Kafir atau Non Muslim, Sebutan Quran untuk yang “Bukan” Muslim ? (Tamat)

Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)

Argumentasi Keempat: Kekalahan Romawi oleh Persia

Selanjutnya, ayat yang digunakan untuk mendukung bahwa tidak semua non-Muslim itu kafir adalah kisah kekalahan Romawi yang disebutkan dalam Al-Quran. Dia menulis:

Rasulullah bersimpati dengan kaum Nasrani. Meski menolak ajaran Nabi,tetapi mereka tidak memusuhi Nabi dan umatnya sekeras Yahudi. Salah satu wujud simpatinya, Nabi bersedih oleh kekalahan bangsa Romawi Timur yang Nasrani dari bangsa Persia yang Majusi. Perhatikan QS. ar-Rum berikuti ini:

“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu, bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (QS. ar-Rum/30: 1-5).

Ketiga, dari poin 1 dan 2 dapat ditarik benang merah bahwa tidak semua Ahlul Kitâb kafir. Di antara Ahlul Kitâb, al-Qur’an lebih lembut terhadap kaum Nasrani yang bersahabat, rendah hati, dan tidak sombong. Terhadap kaum Yahudi, sikap al-Qur’an sangat tegas karena keangkuhan dan permusuhan mereka terhadap Nabi dan umat Islam. (nu.or.id)

Tanggapan: Pernyataan penulis artikel diatas seakan ingin mengesankan bahwa kafir adalah istilah kunci permusuhan Islam dengan agama pemeluk lain, seakan siapapun yang kafir berarti Muslim wajib membenci dan memusuhi pribadi mereka serta melakukan kekerasan kepada mereka. Islam hanya mewajibkan umat Muslim untuk membenci dan memusuhi kekafiran, bukan membenci karena orangnya. Sebagai sesama umat manusia Muslim dan non-Muslim harus saling berlaku baik dan adil satu sama lain.

Ayat diatas jika digunakan sebagai dalil tidak semua non-Muslim itu kafir jelas tidak ada korelasi. Ayat diatas menerangkan tentang janji Allah akan kemenangan Islam ketika imperium Kristen Romawi telah menang melawan imperium Majusi Persia. Ini termasuk salah satu bukti mukjizat Al-Quran yang dapat memberitakan peristiwa gaib yang akan terjadi. (lihat: al-Syaukani, Fath al-Qadir, juz 5 hlm. 458; Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, juz 5 hlm. 89)

 

Argumentasi Kelima: QS. Al-Baqarah: 120

Selanjutnya, penulis artikel diatas menguatkan asumsi dengan analisa bahasa QS. Al-Baqarah: 120. Dia menulis:

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqarah/2: 120).

Redaksi yang digunakan untuk Yahudi adalah ‘lan’ (tidak akan pernah) yang berarti nafi permanen. Sementara redaksi yang digunakan untuk Nasrani adalah ‘wa la’ (tidak pula) yaitu nafi yang lebih terbatas. Sikap Yahudi yang memusuhi Nabi dan sering melanggar kesepakatan menyebabkan disharmoni. (nu.or.id)

Tanggapan: Benarkah makna ayat diatas demikian? Kita lihat melalui jalur bahasa dan tafsir. Secara ilmu Nahwu, “La” yang terdapat dalam ayat diatas adalah “La Mu’taridlah” yang fungsinya meniadakan kemungkinan multitafsir dalam suatu kalimat. La Zaidah ini digunakan diantara “huruf athaf” wawu (dan) dan “ma’thuf” setelahnya. Contohnya, ma jaani Zaidun wa la ‘Amru (Zaid tidak datang, begitu juga Amr). Didatangkan “la” untuk menghilangkan anggapan bahwa Zaid dan ‘Amr tidak datang bersamaan, namun datang satu-satu. Ketika ditambah “Laa” setelah “Wawu Athaf”, maka maknanya Zaid dan Amr memang tidak ada yang datang, baik bersamaan ataupun satu-satu. (lihat: Ibn Hisyam al-Anshari, Mughni al-Labib, juz 1 hlm. 322; Muhammad al-Ahdal, al-Kawakib al-Durriyyah, juz 1 hlm. 114)

Dalam kasus QS. Al-Baqarah: 120, maka “Laa” pada lafazh wa lan tardla ‘anka al-Yahudu wa la al-Nashara menunjukkan bahwa baik Yahudi maupun Nashrani “tidak akan” pernah ridha kepada Muhammad hingga beliau dan umat Islam mengikuti millah mereka.

Analisis bahasa diatas didukung oleh keterangan para ulama tafsir. Ibn Jarir menyebutkan bahwa maksud ayat diatas adalah: “Yahudi dan Kristen selamanya tidak akan ridha kepadamu (Muhammad). Maka tinggalkan usaha untuk menyenangkan dan bercocokan dengan mereka, dan berusahalah mencari ridha Allah dengan mengajak mereka menerima ajaran yang benar.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, juz 1 hlm. 402)

Melihat keterangan diatas, maka analisis QS. Al-Baqarah: 120 dari penulis artikel diatas lemah dan tertolak karena tidak menggunakan kajian bahasa dan tafsir yang benar.

 

Argumentasi Keenam: Boleh Berteman Akrab Ketika Tidak Memusuhi

Sebagai konklusi akhir, penulis artikel diatas menutup tulisannya dengan menyinggung masalah pertemanan akrab dan pemilihan pemimpin. Dia menulis:

“Terhadap Ahlul Kitab yang menyerang dan memusuhi Nabi, al-Qur’an melarang berteman akrab dengan mereka, mengangkat mereka sebagai teman setia atau pemimpin. (Lihat QS. al-Maidah/5: 51 dan QS. Ali Imrân/3: 118). Bagaimana jika mereka tidak menyerang dan memusuhi? Sikap al-Qur’an jelas. Perhatikan beberap ayat berikut ini:

“Apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condong pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Anfal/8: 61).

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. al- Mumtahanah/60: 8-9).” (nu.or.id)

Tanggapan: Merujuk beberapa keterangan tafsir, QS. Al-Anfal: 61 dan QS. Al-Mumtahanah: 8-9 diatasnya konteks sebenarnya adalah perang. Ketika umat Islam menang melawan non-Muslim dan mereka mengajak untuk berdamai, maka hal itu diperbolehkan bagi pemerintahan Islam untuk menarik minat mereka masuk Islam. (lihat: al-Syaukani, Fath al-Qadir, juz 3 hlm. 201; Abdul Karim al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, juz 3 hlm. 50)

Ayat-ayat diatas memang menunjukkan bahwa umat Islam boleh untuk berlaku adil dan mengedepankan komunikasi dan hubungan yang baik ketika non-Muslim tidak menampakkan permusuhan. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas menjadikan non-Muslim boleh diangkat menjadi pemimpin umat Islam karena hal ini adalah larangan tersendiri.

 

Ikhtitam

Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menyebut kafir orang-orang non-Muslim secara ekplisit tanpa menyinggung sikap sosial mereka apakah berdamai atau melawan. Dengan mereka tidak memeluk Islam, maka secara otomatis mereka telah kafir. Misalnya Firman Allah Ta’ala:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ [المائدة : 17]

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al-masih putera Maryam”.” (QS. Al-Maidah: 17)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ [المائدة : 73]

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa.” (QS. Al-Maidah: 73)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران : 85]

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ [التوبة : 30]

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah memerangi mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. Al-Taubah: 30)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ [آل عمران : 32]

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.” (QS. Ali Imran: 32)

Karena itu, maka kekafiran sudah memiliki makna terminologis yang berarti orang-orang yang tidak mau memeluk agama Islam. Kafir juga merupakan istilah teologis penentu selamat tidaknya seseorang di dunia dan akhirat. Menghilangkan label kafir dari orang yang tidak Islam merupakan tindakan yang bertentangan dengan Al-Quran.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia, masyarakat Muslim dan bukan Muslim sudah lama hidup berdampingan dengan damai dan rukun tanpa mempermasalahkan istilah keagamaan yang ada di masing-masing agama mereka. Kafir adalah istilah keagamaan dalam Islam, akan tetapi sebagai Muslim dan bukan Muslim sama sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Marilah sebagai umat Islam bersyari’ah yang benar dan sehat, sekaligus hidup berbangsa dan bernegara yang baik tanpa harus mengorbankan ajaran agama kita. Jika ada oknum yang ingin merusak Syari’ah dan NKRI, mari berusaha tanggapi dengan cerdas, santun, sekaligus tegas dan keras agar mereka kembali ke jalan yang benar. WaLlahu A’lam[syahid/voa-islam.com]