Hadits tentang Keutamaan Ali RA (Telaah Kritis Terhadap Pandangan Muhammad at-Tijani)

pedang aliOleh: Nofriyanto al-Minangkabawy

 

Salah satu bentuk keyakinan dalam Islam yang membedakannya dengan Syiah, yaitu keyakinan terhadap urutan al-Khulafa’u ar-Rasyidun. Bagi umat Islam, urutan al-Khulafa’u ar-Rasyidun sepeninggal Rasulullah, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhum. Masing-masing dari khalifah ini, diangkat dan dibaiat melalui Syūra (musyawaroh) para pemuka sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar, yang kemudian diikuti oleh seluruh umat Islam pada saat itu. Sebaliknya, dalam keyakinan Syiah hanya Ali RA dan keturunannya-lah yang berhak memangku kursi kekhilafahan sepeninggal Rasulullah. Untuk melegitimasi keyakinan tersebut, salah satu dalil yang dijadikan landasan, yaitu hadits Rasulullah   yang menggambarkan keutamaan Ali RA ketika Rasulullah  menunjuknya sebagai pengganti beliau di Madinah selama perang Tabuk.

Salah seorang penganut Syiah yang menggunakan hadits ini Muhammad at-Tijani dalam bukunya Tsumma Ihtadaitu. Hadits ini, menurutnya salah satu bukti paling valid yang menunjukkan keabsahan kepemimpinan Ali RA pasca wafatnya Rasulullah . Tidak ada satu sahabat pun menurutnya yang memiliki keutamaan melebihi Ali RA. Selain itu, masih menurutnya tidak ditemukan ijma’ atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunni dan Syi’ah telah sepakat tentang keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nas-nas berbagai kitab rujukan dua mazhab itu. Sementara tentang keimamahan (kepemimpinan) Abu Bakar hanya dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja.

Untuk itu akan dipaparkan di sini hakikat sebenarnya dari hadits yang berbicara tentang keutamaan Ali RA, sekaligus sanggahan terhadap Muhammad at-Tijani yang menjadikannya sebagai landasan untuk melegitimasi keyakinan bahwa hanya Ali RA dan keturunannya-lah yang berhak memangku kursi kekhilafahan sepeninggal Rasulullah .

Kutipan 

 

Di antara hadis-hadis yang mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam Ali adalah hadis yang diriwayatkan dalam berbagai Kitab Shahih Ahlu Sunnah sendiri. Dalam mazhab Syi’ah mereka juga memiliki hadis-hadis serupa itu berlipat-ganda. Namun saya –seperti biasa– tidak akan berhujah dan berpegang kecuali kepada hadis-hadis yang telah disepakati oleh kedua mazhab. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:

Hai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”

Hadis ini seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berakal sehat menyirat makna keutamaan dan kekhasan amir al-Mukminin Ali di dalam menyandang kedudukan wazir, washi dan khalifah, sebagaimana Harun yang menjadi wazir, washi dan khalifahnya Musa ketika beliau berangkat menemui Tuhannya. Ia juga menyirat arti bahwa kedudukan Imam Ali adalah umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka memiliki kemiripan, melainkan kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh hadis itu sendiri. la juga berarti bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling utama dan paling mulia setelah Nabi SAW itu sendiri.

 

Sanggahan 

 

Hadits tersebut di atas, merupakan salah satu hadits yang oleh Syiah dijadikan landasan untuk melegitimasi doktrin imāmah. Hadits tersebut merupakan hadits Shahīh mengenai keutamaan Ali RA. Teks lengkap hadits tersebut yaitu,

حدثني محمد بن بشار حدثنا غندر حدثنا شعبة عن سعد قال سمعت إبراهيم بن سعد عن أبيه قال :قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي ( أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى )

Muhammad bin Basyar menyampaikan kepadaku dari Ghondar dari Syu’bah dari Sa’ad ia berkata: saya mendengar Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya ia berkata: Rasulullah  bersabda kepada Ali RA: “Tidakkah engkau rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harus AS di sisi Musa AS.”

Namun, perlu dipahami hadits ini tidak berarti mengunggulkan Ali RA di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Sebab, hadits ini jelas tidak menunjukkan terhadap nash bagi hak kepemimpinan Ali RA. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa argumen berikut:

Pertama: Hadits ini Nabi  ucapkan ketika beliau mempergantikan posisi beliau kepada Ali RA di Madinah, disebabkan Nabi  hendak pergi menuju perang Tabuk, seperti halnya Nabi Musa AS yang menggantikan posisinya kepada Nabi Harun, disebabkan beliau hendak bermunajat kepada Allah  untuk sementara waktu.  Namun perlu dicermati, bahwa istikhlāf yang dilakukan oleh Nabi Musa AS hanya untuk sementara waktu, bukan untuk selamanya, seperti halnya penggantian yang dilakukan oleh Nabi  saat keluar dari Madinah. Dengan demikian, berarti hadits ini tidak sedikitpun mengindikasikan atas kekhilafahan Ali RA setelah Nabi Muhammad  wafat, sebab selain hanya merupakan penggantian posisi untuk sementara waktu, kasus yang sama (istikhlāf) tidak hanya dialami oleh Ali RA. Sebagaimana Rasulullah  juga pernah menggantikan posisi beliau (istikhlāf) di Madinah kepada Siba’ bin ‘Arfathah pada saat beliau ada di Khaibar. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam hadits Nabi ,

عن أبي هريرة : قدمت المدينة والنبي صلى الله عليه و سلم بخيبر قد استخلف على المدينة سباع بن عرفطة

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Saya datang ke Madinah, sedangkan Nabi Muhammad  berada di Khaibar, dan beliau menggantikan posisinya di Madinah kepada Siba’ bin ‘Arfathah.

Selain Siba’ bin ‘Arfathah, Rasulullah  juga pernah menggantikan posisi beliau di Madinah kepada Abu Rahm Kutsum bin al-Hushain al-Gifari, ketika penaklukan kota Mekah.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” ثُمَّ مَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِسَفَرِهِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا رُهْمٍ كُلْثُومَ بْنَ حُصَيْنِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ خَلَفٍ الْغِفَارِيَّ

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah  ketika keluar untuk menaklukan kota Mekah, beliau menggantikan posisinya di Madinah kepada Abu Rahm Kultsum bin al-Hushain al-Gifari.

Dua riwayat hadits di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa istikhlāf Nabi  terhadap para sahabat beliau tidak bermaksud sebagai penunjukkan untuk menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau. Jika Syiah mengartikan hadits istikhlāf  tersebut dengan arti penunjukkan sebagai pemimpin, maka konsekuensinya mereka harus menganggap Siba’ bin ‘Arfathah dan Abu Rahm Kultsum bin al-Hushain al-Gifari sebagai pemimpin (imam) juga. Jika tidak demikian, maka berarti mereka telah menetapkan standar ganda dalam menafsirkan hadits, guna sejalan dengan kepentingan mereka.

Kedua: sejarah membuktikan, bahwa orang yang menggantikan posisi Nabi Musa AS setelah beliau wafat adalah Yusya’ bin Nun, teman beliau dalam perjalanannya mencari Nabi Khidir AS dan bukan Nabi Harun AS. Ini sama halnya dengan yang menggantikan posisi Nabi  setelah beliau wafat adalah Abu Bakar selaku teman sejawat beliau dalam gua ketika menemani perjalanan hijrah beliau ke Madinah. Maka dari itu, jelaslah maksud dari sabda Rasulullah  dari hadits tersebut hanyalah menunjukkan kedekatan beliau dengan Ali RA.

Ketiga: Menyamakan Ali RA dengan Nabi harun AS dalam hadits di atas, akan sangat tampak jika tidak dimaksudkan sebagai pernyataan tentang keunggulan Ali RA melebihi Abu Bakar dan Umar, jika kita membandingkan hadits tersebut dengan hadits lain  yang senada. Dalam Musnad Ahmad, contohnya, Rasulullah  menyamakan Abu Bakar RA dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa AS, sementara Umar disamakan dengan Nabi Nuh AS dan Musa AS. Sebagaimana hadits Rasulullah

وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ، قَالَ : {مَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ، وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} ، وَمَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ عِيسَى قَالَ : {إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ، وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ} ، وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ نُوحٍ قَالَ : {رَبِّ لاَ تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا} ، وَإِنَّ مِثْلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ مُوسَى ، قَالَ : رَبِّ {اشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الأَلِيمَ}

Kamu, wahai Abu Bakar, seperti halnya Nabi Ibrahim AS beliau mengatakan: “Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ibrahim 14:36); kamu juga seperti halnya Nabi Isa AS, beliau berkata: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ma’idah 5:118). Sedangkan kamu, wahai Umar, seperti halnya Nabi Nuh AS, beliau mengatakan: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh 71: 26), juga seperti halnya Nabi Musa AS yang mengatakan: “kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”( QS. Yunus 10: 88).

Diteliti dari hadits ini, tentu dapat dinilai dengan jelas, bahwa Abu Bakar RA dan Umar RA lebih utama daripada Ali RA, sebab perumpamaan yang diungkapkan oleh Nabi  untuk Abu Bakar dan Umar masing-masing adalah dua Nabi (Abu bakar disamakan dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, Umar disamakan dengan Nabi Nuh dan Musa). Sedangkan Ali RA hanya disamakan dengan Nabi Harun, di mana beliau (Nabi Harun AS) tidak lebih utama daripada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa, yang keseluruhan mereka tergolong dalam deretan para Ulul ‘Azmi.  

Salah satu ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kelompok-kelompok menyimpang yang sering menggunakan dalil untuk melegitimasi keyakinannya yaitu:

وهكذا شأن جميع أهل الضلال إذا احتجوا بشيء من كتب الله وكلام أنبيائه كان في نفس ما احتجوا به ما يدل على فساد قولهم وذلك لعظمة كتب الله المنزلة وما أنطق به أنبياءه فإنه جعل ذلك هدى وبيانا للخلق وشفاء لما في الصدور فلا بد أن يكون في كلام الأنبياء صلوات الله عليهم وسلامه أجمعين من الهدى والبيان ما يفرق الله به بين الحق والباطل والصدق والكذب لكن الناس يؤتون من قبل أنفسهم لا من قبل أنبياء الله تعالى.

Jika diperhatikan dengan seksama, ungkapan Ibnu Taimiyah ini sangat cocok untuk menggambarkan rapuhnya istidlāl setiap orang atau kelompok menyimpang, yang melegitimasi kekeliruan keyakinannya dengan ayat-ayat atau hadits-hadits. Termasuk Muhammad at-Tijani yang ber-istidlal dengan hadits keutamaan Ali RA untuk melegitimasi keyakinannya, bahwa hanya Ali RA dan keturunannyalah yang paling berhak memangku jabatan kekhilafahan setelah wafatnya Rasulullah . Namun, setelah dikaji kandungan hadits tersebut, ternyata tidak ada satu bukti dan indikasi apa pun yang membenarkan keyakinannya. Wallahu ‘alam bi ash-Showab.

Daftar Pustaka 

Ahmad bin Hanbal, Musnad, Tahqiq as-Sayyid Abu al-mu’athi an-nuuri, (Beirut: ‘Alam al-Kutub 1998).

Ahmad bin Hanbal, Musnad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth dkk, (Muassasah ar-Risalah 2001 ).

Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar Min Umur Rasululllah SAW wa Sunanihi wa Ayahimi, tahqiq Musthofa Dib Bugho, (Beirut: Dār Ibn katsir 1987).

Al-Samawi, Muhammad al-Tijani, Tsumma Ihtadaitu, (London: Muassasah al-Fajr 1993). Cet. IV.

Al-Suhaimi, Ahmad Haris, Tautsīq al-Sunnah Baina as-Syiah al-Imāmiyah wa Ahlu Sunnah fī Ahkām al-Imāmah wa Nikāh al-Mut’ah, (Kairo: Dār as-Salām 2008). Cet. II.

Al-Syahristani, Muhammad Abdul Karim Ibnu Abi Bakr, al-Milal wa an-Nihāl, (Libanon: Dār al-Fikr, tt).

Al-Syahristani, Muhammad Abdul Karim Ibnu Abi Bakr, Mausū’ah al-Adyan, (Dār an-Nafā’is 2001).

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, as-Sailu al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, Tahqiq Muhammad Ibrahim Zayid , (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983). Cet. I.

Al-Zhahiri, Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Fashlu fī al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Tahqiq Muhammad Ibrahim Nashr dan Abdurrahman ‘Amīrah, (Beirut: Dār al-Jail 1985).

Ibn Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq, Shahih Ibnu Khuzaimah, tahqiq Muhammad Musthofa A’zhami, (Beirut: alMaktab al-Islamy 1970).

Ibnu Taimiyah, Minhaj Sunnah an Nabawiyah, tahqiq Ali Bin Hasan dkk, (Riyadh: Dar al-Fadhilah 2004).

Ibnu Taimyah, Mināj Sunnah an-Nabawiyah, Tahqiq Muhammad Rasyad Salim, (Muassasah Qurthubah 1406 H).

Muslim, al-Jami’ ash-Shahih, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqī, (Beirut: Dār Ihya’ Turats al-Araby tt).

 

NB. No Hp 082333454370