil penulis:Muhammad Widus Sempo, MA.kandidat Doktor (S3) di Universitas al-azhar Mesir, jurusan Tafsir.

Catatan Kaki:

[1]Lihat: Ibn Mansur, Lisanul Arab, ditahkik oleh: Abdullah Ali al-Kabir, Muhammad Ahmad Hasbillah, Hasyim Muhammad asy-Syasili, Dar al-Maârif, Kairo, vol. 35, hlm. 3159

[2]Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari di Shahihnya dari Abu Huraira, kitab al-Imân bab Tatawwu’ Qiyâm Ramadhan min al-Imân, hadits no. 37, hlm. 15

[3]Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari di Shahihnya dari Abu Huraira, kitab al-Imân bab Qiyâm Lailatul Qadri min al-Imân, hadits no. 35, hlm. 15

[4]Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim di Shahihnya dari Abi Salim ra., kitab al-Bir wa ash-Shilah, bab tahrim adz-Dzulmi, hadits no. 6743, hlm. 1338

[5]Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari di Shahihnya dari Aisyah ra., kitab al-Idain, bab Sunnah al-Idain fil Islam, hadits no. 952, hlm. 2